Wasiat

 MAKALAH

WASIAT

Mata Kuliah : Hukum Perdata Islam di Indonesia

Dosen Pengajar : Noor Efendy, S.H.I., M.H

 

Dibuat Oleh :

Kelompok 3

Nia Alpina (2019110716)

Siti Maulida (2019110728)


PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

DARUL ULUM KANDANGAN

TAHUN 2021 M / 1442 H  



DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Wasiat

B. Syarat-syarat Wasiat dan Orang yang Tidak Berhak Menerima Wasiat

C. Batalnya Wasiat dan Dicabutnya Wasiat

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA 


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wasiat merupakan salah satu perbuatan yang sudah lama dikenal sebelum Islam. Misalnya dalam masyarakat pada masa arab jahiliah, banyak sekali wasiat yang diberikan kepada orang lain yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan dengan orang yang berwasiat, karena pada masa itu orang yang memberikan sebagian besar harta miliknya memperlambangkan orang yang sangat kaya raya dan mendapatkan pujian dari semua orang. 

Dengan datangnya agama Islam tidaklah menghapus dan membatalkan wasiat yang sudah diterima secara umum oleh masyarakat pada waktu itu. Islam dapat menerima wasiat yang sudah berjalan lama itu dengan jalan memberikan koreksi dan perbaikan. Sehingga wasiat tetap menjadi sesuatu yang diperlukan dengan memperhatikan kerabat keluarga yang ditinggalkan.

Kata wasiat disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 9 kali. Dalam bentuk kata kerja, wasiat disebut 14 kali, dan dalam bentuk kata benda jadian disebut 2 kali. Seluruhnya kata wasiat dan derivatnya disebut sebanyak 25 kali. Dalam penggunaannya, kata wasiat berarti: berpesan, menetapkan, memerintah (QS Al-An’am, [6]:151, 152, 153; Al-Nisa’ [4]:131), mewajibkan (QS Al-‘Ankabut [29]:8, Luqman [31]:14, Al-Syura [42]: 13, Al-Ahqaf [46]:15), dan mensyariatkan (Al-Nisa’ [4]:11). 

Wasiat merupakan syari’at Islam yang mempunyai fungsi bagi manusia, sehingga tak ada seorang ulama atau orang Islam yang menentang dengan adanya wasiat, bahkan perbuatan ini banyak dilakukan oleh umat Islam masa lalu. Pelaksanaan wasiat tidak hanya diatur dalam hukum Islam dan KHI, hukum Barat yang berlaku di Indonesia yang tertuang dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata juga mengatur tentang wasiat. Dalam Pasal 875 KUH Perdata menyebut wasiat dengan testament (yaitu kehendak terakhir), bahwa apa yang dikehendaki seseorang akan terselenggara apabila telah meninggal dunia, dan juga dalam arti surat yang memuat tentang ketetapan hal tersebut. Sehingga testament adalah suatu akta yang memuat suatu pernyatan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah meninggal dunia, yang mana dalam hal tersebut dapat di cabut kembali. 

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu wasiat ?

2. Apa saja syarat-syarat wasiat dan siapa saja yang tidak berhak menerima wasiat ?

3. Apa saja yang membuat batal dan dicabutnya wasiat ?

C. Tujuan 

1. Untuk mengetahui tentang wasiat.

2. Untuk mengetahui syarat-syarat wasiat dan siapa saja yang tidak berhak menerima wasiat.

3. Untuk mengetahui yang bisa membuat batal dan dicabutnya wasiat.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wasiat

Wasiat adalah berpesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah orang meninggal dunia. Wasiat berasal dari kata washa yang berarti menyampaikan atau memberi pesan atau pengampuan. Dengan arti kata lain, wasiat adalah harta yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain setelah si pemberi meninggal dunia.

