Perceraian dan Hak Asuh Anak

 MAKALAH

PERCERAIAN DAN HAK ASUH ANAK

Dosen Pengajar: Noor Efendy, SHI, MH


 

Oleh Kelompok 2

Muhammad Firdaus (2019110712)

Muhammad Iqbal (2019110714)

Atailah Al Maki         (2019110702)

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

DARUL ULUM KANDANGAN

TAHUN 2021 M / 1443 H

  


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT. karena atas limpahan dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah sederhana ini meskipun sangat jauh dari kata sempurna. Shalawat serta salam tak lupa pula kami haturkan keharibaan junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta para pengikut-pengikut beliau sampai akhir zaman.

Tujuan dalam pembuatan makalah ini antara lain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hadis dan Tafsir Tematik. Selain itu juga untuk menambahkan wawasan pembaca sekalian.

Makalah ini memang jauh dari kata kesempurnaan, baik dalam isi, susunan, maupun penyajiannya. Untuk itu segala kritik dan saran dari Ibu/Bapa Dosen dan teman-teman semuanya agar bisa mengambil pelajaran dari makalah ini. Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan khususnya bagi para mahasiswa sekalian.


Kandangan, 19 September 2021

Penulis



DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Perceraian Dan Hak Asuh Anak

B. Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Menurut UU Dan HKI

C. Dampak Perceraian Terhadap Anak

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah upaya menyatukan dua pribadi yang berbeda satu sama lain. Dalam kenyataannya tidak semua perkawinan dapat berlangsung dengan langgeng dan tentunya tidak ada seorang pun yang ingin perkawinannya berakhir dengan jalan perceraian. Saat semua upaya dikerahkan untuk menyelamatkan suatu perkawinan ternyata pada akhirnya diputus cerai oleh pengadilan. Dengan putusnya suatu perkawinan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka akan ada akibat hukum yang mengikutinya, salah satunya adalah mengenai Hak Asuh atas anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Dari hubungan dengan orang tua dan anak yang masih dibawah umur timbul hak dan kewajiban. Hak-hak dan kewajiban orang tua terhadap anak yang masih dibawah umur diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang pokok perkawinan No.1 tahun 1974 dengan judul Kekuasaan Orang Tua. Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tua dalam hal ini meliputi masalah ekonomi, pendidikan dan segala hal mengenai kebutuhan pokok.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud perceraian dan hak asuh anak ?

2. Bagaimana Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Menurut UU dan KHI?

3. Apa Dampak perceraian terhadap anak?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu perceraian dan hak asuh anak.

2. Untuk mengetahui hak asuh anak pasca perceraian menurut UU dan KHI.

3. Untuk mengetahui dampak perceraian terhadap anak.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perceraian Dan Hak Asuh Anak

Perceraian atau putusnya perkawinan adalah terputusnya ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita. Cerai atau Talak berasal dari bahasa arab “Thalaq“ yang diambil dari kata “thalaqa-yuthliqu-thalaqan” dengan arti melepaskan atau meninggalkan. Maka dapat diartikan bahwa thalak adalah mengurai atau melepaskan tali pengikat, baik tali yang bersifat konkrit maupun abstrak. Dalam konteks pernikahan, kata cerai atau talak diartikan sebagai pelepasan tali pernikahan oleh kehendak suami yang dilakukan sesuai syariat agama. Talak ini dapat terjadi dari suami dengan ucapan tertentu, misalnya suami mengatakan kepada istrinya, “Saya talak engkau” atau “Aku ceraikan engkau”. Dengan ucapan ini sebanyak 3 kali, maka lepaslah ikatan pernikahan dan terjadilah perceraian. 

Adat mayoritas masyarakat Indonesia yang dinamakan putusnya perkawinan adalah ketika suami mengucapkan kata talak, mereka menganggap bahwa hal tersebut sebagai tanda ikatan perkawinan telah putus, akan tetapi sesungguhnya di Indonesia sendiri sudah memiliki peraturan sendiri tentang perceraian, bahwa perceraian baru dianggap putus setelah diputus di hadapan Pengadilan Agama.  Menurut Subekti, perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. 

