Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia
MAKALAH
“Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia ”
Mata Kuliah: Hukum Perdata Islam di Indonesia B
Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH
Disusun Oleh:
Kelompok 10
ADRIKNY JANNATIKA (2019110699)
NORLATIPAH (2019110733)
PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM KANDANGAN
1443H/2021M
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Dosen pada mata kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia B. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Prospek Hukum Perdata Islam yang ada di Indonesia bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Noor Efendy, SHI, MH, selaku dosen di mata kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia B yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Kandangan, 14 September 2021
Kelompok 10
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Perdata Islam
B. Kekuatan dan Kemajuan Hukum Perdata Islam
C. contoh masalah dalam hukum keperdataan Islam
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah Negara Pancasila yang berdasarkan atas huhum, di samping Indonesia adalah negara yang terdapat berbagai macam agama, dan semua agama mempunyai kedudukan yang sama serta pemeluknya berhak menjalankan ajaran agamanya sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya masing-masing.
Agama Islam merupakan yang terbanyak penganutnya di Indonesia dan hukum Islam merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat , untuk itu timbul tandatanya di Indonesia oleh para penganutnya tentang nasib hukum Islam dalam sistem hukum nasional.
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan merupakan bagian dari agama Islam. Berbeda dengan hukum lainnya, hukum Islam tidak hanya hasil pemikiran manusia yang dipengaruhi oleh kebudayaannya, tetapi dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui wahyuNya dan dijelaskan oleh Rasulullah melalui sunnahnya.
Dalam masyarakat Indonesia, keberlakuan hukum Islam didasarkan pada berbagai alasan, yaitu alasan filosofis, sosiologis dan alasan yuridis. Secara filosofis hukum Islam mampu menjiwai pandangan hidup, ideologi dan cita-cita bangsa. Alasan sosiologis terlihat dalam sejarah masyarakat Indonesia dan kenyataan yang berkembang, dimana hukum Islam telah menyebar dan bersosialisasi dalam proses interaksi sosial. Alasan yuridis terwujud dalam bentuk peraturan perundangan yang merupakan positifikasi hukum Islam. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa sistem hukum Islam mempunyai kedudukan yang kuat dalam tata hukum Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hukum Perdata Islam ?
2. Bagaimana Kekuatan dan Kemajuan Hukum Perdata Islam ?
3. Apa contoh masalah dalam hukum keperdataan Islam ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Hukum Perdata Islam
2. Untuk mengetahui Kekuatan dan Kemajuan Hukum Perdata Islam
3. Untuk mengetahui contoh masalah dalam hukum keperdataan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Perdata Islam
Hukum Perdata adalah hukum yang bertujuan menjamin adanya kepastian didalam hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain kedua-duanya sebagai anggota masyarakat dan benda dalam masyarakat atau hukum perdata Islam adalah sebagian dari hukum Islam yang telah berlaku secara yuridis formal atau menjadi hukum positif dalam tata hukum Indonesia, yang isinya hanya sebagian dari lingkup mu’amalah, bagian hukum Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Misalnya adalah hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, zakat dan perwakafan serta ekonomi syari’ah. Dengan demikian penerapan hukum Islam dalam bidang keperdataan dapat dikatakan cukup sempurna, karena mencakup dalam hal mu’amalah, perkawinan, perceraian, kewarisan (ahwal al- syakhshiyyah), peradilan, dan dalam masalah ibadah.
B. Kekuatan dan Kemajuan Hukum Perdata Islam
Untuk mengetahui bagaimana masa depan kedudukan dan keberlakuan hukum perdata Islam di Indonesia, harus dilihat dari berbagai faktor yang mendukung adanya penerimaan (subtansi) dan juga faktor yang menghambat atau melakukan resistensi. Kedua faktor ini perlu dipertimbangkan mengingat dua hal, yaitu bentuk negara dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Bentuk negara Indonesia sudah dianggap final, dan pluralitas masyarakat juga sebuah kenyataan sosial. Dengan demikian yang dapat dilakukan adalah mengetahui berbagai peluang atau prospek sekaligus melihat penghambat bagi implementasi hukum Islam di Indonesia.
Secara politis maupun sosiologis terdapat faktor-faktor yang dianggap sebagai pendukung bagi pemberlakuan hukum Islam di Indonesia. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Kedudukan hukum Islam,
2. Penganut yang mayoritas,
3. Ruang lingkup hukum Islam yang luas, serta
4. Dukungan aktif organisasi kemasyarakatan Islam.
Kemajuan dan kekuatan hukum Islam sejajar dengan hukum yang lain, dalam artian mempunyai kesempatan yang sama dalam pembentukan hukum nasional. Namun, hukum Islam mempunyai prospek yang lebih cerah berdasarkan berbagai alasan, baik alasan historis, yuridis, maupun sosiologis. Nilai-nilai hukum Islam mempunyai lingkup yang lebih luas, bahkan sebagian nilai-nilai tersebut sudah menjadi bagian dari kebudayaan nasional, sedangkan hukum adalah bagian dari kebudayaan.