Wasiat juga diartikan menjadikan harta untuk orang lain. Arti kata washa merupakan bentuk jamak dari kata washiyyah, mencakup wasiat harta, sedang iishaa’, wishayaa dan washiyyah dalam istilah ulama fiqih diartikan kepemilikkan yang disandarkan kepada keadaan atau masa setelah kematian seseorang dengan cara tabbaru’ atau hibah, baik sesuatu yang akan dimiliki tersebut berupa benda berwujud atau hanya sebuah nilai guna barang. 

Menurut para fuqaha, wasiat adalah pemberian hak milik secara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberinya meninggal dunia. Pemberian hak milik ini bisa berupa barang, piutang atau manfaat. 

Menurut Madzhab Syafi’i, wasiat adalah pemberian suatu hak yang berkuatkuasa selepas berlakunya kematian orang yang membuat wasiat sama ada dengan menggunakan perkataan atau sebaliknya.  Menurut Madzhab Hanbali, wasiat adalah pemberian harta yang terjadi setelah berlakunya kematian sama ada dalam bentuk harta (‘ain) atau manfaat.  Menurut madzhab Hanafi, wasiat adalah pemilikan yang berlaku setelah kematian dengan cara sumbangan.  Menurut madzhab Maliki, wasiat adalah suatu akad yang menetapkan kadar 1/3 sahaja bagi tujuan wasiat dan wasiat tersebut akan terlaksana setelah berlakunya kematian pewasiat. 

Wasiat dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Selanjutnya disebut KHI) dijelaskan pada pasal 194 sampai pasal 209. Pada pasal 194 disebutkan bahwa yang berhak melakukan wasiat adalah orang yang sudah mencapai umur minimal 21 tahun, berakal sehat dan tidak  dalam tekanan pemaksaan, harta benda yang diwasiatkan pun harus hak milik pewasiat dan pelaksanaan wasiat saat pewasiatnya sudah meninggal.

Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (Pasal 171 huruf f).


B. Syarat – Syarat Wasiat dan Yang Tidak Boleh Menerima Wasiat

1. Syarat-syarat Wasiat

Syarat-syarat wasiat, yaitu : 

a) Pemberi Wasiat 

Pemberi wasiat adalah seorang yang memberi harta warisannya kepada orang yang tidak mendapat bagian dari harta warisannya akibat dari halangan tertentu. Ada beberapa krateria bagi pemberi wasiat. Antaranya ialah : 

1) Berakal, Wasiat tidak sah jika dilakukan oleh orang gila atau terencat akal, orang yang pengsan dan orang yang mabuk. Kesemua mereka dianggap orang-orang yang kehilangan akal yang meerupakan asas kepada taklif, dengan ini orang-orang ini tidaka layak memberi wasiat .

2) Baligh, Syarat ini juga asas kepada taklif. Dengan ini, adalah tidak sah wasiat daripada seorang kanak-kanak walaupun telah mumaiyiz kerana ia tidak layak berwasiat. 

3) Merdeka, Tidak sah wasiat daripada seorang hamba sama ada qinna, mudabbir atau mukatib kerana hamba bukan pemilik. Bahkan diri dan hartanya adalah milik tuannya. 

4) Kemauan sendiri, wasiat tidak sah jika dilakukan oleh orang yang dipaksa. Ini kerana wasiat bermakna menyerahkan hak milik maka ia perlu melalui keredaan dan pilihan pemiliknya. 

Ada dua alasan agar seseorang dapat menjelaskan sebagian harta bendanya.  Dua syarat tersebut adalah (1) berumur minimal 21 tahun dan (2) berakal sehat.  Syarat lainnya adalah wasiat tersebut harus dibuat tanpa paksaaan dari orang lain." Hal ini dinyatakan dalam pasal 194 ayat (1) kompilasi Hukum Islam.

Kompilasi Hukum Islam menggunakan batasan untuk menentukan bahwa seseorang telah mampu melakukan perbuatan-perbuatan hukum, yaitu sedikitnya berumur 21 tahun.  Umumnya anak di Indonesia, pada usia di bawah 21 tahun dipandang belum atau tidak memiliki hak kepemilikan karena masih tanggungan kedua orang tuanya, kecuali jika sudah dinikahkan. 

b) Penerima Wasiat

Penerima wasiat adalah orang atau badan yang mendapat harta warisan dari pemberi wasiat. Penerima wasiat haruslah mempunyai krateria untuk menerima wasiat. Antaranya ialah : 

1) Penerima wasiat bukan ahli waris pemberi wasiat. Perkara ini telah ditetapkan berdasarkan hadis nabi saw yang artinya “tidak ada wasiat bagi ahli waris” hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan tirmidzi yang menurutnya hadis hasan. 

2) Penerima wasiat hendaklah diketahuai dan wujud ketika wasiat dibuat. Tidak sah mewasiatkan kepada bayi yang belum lahir atau kepada badan yang belum ditubuhkan (masjid yang akan dibangunkan). 

3) Penerima wasiat hendaklah bukan seorang pembunuh. 

4) Penerima wasiat hendaklah bukan kafir harbi (pendapat fuqaha’ madzhab Maliki), bukannya kafir harbi di dar (pendapat fuqaha’ madzhab Hanafi) dan tidak boleh mewasiatkan senjata kepada ahli harbi (pendapat fuqaha madzhab Syafie) 

Pada dasarnya setiap orang, kecuali pewasiatnya sendiri dapat menjadi subyek penerima wasiat.  Ada beberapa hal yang telah diberitahukan mengenai hal ini, sebagaimana tercantum dalam pasal 195 ayat (3), pasal 207 dan pasal 208 yang tidak dapat wasiat.  

1) Pasal 195 ayat (3) menyebutkan bahwa wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris;

2) Pasal 207 bahwa wasiat tidak diizinkan menyebutkan kepada orang yang melakukan pelayanan bagi seseorang dan kepada orang yang tuntunan kerohanian sewaktu menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasanya;  dan 

3) Pasal 208 menyebutkan bahwa wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akta tersebut.

Pasal 195 ayat (3) KHI telah mengambil jalan tengah dari pendapat prihal kebolehan seorang ahli waris dapat menerima wasiat atau tidak.  Dengan demikian, KHI telah memberikan kepastian hukum terhadap ahli warisnya sendiri, yaitu dengan syarat disetujui oleh semua ahli waris yang ada.

c) Barang yang Diwasiatkan 

Adapun syarat-syarat bagi barang atau benda yang diwasiatkan adalah: 

1) Barang itu dikira sebagai harta dan ia boleh diwarisi.

2) Barang tersebut dari harta yang boleh dinilai atau mempunyai nilai kewangan sama ada melibatkan benda atau manfaat dari susut syarak. 

3) Barang tersebut boleh dipindah milik sekalipun tiada pada waktu berwasiat. 

4) Barang itu dimiliki oleh pemberi wasiat ketika berwasiat jika zatnya ditentukan. 

5) Barang itu bukanlah sesuatu yang maksiat seperti mewasiatkan rumah untuk dijadikan gereja, pusat judi dan sebagainya. 

6) Harta atau barang tersebut hendaklah tidak melebihi kadar 1/3 harta pewasiat.

Pasal 171 huruf (f) menyebutkan "suatu benda" sebagai sesuatu yang dapat diwasiatkan.  Kompilasi Hukum Islam membedakan benda yang dapat diwasiatkan ke dalam benda bergerak dan benda tidak bergerak.  Hal ini sesuai dengan pasal 200 yang menyatakan bahwa harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila suatu saat terjadi mengalami perubahan atau kerusakan yang sebelum pewasiat meninggal dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa. 

Wasiat juga bisa berupa hasil atau pemanfaatan suatu benda tertentu.  Hal ini sesuai dengan pasal 198 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan: wasiat yang berupa hasil suatu benda atau pemanfaatan suatu benda harus diberi jangka waktu tertentu.  Pembatasan jangka waktu yang akses dalam Kompilasi Hukum Islam ini untuk memudahkan administrasi administrasi." 

d) Lafaz Wasiat (ijab dan qabul) 

Ahli-ahli fiqh dari madzhab Hanafi memandang bahwa rukun wasiat adalah memadai dengan sighah sahaja, yaitu meliputi penyerahan dan penerimaan, sedangkan benda wasiat yang diberikan kepada penerima wasiat terdapat dalam aqad (perjanjian) itu. Sebagian fuqaha’ yang lain termasuk fuqaha’ madzhab Syafie berpendapat sighah merupakan rukun wasiat yang keempat. Adapun syarat-syarat bagi lafaz ijab dan qabul adalah : 

1) Hendaklah wasiat tersebut dilafazkan dengan jelas ataupun kabur. Lafaz yang jelas seperti : “Saya mewasiatkan untuknya seribu ringgit” atau “serahkanlah seribu ringgit kepadanya setelah kematian saya” atau berikan kepadanya setelah kematian saya” atau “harta itu menjadi miliknya setelah kematian saya”. Lafaz wasiat yang jelas ini diterima sebagai suatu wasiat yang sah dilaksanakan menurut lafaz tersebut. Jika orang yang berkata tersebut menafikan ia berniat wasiat, katanya itu tidak diterima. Sementara lafaz yang kabur pula perlu disertakan dengan niat. Terdapat kemungkinan lafaz itu tidak berarti wasiat. Maka ia perlu diikuti dengan niat. Contohnya : “buku saya ini untuk Zaid”. 

2) Hendaklah wasiat ini diterima oleh penerima wasiat jika wasiat ini ditujukan kepada orang yang tertentu. Jikalau wasiat ini ditujukan kepada pihak yang umum seperti fakir miskin atau ulama’, persetujuan mereka tidak diperlukan karena ini menyukarkan. 

3) Hendaklah persetujuan tersebut diambil setelah kematian pewasiat. Tanpa harus memperhatikan apakah penerima wasiat setuju atau menolak wasiat sebelum pewasiat meninggal.

e) Batasan Wasiat

Pada dasarnya, wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari total harta warisan setelah pelunasan utang pewasiat.  Namun jika semua ahli perang menyetujui lebih dari sepertiga dari total harta warisan, maka diperbolehkan.   Batasan tersebut sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Sa'ad bin Abi 107 Waqash. 

Batasan wasiat ini harta warisan untuk melindungi kepentingan ahli waris yang lain agar mereka tetap memperoleh harta warisan.  oleh karena itu apabila pewasiat hendak mewasiatkan hartanya lebih dari sepertiga harta warisan dan maksud disetujui oleh ahli waris yang lain maka wasiat yang seperti itu sah dilakukan.  hal ini diatur dalam pasal 195 ayat (2) yang menyatakan bahwa wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari warisan kecuali jika semua ahli perang menyetujuinya.  sementara pasal 201 yang menegaskan jika wasiat melebihi dari harta warisan, sedangkan ahli waris yang lain tidak menyetujuinya, maka wasiat hanya melakukan sampai batas sepertiga saja.

f) Bentuk Wasiat

Bentuk wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam, seperti yang telah dijelaskan dalam sub bab di atas, diatur dalam pasal 195 ayat (1) yaitu dapat berupa lisan dan tulisan yang dilakukan dihadapan dua orang saksi atau tertulis dihadapan seorang Notaris.

2. Orang Tidak Boleh Menerima Wasiat

Pihak yang yidak boleh menerima wasiat ada 4 orang, antara lain :

a) Ahli Waris

Pemberi wasiat dalam pelaksanaan wasiat, fuqaha juga memberi syarat bahwa orang yang menerima wasiat bukanlah seorang yang berhak mendapatkan warisan dari orang yang berwasiat, kecuali apabila ahli waris lainnya membolehkan.