Kemudian Hak asuh anak atau dalam hokum islam dikenal dengan istilah Hadhanah. Hadhanah adalah suatu kegiatan mengasuh, memelihara, mendidik anak hingga ia dewasa atau mampu berdiri sendiri. Dari sebuah pernikahan terlahir anak sebagai ahli waris atas harta kekayaan orang tuanya.  Keinginan untuk mempunyai anak bagi setiap pasangan suami-istri merupakan naluri insani dan secara fitrah anak-anak tersebut merupakan amanat Allah SWT kepada pasangan suami istri tersebut. Hak asuh anak merupakan hal yang wajib dilaksanakan oleh kedua orang tua terhadap anak yang masih kecil atau belum mumayyiz tanpa ada pengecualian. Karena tanpa adanya hak asuh anak maka akan mengakibatkan anak menjadi terlantar dan tersia-sia hidupnya.

Dasar hokum mengenai hak asuh anak adalah firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:

وَٱلْوَٰلِدَٰتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَٰدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةٌۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُۥ بِوَلَدِهِۦ ۚ وَعَلَى ٱلْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآ ءَاتَيْتُم بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. 

Dalam Kompilasi Hukum Islam juga menyatakan dalam pasal 105 KHI dalam hal perceraian:

1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah ibunya sebagai pemegang pemeliharaan.

3. Biaya pemeliharaan ditanggung ayahnya.

Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam diatas menjelaskan bagi mereka yang memeluk agama islam maka anak dibawah umur hak pengasuhanya jatuh kepada ibunya. 

B. Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Menurut UU dan KHI

Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan negara melalui kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi anak. Ayah kandung berkewajiban memberikan jaminan nafkah anak kandungnya dan seorang anak begitu dilahirkan berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya baik pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya meskipun perkawinan orangtua si anak telah putus.

Bagi anak-anak yang dilahirkan, perceraian orang tuanya merupakan hal yang akan mengguncang kehidupannya dan akan berdampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga biasanya anak-anak adalah pihak yang paling menderita dengan terjadinya perceraian orang tuanya.   Landasan kewajiban ayah menafkahi anak selain karena hubungan nasab juga   karena kondisi anak yang belum mandiri dan sedang membutuhkan pembelanjaan, hidupnya tergantung kepada adanya pihak yang bertanggung jawab menjamin nafkah hidupnya. Orang yang paling dekat dengan anak adalah ayah dan ibunya, apabila ibu bertanggung jawab atas pengasuhan anak di rumah maka ayah bertanggung jawab mencarikan nafkah anaknya.  Pihak ayah hanya berkewajiban menafkahi anak kandungnya selama anak kandungnya dalam keadaan membutuhkan nafkah, ia tidak wajib menafkahi anaknya yang mempunyai harta untuk membiayai diri sendiri. Sebaliknya anak keturunan sudah semestinya berbuat baik dan berkhidmat kepada orang tuanya secara tulus, orang tualah yang menjadi sebab terlahirnya ia ke dunia.

Jika digolongkan hak anak dapat dikategorikan kedalam empat kelompok besar, yaitu hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk mendapat perlindungan, dan hak untuk berpartisipasi. Dalam ajaran Islam, ada dua periode perkembangan anak dalam hubungannya dengan hak asuh orang tua, yaitu periode sebelum mumayyiz (anak belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya, dari lahir sampai berumur tujuh atau delapan tahun) menurut Kompilasi Hukum Islam sampai berusia 12 tahun, (Pasal 106 KHI) dan sesudah mumayyiz. Sebelum anak mumayyiz, ibu lebih berhak menjalankan hak asuh anak karena ibu lebih  mengerti  kebutuhan  anak dengan  kasih  sayangnya  apalagi  anak  pada  usia tersebut sangat  membutuhkan  hidup  di   dekatnya. 

Masa  mumayyiz  dimulai  sejak  anak   secara sederhana sudah mampu membedakan mana yang berbahaya dan bermanfaat bagi dirinya, ini dimulai sejak umur 7 (tujuh) tahun sampai menjelang dewasa (balig berakal). Pada masa ini anak sudah dapat memilih dan memutuskan apakah akan memilih ikut ibu atau ayahnya. Tetapi dalam kondisi tertentu ketika pilihan anak tidak menguntungkan bagi anak, demi kepentingan anak hakim boleh mengubah putusan itu dan menentukan mana yang maslahat bagi anak.