Faktor lain bahwa Islam adalah agama dengan penganut mayoritas merupakan aset yang menjanjikan. Dengan modal mayoritas ini, umat Islam bisa masuk dalam berbagai lembaga pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang mempunyai kewenangan dalam menetapkan politik hukum. Logikanya, semakin banyak populasi muslim, maka semakin banyak pula aspirasi yang masuk dan terwakilkan. Namun realitas ini tidak serta merta menjadi sesuatu yang nyata, karena sangat tergantung pada bagaimana keinginan dan upaya umat Islam dalam mengimplementasikannya.
Faktor kekuatan lain terletak pada cakupan bidang hukum yang luas. Dengan keluasan bidangnya, hukum perdata Islam merupakan alternatif utama dalam pembentukan tata hukum, karena mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan hukum masyarakat. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan mengambil nilai-nilai Islam yang bersifat universal (sebagai norma abstrak), untuk dijadikan sebagai konsep teoritis guna dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Faktor keempat yang juga penting adalah peran aktif lembaga atau organisasi Islam. Secara struktural keberadaan organisasi-organisasi Islam dalam sistem politik Indonesia menjadi pengimbang bagi kebijakan pemerintah. Kontribusi nyata dari berbagai organisasi Islam setidaknya menjadi daya tawar dalam pengambilan berbagai keputusan yang menyangkut kepentingan umum.
Di samping peluang atau prospek positif di atas, perlu dicermati juga hambatan yang menjadi penghalang bagi berlakunya hukum Islam di Indonesia. Secara sederhana faktor yang tidak mendukung prospek hukum Islam di Indonesia terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari kurang ‘kafahnya’ (maxsimal) institusionalisasi dan pandangan dikotomis terhadap hukum perdata Islam. Sedangkan faktor eksternalnya adalah pengaruh politik hukum pemerintah terhadap bidang-bidang hukum tertentu.
Di antara produk hukum positif di era reformasi sementara ini yang sangat jelas bermuatan hukum Islam (Hukum Perdata Islam) ini antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat;
2. Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf;
3. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan terhadap Undangundang Nomor 7 tahun 1999 tentang Peradilan Agama.
Lantas bagaimana mengenai perkawinan dan kewarisan. Perkembangan hukum perdata Islam dengan lahirnya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan terhadap Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama terletak pada Pasal 49 ayat (1) undang-undang tersebut yang menegaskan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
1. perkawinan;
2. waris;
3. wasiat;
4. hibah;
5. wakaf;
6. zakat;
7. infaq;
8. shadaqah; dan
9. ekonomi syari‟ah.
C. Contoh masalah dalam Hukum Keperdataan Islam
Dalam perkembangan hukum perdata islam banyak hal yang sangat menarik yang terjadi pada masalah hukum perdata islam, diantaranya :
1 Hukum Pencatatan Pernikahan
Pencatatan pernikahan merupakan pendataan administrasi perkawinan yang ditangani oleh petugas pencatat perkawinan (PPN) dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban hukum. Dalam literatur hukum Islam pencatatan perkawinan ditetapkan berdasarkan ijtihad, hal ini karena pencatatan perkawinan tidak diatur secara tegas dalam al-Qur‟an dan hadits. Perkawinan merupakan salah satu perikatan yang telah disyariatkan dalam Islam. Hal ini dilaksanakan untuk memenuhi perintah Allah agar manusia tidak terjerumus ke dalam perzinaan. Perkawinan dalam hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Karena perkawinan merupakan ikatan yang sangat kuat, maka akad nikah dalam sebuah perkawinan memiliki kedudukan yang sentral. Begitu pentingnya akad nikah ia ditempatkan sebagai salah satu rukun nikah yang disepakati. Kendati demikian tidak ada syarat bahwa akad nikah itu harus dituliskan atau di aktekan. Atas dasar inilah fikih Islam tidak mengenal adanya pencatatan perkawinan.
Meskipun Al-Qur‟an telah menganjurkan pencatatan transaksi muamalah dalam keadaan tertentu. Untuk hukum yang berlaku di Indonesia percatatan perkawinan telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1946, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Dengan adanya pencatatan, maka pernikahan secara hukum agama maupun negara menjadi sah. Selain itu, hal ini penting bagi pemenuhan hak-hak istri dan anak (terutama pembagian harta waris, pengakuan status anak, dasar hukum kuat bagi istri jika ingin menggugat suami atau sebaliknya). Pencatatan berfungsi sebagai perlindungan bagi istri/suami.
Dengan demikian pencatatan perkawinan sangatlah urgent. Selain demi terjaminnya ketertiban akta nikah bisa digunakan untuk mendapatkan hak-hak, dan terlepas dari perasangka, keragu-raguan, kelalaian serta saksi-saksi yang cacat secara hukum. Kendatipun pencatatan perkawinan hanya bersifat administratif tetap harus dianggap penting karena melalui pencatatan perkawinan tersebut akan diterbitkan buku kutipan akta nikah yang akan menjadi bukti otentik tentang dilangsungkannya sebuah perkawinan yang sah.