Menurut para ahli fiqih, larangan berwasiat kepada ahli waris yang telah ditentukan bagian kewarisannya ditujukan agar tidak ada kesan bahwa wasiat menunjukkan perbedaan kasih sayang antara sesama ahli waris yang dapat menimbulkan perselisihan keluarga. 

Fuqaha’Syiah Ja’ariyah menyatakan bahwa wasiat kepada ahli waris yang menerima warisan adalah boleh, kendati pun ahli waris lainnya tidak menyetujuinya. 

Pendapat membolehkan wasiat kepada ahli waris dengan syarat apabila ahli waris lain menyetujuinya adalah Mazhab Syafi’iyah, Hanafiyah dan Malikiyah.

b) Penerima Wasiat Bukan Kafir Harbi

Syarat diatas merupakan pendapat ualam dari kalangan Malikiyah, sedangkan ulama Hanafiyah menambahkan bahwa penerima wasiat bukanlah kafir harby yang berada di Dar al-arbi. Menurut ulama Syafi’iyah, peneima wasiat tidak mewasiatkan untuk berdamai dengan ahl al-harbiy.

c) Orang yang Membunuh Pewasiat

Berkenaan dengan hal ini, ulama dari kalangan Mazhab Hanafi mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pembunuhan dalam pengertian ini adalah pembunuhan secara langsung, baik secara sengaja ataupun tidak. Namun, apabila pembunuhan tersebut terjadi secara tidak langsung, maka hal ini tidak dapat dijadikan alas an membatalkan wasiat. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi :

“Siapa saja yang ingin segera mendapatkan sesuatu sebelum waktunya! Maka ia dihukum dengan tidak akan mendapatkan barang tersebut.”

d) Orang yang Fasik 

Wasiat tidak ditunjukkan untuk seuatu yang merugikan umat Islam atau untuk maksiat seperti berwasiat kepada orang fasik untuk menyebarluaskan kefasikannya atau berwasiat untuk mendirikan tempat yang digunakan untuk melakukan maksiat. Wasiat seperti ini menurut ulama Hanafiyah dianggap batal. 


C. Batalnya Wasiat dan Dicabutnya Wasiat 

1. Batalnya Wasiat

Dalam hal penerima wasiat mati sebelum meninggalnya pemberi wasiat ada perbedaan pendapat.  Menurut ulama Syafi'iyah, Malikiyah, Hanabilah dan Hanafiyah wasiat tersebut batal karena wasiat merupakan pemberian yang jika diberikan kepada orang mati maka tidak sah.  Sedang menurut Imamiyah jika si penerima wasiat meninggal lebih dulu maka kedudukannya ditentukan oleh ahli warisnya jika si penerima wasiat meninggal, hal itu bilamana wasiat tidak dicabut oleh si pemberi wasiat dan si penerima tidak menolaknya. 

Adapun masalah penarikan hal tersebut boleh dilakukan oleh pemberi wasiat sendiri jika dirasa ada yang lebih berhak atas harta tersebut.  Hal itu karena wasiat adalah suatu pemberian yang hanya boleh dilaksanakan jika pemberian wasiat meninggal dunia, sehingga dengan kata wasiat lain boleh dicabut selama pemberian masih hidup.

Pembatalan wasiat boleh dilakukan dengan ucapan yang jelas atau dengan tindakan.  Contoh ucapan yang jelas adalah.  Pewasiat mengatakan, "saya batalkan wasiat yang telah saya akadkan pada fulan."  Contoh tujuan adalah dengan tindakan adalah pewasiat menyembelih hewan yang telah ia wasiatkan atau menjual dan mengibahkannya pada orang lain.

Adapun hal-hal yang terlalu baik maupun yang terjadi antara lain:

a) Pewasiat menarik kembali wasiatnya, baik secara terang-terangan maupun dengan tindakan.

b) Pewasiat kehilangan tindakan bertindak karena kurang ingatan atau gila dan meninggalnya tetap dalam keadaan gila. 

c) Pewasiat  ketika meninggal banyak memiliki hutang sehingga harta peninggalannya tersebut. 

d) Orang yang meninggal dunia lebih dahulu sebelum memberikan wasiat. 

e) Barang yang diwasiatkan musnah (hilang, terbakar, atau hancur karena banjir) sebelum yang berwasiat meninggal dunia. 

f) Orang yang meninggal dunia.  yang diberi wasiat membunuh pewasiat.g. Orang yang diberi wasiat menolak yang akan diberikan kepadanya.

g) Orang yang diberi wasiat menolak yang akan diberikan kepadanya.

h) Barang yang diwasiatkan keluar dari milik pewasiat sebelum meninggal dunia (bukan hak milik pewasiat lagi), meskipun pada akhirnya kembali lagi menjadi pemilik pewasiat.  Saya.  

i) Syarat yang ditentukan dalam wasiat tidak terpenuhi.  Misalnya pewasiat mengatakan: apabila sakit saya ini membawa kematian, maka saya wasiatkan sepertiga dari harta saya ini kepada Fulan.  Tetapi ternyata pewasiat sembuh dari sakitnya dan tidak meninggal dunia, maka wasiat yang diucapkannya menjadi batal. 

Di samping itu, suatu wasiat dapat dicabut oleh pewasiatnya tanpa memerlukan pertimbangan atau persetujuan dari orang atau badan (lembaga) yang akan diberi wasiat.  Tindakan ini dapat diambil jika:

a) Pewasiat menjual harta yang diwasiatkannya kepada orang lain, 

b) Pewasiat kepada pilihan wasiatnya, atau 

c) Pewasiat menambah, atau menukar harta yang diwasiatkannya. 

Pembatalan wasiat dijelaskan dalam pasal 197 jo.  pasal 198, yang tercantum dalam tiga ayat.  Alasan mengapaiat tersebut adalah: 

a) Jika calon penerima itu memutuskan hukuman pidana karena:

1) Membunuh atau membunuh atau menganiaya berat pewasiat,

2) Memfitnah telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman minimal 5 tahun penjara, 

3) Kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat, Anda, atau mengubah wasiat  untuk kepentingan calon penerima wasiat, atau 

4) Menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat

b) Jika orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat tersebut: 

1) Tidak mengetahui adanya wasiat sampai penerima wasiat meninggal sebelum pewasiat meninggal.  

2) Mengetahui adanya wasiat itu, tetapi ia menolak untuk menerimanya.

3) Mengetahui adanya wasiat tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.  

c) Apabila barang yang diwasiatkan musnah, dan/atau 

d) Masa waktunya habis jika wasiat yang berupa hasil dari benda atau pemanfaatan suatu benda harus dibatasi dalam jangka waktu tertentu.

Kemudian pada pasal 207 KHI mengemukakan bahwa wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan seseorang dan kepada orang yang memberi penderitaan bahwa ketika ia menderita hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa.  Selain itu, pada pasal 208 KHI disebutkan juga bahwa wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akta wasiat.

2. Dicabutnya Wasiat

Selain alasan itu, KHI juga mengatur bagaimana itu bisa dicabut, pencabutan itu ada pada pasal 199, adapun tuntutan pencabutan tersebut:

a) Calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuan atau menarik persetujuan 

b) Pencabutan wasiatnya jika secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi, secara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi berdasarkan akta notaris 

c) Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan  cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte notaris.  Tetapi jika wasiat dibuat dengan akta notaris, maka hanya bisa dicabut dengan akta notaris.  

Kemudian dalam pasal 203 ayat (2) mengemukakan bahwa apabila surat wasiat tersebut dicabut maka surat wasiat harus dikembalikan kepada pewasiat.



BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Wasiat adalah berpesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah orang meninggal dunia. Wasiat berasal dari kata washa yang berarti menyampaikan atau memberi pesan atau pengampuan. Dengan arti kata lain, wasiat adalah harta yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain setelah si pemberi meninggal dunia.

Adapun syarat-syarat wasiat yaitu yang pertama adalah pemberi wasiat, yang kedua adalah penerima wasiat, yang ketiga adalah barang yang diwasiatkan, yang keempat adalah lafadz wasiat (ijab dan qabul), yang kelima adalah batasan wasiat dan yang keenam adalah bentuk wasiat. Dan adapun pihak yang tidak boleh menerima wasiat ada 4 orang yakni Ahli waris, Penerima wasiat bukan Kafir Harbi, Orang yang membunuh pewasiat dan Orang yang fasik. 

Suatu wasiat dapat dicabut oleh pewasiatnya tanpa memerlukan pertimbangan atau persetujuan dari orang atau badan (lembaga) yang akan diberi wasiat.  Tindakan ini dapat diambil jika pewasiat menjual harta yang diwasiatkannya kepada orang lain, pewasiat kepada pilihan wasiatnya, atau pewasiat menambah, atau menukar harta yang diwasiatkannya. Pembatalan wasiat dijelaskan dalam pasal 197 jo.  pasal 198, yang tercantum dalam tiga ayat.  Alasan mengapaiat tersebut adalah Jika calon penerima itu memutuskan hukuman pidana Jika orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat tersebut tidak mengetahui adanya wasiat sampai penerima wasiat meninggal sebelum pewasiat meninggal, apabila barang yang diwasiatkan musnah, dan/atau masa waktunya habis jika wasiat yang berupa hasil dari benda atau pemanfaatan suatu benda harus dibatasi dalam jangka waktu tertentu.



DAFTAR PUSTAKA

Az-Zuhaili, Wahbah. Op.Cit

Al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Musthafa al-Babi al-Halbi wa aula’duhu. Kairo: t.p. 1958

Ibn Qudamah, Al-Mughni, juz 6, Maktabah Al-Qahiriyah. Kairo: t.p. 1970

Shams al-Din, Muhammad Ja’far. al-Wasiyyah wa Ahkamuhu. t.tp: t.p. t.thn

Abdul al-Rahman bin Muhammad ‘Awad al-Jazari, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib, Juz 2. t.tp: t.p. t.thn

Hamzah, Amir dan A. Rachmad Budiono, Op.Cit

Halim, Wan Abdul. Pengurusan dan Pembahagian Harta Pusaka. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka. 2006

Sabiq, Sayid. Op.Cit

Manan, Abdul. Op. Cit

Halim, Wan Abdul. Op.Cit

Moh.  Rifa'i, Moh.  Zuhri, dan Salomo, Terjamah Khulasah Kifayatul Akhyar. Semarang: Toha Putra. 1978  

Muttafaq Alaih. Hadits Nomor 913/2 dalam Al-Imam Isma'il al-Amir Yamaniy Shan'aniy, Subul al-Salâm: Syarh Bulûgh al-Marâm.  Jilid II. Beirut: Dar al-Kutub al'Ilmiyyah. 2003

https://www.academia.edu/35549098/Makalah_Pihak_Yang_Tidak_Menerima_Wasiat (Diakses pada Sabtu, 11 September 2021, Pukul 15.46 WITA)

al-Jaziry, Abdurrahman. Op. Cit

Proyek pembinaan sarana dan prasarana perguruan tinggi Agama Islam. Op. Cit

Al-Mughniyah. Op.Cit


Tidak ada komentar:

Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia

 MAKALAH “Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia ” Mata Kuliah: Hukum Perdata Islam di Indonesia B  Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH ...

Diberdayakan oleh Blogger.