Pasal 9 UU No.4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak menyebutkan bahwa orangtua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara fisik, jasmani maupun sosial. Tanggung jawab orangtua atas kesejahteraan anak mengandung  kewajiban  memelihara  dan  mendidik  anak  sedemikian  rupa,  sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada orangtua, berbudi pekerti luhur, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkemauan, serta berkemampuan untuk meneruskan cita-cita bangsa berdasarkan Pancasila.  Penjelasan Pasal 9 UU No.4 Tahun 1979 Kesejahteraan Anak

Pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberikan pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup anak dari orangtuanya, kewajiban untuk melakukan pemeliharaan terhadap anak bersifat tetap sampai sianak mampu berdiri sendiri. M.Yahya Harahap,Op.cit,hal.204 Didalam beberapa aturan Perundang-undangan dapat kita lihat beberapa hal yang mengatur kewajiban orangtua terhadap anak, kewajiban orangtua terhadap anak setelah perceraian menurut Undang-Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1979. Secara hukum kewajiban antara suami dan istri akan timbul apabila perkawinan tersebut telah dilakukan atau dilangsungkan,  dengan  kata  lain  kewajiban  seorang  istri  atau suami tidak akan ada apabila seorang pria atau wanita belum melangsungkan perkawinan. Adapun kewajiban dan hak yang seimbang antara suami maupun istri apabila dibarengi dengan kewajiban yang sama pula yaitu kewajiban untuk membina  dan menegakkan rumah tangga yang diharapkan akan menjadi dasar dalam membangun rumah tangga. Kewajiban bersama antara suami dan istri dalam membina dan menjalin rumah tangga akan luntur apabila rumah tangga yang dibangun tersebut mengalami goncangan dan terlebih parahnya lagi apabila tatkala rumah tangga tersebut bubar, perihal mengenai hal ini ini sebelumnya telah ada dan diatur dalam UU Perkawinan. Di dalam Pasal 45 disebutkan sebagai berikut :

1. Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.

2. Kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak anak itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara keduanya putus.

Selanjutnya dalam Pasal 47 dinyatakan sebagai berikut :

1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.

Dari beberapa penjelasan UU diatas, maka dapat disimpulkan bahwa UU Perkawinan mengatur kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya sekalipun rumah tangga telah putus karena perceraian. Kewajiban orangtua tersebut meliputi:

1. Orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

2. Orangtua mewakili anak mengenai perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.

3. Sebagaimana adapun di dalam Pasal 41 UU Perkawinan dijelaskan bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajibannya, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya pemeliharaannya dan pendidikan yang diperlukan anak, Kewajiban tersebut tetap berlaku meskipun kekuasaan sebagai orangtua dicabut.

Kewajiban orang tua terhadap anak setelah perceraian  menurut  Kompilasi  Hukum  Islam. Dalam pandangan ajaran Islam terhadap anak menempatkan anak dalam kedudukan yang mulia. Anak mendapatkan kedudukan dan tempat yang istimewa dalam Nash Al-Qur’an dan Al-Hadist, Karena itu di dalam pandangan Islam anak itu harus diperlakukan secara manusiawi, diberikan pendidikan, pengajaran, keterampilan dan akhlakul karimah agar anak tersebut  kelak  dapat  bertanggung  jawab dalam  mensosialisasikan  diri  untuk    memenuhi kebutuhan hidup dimasa depan.

Didalam KHI yang memuat hukum materil tentang perkawinan, kewarisan dan juga wakaf yang dirumuskan secara sistematis hukum Islam di Indonesia secara konkrit, maka karena itu perlu ditinjau beberapa hal mengenai ketentuan-ketentuan dalam KHI yang mengatur tentang kewajiban orang tua terhadap anak. Pasal 77 KHI menyebutkan :

1. Suami Istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan  masyarakat.

2. Suami Istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberikan bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.

3. Suami Istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.

4. Suami Istri wajib memelihara kehormatannya.

5. Jika suami istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.

Berkaitan kewajiban orang tua setelah putusnya perkawinan, KHI dalam pasal- pasalnya menggunakan istilah dengan namanya pemeliharaan anak yang dimuat di dalam  Bab XIV Pasal 98 sampai dengan Pasal 106, tetapi secara eksplisit pasal yang mengatur kewajiban pemeliharaan anak jika adanya perceraian hanya terdapat didalam Pasal 105 dan Pasal 106. Dalam Pasal 98 KHI ditegaskan :

1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

2. Orangtua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar Pengadilan.

3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orangtuanya tidak mampu.

Sementara   Pasal   105   KHI   dalam   hal   terjadinya   perceraian,   menyebutkan:

1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12  tahun  adalah hak ibunya.

2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk    memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.

3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Sedangkan menyangkut harta yang dimiliki anak, orang tua berkewajiban untuk merawat dan mengembangkan harta tersebut, hal ini diatur di dalam Pasal 106 KHI yang menyebutkan :

1. Orang tua berkwajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau masih dibawah pengampuan dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikan kecuali karena keperluan yang sangat mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau sesuatu kenyataan tidak dapat dihindarkan lagi.

2. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan  dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).

Pasal-Pasal yang terdapat dalam KHI tentang hadhanah Menegaskan bahwa kewajiban pengasuhan material dan non material kepada anak merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Lebih lagi KHI membagi tugas yang harus dilakukan orangtua sekalipun mereka telah berpisah. Anak yang belum mumayyiz tetap diasuh oleh ibunya sedangkan pembiayaan tetap menjadi tanggung jawab dan kewajiban dari ayah. KHI juga menentukan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12  (dua belas) tahun adalah hak bagi ibu untuk memeliharanya, sedangkan apabila anak tersebut  sudah mumayyiz ia dapat memilih antara ayah atau ibunya untuk bertindak sebagai pemeliharanya. 

C. Dampak Perceraian Terhadap Anak

Perceraian mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan Jiwa dan pendidikan anak, terutama anak usia Sekolah Dasar dan remaja. Diantaranya:

1. Dapat menyebabkan anak bersikap pendiam dan rendah diri, nakal yang berlebihan, prestasi belajar rendah dan merasa kehilangan. Walaupun tidak pada semua kasus demikian tapi sebagian besar menimbulkan dampak yang negatif terhadap perkembangan jiwa anak dan juga berpengaruh terhadap proses pendidikan anak itu sendiri sebagaimana tersebut diatas.

2. Pada umumnya anak-anak yang keluarganya bercerai ikut bersama ibunya, dan semua biaya hidupnya yang seharusnya menjadi tanggung jawab bapak tetapi menjadi tanggung jawab si ibu.

3. Dampak perceraian orang tua juga terlihat secara nyata bagi anak-anak usia sekolah Dasar seperti pendiam, pemalu, tidak lagi ceria dan prestasi belajarnya menurun.

4. Perceraian orang tua merupakan problema yang cukup besar bagi anak- anaknya terutama bagi anak-anak yang masih sekolah dasar, sebab anak-anak pada usia ini masih sangat membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya.

5. Suasana rumah tangga memberi pengaruh terhadap perkembangan dan pendidikan anak usia Sekolah Dasar. Suasana keluarga yang berantakan dapat menyebabkan anak tidak dapat belajar dengan baik bahkan membawa pengaruh yang negatif terhadap perkembangan jiwa anak dalam masa pertumbuhannya, karena pribadi si anak umumnya terjadi melalui pengalaman yang didapat diwaktu kecil. Pengalaman yang diperoleh anak di waktu kecil baik pengalaman pahit maupun menyenangkan semuanya memberi pengaruh dalam kehidupan anak nantinya. 



BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perceraian atau putusnya perkawinan adalah terputusnya ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita. Mayoritas masyarakat Indonesia yang dinamakan putusnya perkawinan adalah ketika suami mengucapkan kata talak, mereka menganggap bahwa hal tersebut sebagai tanda ikatan perkawinan telah putus, akan tetapi sesungguhnya di Indonesia sendiri sudah memiliki peraturan sendiri tentang perceraian, bahwa perceraian baru dianggap putus setelah diputus di hadapan Pengadilan Agama.

Hak asuh anak atau dalam hokum islam dikenal dengan istilah Hadhanah. Hadhanah adalah suatu kegiatan mengasuh, memelihara, mendidik anak hingga ia dewasa atau mampu berdiri sendiri.  Dasar hokum mengenai hak asuh anak adalah firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 233.

Dalam ajaran Islam, ada dua periode perkembangan anak dalam hubungannya dengan hak asuh orang tua, yaitu periode sebelum mumayyiz (anak belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya, dari lahir sampai berumur tujuh atau delapan tahun) menurut Kompilasi Hukum Islam sampai berusia 12 tahun, (Pasal 106 KHI) dan sesudah mumayyiz. Sebelum anak mumayyiz, ibu lebih berhak menjalankan hak asuh anak karena ibu lebih  mengerti  kebutuhan  anak dengan  kasih  sayangnya  apalagi  anak  pada  usia tersebut sangat  membutuhkan  hidup  di   dekatnya.

Masa  mumayyiz  dimulai  sejak  anak   secara sederhana sudah mampu membedakan mana yang berbahaya dan bermanfaat bagi dirinya, ini dimulai sejak umur 7 (tujuh) tahun sampai menjelang dewasa (balig berakal). Pada masa ini anak sudah dapat memilih dan memutuskan apakah akan memilih ikut ibu atau ayahnya. Tetapi dalam kondisi tertentu ketika pilihan anak tidak menguntungkan bagi anak, demi kepentingan anak hakim boleh mengubah putusan itu dan menentukan mana yang maslahat bagi anak.

Pasal 9 UU No.4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak menyebutkan bahwa orangtua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara fisik, jasmani maupun sosial. 

Di dalam Pasal 45 disebutkan sebagai berikut : 

1. Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya. 

2. Kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak anak itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara keduanya putus.

Selanjutnya dalam Pasal 47 dinyatakan sebagai berikut :

1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.

Dalam Pasal 98 KHI ditegaskan :

1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

2. Orangtua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar Pengadilan.

3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orangtuanya tidak mampu.

Sementara   Pasal   105   KHI   dalam   hal   terjadinya   perceraian,   menyebutkan:

1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12  tahun  adalah hak ibunya.

2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk    memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.

3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Dampak dari perceraian Dapat menyebabkan anak bersikap pendiam dan rendah diri, nakal yang berlebihan, prestasi belajar rendah dan merasa kehilangan. Walaupun tidak pada semua kasus demikian tapi sebagian besar menimbulkan dampak yang negatif terhadap perkembangan jiwa anak dan juga berpengaruh terhadap proses pendidikan anak itu sendiri sebagaimana tersebut diatas.

B. Saran

Saran dari kami agar pembaca dapat menjadikan makalah ini sebagai pengetahuan dasar untuk mencari pengetahuan yang lebih jauh tentang perceraian dan hak asuh anak. Dan Kami  masih menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kata kesempurnaan, untuk itu kami membutuhkan saran dan kritik dari kalian semua yang bersifat membangun, agar dapat tercipta makalah yang lebih baik lagi untuk ke depannya.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2006.

Anonim. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: CV. Nuansa Aulia. 2009.

Departemen agama RI. Al-Quran dan terjemahannya. Semarang: CV. Asy-Syifa. 1971.

Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa. 1985.

Saifullah. Problematika Anak dan Solusinya (Pendekatan Sadduzzara’i). Artikel Jurnal Mimbar hukum. Jakarta. 1999.

https://wisatanabawi.com/perceraian-dalam-islam/ (diakses 19 September 2021, 10.45)

https://harismaagung.blogspot.com/2017/04/makalah-tentang-hak-asuh-anak-pasca.html?m=1 (diakses 19 September 2021)

M. Yusuf, MY., Jurnal Al-Bayan/VOL. 20, NO. 29, Januari – Juni 2014, Dampak Perceraian Orang Tua Terhadap Anak.


Tidak ada komentar:

Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia

 MAKALAH “Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia ” Mata Kuliah: Hukum Perdata Islam di Indonesia B  Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH ...

Diberdayakan oleh Blogger.