Di antara dalil hukum Islam yang dikemukakan oleh para ulama untuk mendiskripsikan pentingnya pencatatan perkawinan adalah qiyas. Dalam hal ini adalah menganalogikan pernikahan dengan transaksi hutang piutang. Pernikahan pada prinsipnya jauh lebih penting untuk dicatatakan, dibanding perintah untuk mencatakan transaksi mu‟amalah lainnya, sebagaimana firman Allah swt. dalam surat Al-Baqarah ayat 282 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... .
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan. Oleh karena itu, mestinya bahasan ini termasuk hal yang mendapat perhatian serius dari ulama fiqh karena terdapat ayat Al-Qur‟an yang menghendaki untuk mencatat segala transaksi muamalah.
2 Wasiat Wajibah
Wasiat wajibah pada prinsipnya merupakan wasiat yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu oleh negara melalui jalur yudikatif. Pengaturan wasiat wajibah secara sempit diatur dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam yaitu hanya untuk anak angkat dan orang tua angkat dan hakim memiliki kewenangan ijtihad untuk memperluas wasiat wajibah. Ijtihad hakim pada umumnya diperluas dengan bersandar pada asas keadilan dan keseimbangan. Perihal wasiat dalam Al-Qur‟an antara lain diatur dalam surat Al-Baqarah ayat 180 yang menyatakan bahwa: Kalau kamu meninggalkan harta yang banyak, diwajibkan bagi kamu apabila tanda-tanda kematian datang kepadamu, untuk berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya secara baik. Dilanjutkan masih dalam ayat tersebut bahwa: wasiat adalah kewajiban orang-orang yang bertakwa kepada-Nya.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 240 juga dinyatakan bahwa: Orang yang meninggalkan isteri/isteri- isteri hendaklah berwasiat bagi isteri/isteri-isterinya berupa nafkah selama setahun dan tidak boleh dikeluarkan dari rumah tempat tinggalnya selama ini.
Wasiat dalam sistem hukum Islam di Indonesia belum diatur secara material dalam suatu undang-undang seperti kewarisan barat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Wasiat hanya diatur Kompilasi Hukum Islam sebagaimana termuat dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Wasiat diatur dalam Bab V yaitu pasal 194 sampai dengan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 194 sampai dengan pasal 208 mengatur tentang wasiat biasa sedangkan dalam pasal 209 mengatur tentang wasiat yang khusus diberikan untuk anak angkat atau orang tua angkat, dalam khasanah hukum Islam, wasiat tidak biasa ini disebut wasiat wajibah.
Tidak terdapat definisi secara formal mengenai wasiat wajibah dalam sistem hukum Islam di Indonesia. Wasiat wajibah secara tersirat mengandung unsur-unsur yang dinyatakan dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, yaitu sebagai berikut:
1) Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau sebaliknya, orang tua angkat terhadap anak angkat;
2) Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan tetapi dilakukan oleh Negara;
3) Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh melebihi 1/3 (satu pertiga) dari harta peninggalan pewaris.
Wasiat wajibah dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam timbul untuk menyelesaikan permasalahan antara pewaris dengan anak angkatnya dan sebaliknya anak angkat selaku pewaris dengan orang tua angkatnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum perdata Islam adalah adalah hukum Islam yang telah berlaku berdasarkan al-Qur’an dan Hadis yang diberlakukan secara yuridis formal atau menjadi hukum positif dalam tata hukum Indonesia. Isinya dalam lingkup mu’amalah, berdasarkan peraturan perundang-undangan. Misalnya hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, zakat dan perwakafan serta ekonomi syari’ah.
Kekuatan dan kemajuan hukum Islam dalam bidang perdata dapat diterapkan secara praktis dan aktif. Hal ini ditandai dengan lahirnya Himpunan Peraturan dan Undang-Undang RI tentang perkawinan serta peraturan pelaksanaannya yang terdapat dalam Umdang-Undang No. 1 tahun 1974, kemudian diikuti dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama serta Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang kewenangan absolut Peradilan Agama, menandakan hukum Islam telah mendapat tempat tersendiri dalam Negara Republik Indonesia, walaupun baru di bidang keperdataan.
B. Saran
Terima kasih telah membaca makalah yang kami buat, di dalam makalah ini tentu kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, baik dari penulisan makalah ini dan sebagainya, untuk itu kami selaku penulis memohon kritik dan saran dari teman-teman semua.
DAFTAR PUSTAKA
Syahar, Saidus. Asas-Asas Hukum Islam,
Teba, Sudirman. Islam Orde Baru Perubahan Politik dan Keagamaan,
Teba,Sudirman. Melihat Kemungkinan Peranan IAIN Dalam Pengembangan Kesadaran Hukum, Yogyakarta: Tiara Wacana. 1993
Kompilasi Hukum Islam Bab II Pasal 2
Nasution,Khoiruddin. Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Jakarta-Leiden: INIS. 2002
Mubarok, Jaih. Modernisasi Hukum Islam, Bandung: Pustaka Bani Quraysi 2005
Effendi, Satria, ushul fiqh. Jakarta: Kencana. 2005
Thalib,Sajuti Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara. 1981
Daud Ali, Mohammad Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1998
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia, Laporan Hasil Seminar Hukum Waris Islam, 1982
Tidak ada komentar: