Sanksi Pidana dalam Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan
MAKALAH
Sanksi Pidana Dalam Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan
Mata Kuliah : Hukum Perdata Islam di Indonesia B Dosen Pengampu : Dr. H. Mukhsin Aseri, M.Ag, MH Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH
Disusun oleh :
Kelompok 9
Muhammad Arsad 2019110711
Muhammad Ihsan 2019110745
PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM KANDANGAN
1443 H/ 2021 M
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari- Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjunan besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta.
Semoga makalah ini bias menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami mengharapkan masukan serta kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi
Kandangan, 19 September 2021
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Bab II Pembahasan
A. Pengertian Sanksi Pidana
B. Sanksi Pidana dalam Perkawinan
C. Sanksi Pidana dalam Kewarisan
D. Sanksi Pidana dalam Perwakafan
Bab III Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan hal yang amat penting dalam kehidupan manusia. Islam pun mengatur masalah perkawinan dengan amat teliti dan terperinci. Tujuan dilangsungkannya perkawinan dalam Islam pada dasarnya adalah untuk mewujudkan keluarga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagaimana menurut Pasal 1 UU Perkawinan, yang mendefinisikan, “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Islam memandang pernikahan tidak hanya sebagai sarana mempertemukan antara laki-laki dan perempuan. Juga tidak memandangnya sebagai cara memenuhi kebutuhan biologis dan memadamkan gejolak nafsu seksual. Akan tetapi Islam memandang pernikahan dengan lebih mendalam dan agung dari itu sebagaimana terjemahan firman Allah swt. dalam Qs. Ar- Ruum ayat 21 sebagai berikut: “Sebagian dari ayat-ayat Allah adalah Dia telah menciptakan bagimu jodoh dari jenismu agar kamu tenteram kepadanya dan Dia telah menjadikan di antara kamu kasih sayang.”
Sanksi hukum tindak pidana poligami yang diatur dalam KUHP tidak serta merta dapat mengatasi masalah sosial yang mempunyai dampak kompleks akibat poligami.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Sanksi Pidana?
2. Apa Sanksi Pidana dalam Perkawinan?
3. Apa Sanksi Pidana dalam Kewarisan?
4. Apa Sanksi Pidana dalam Perwakafan?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Sanksi Pidana.
2. Untuk Mengetahui Sanksi Pidana dalam Perkawinan. 3. Untuk Mengetahui Sanksi Pidana dalam Kewarisan.
4. Untuk Mengetahui Sanksi Pidana dalam Perwakafan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sanksi Pidana
Sistem hukum pidana ada dua jenis sanksi yang mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan di dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana.
Sanksi diartikan sebagai tanggungan, tindakan, hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan undang-undang. Sanksi pidana merupakan suatu nestapa atau penderitaan yang ditimpahkan kepada seseorang yang bersalah melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, dengan adanya sanksi tersebut diharapkan orang tidak akan melakukan tindak pidana.
B. Sanksi Pidana dalam Perkawinan
1. Sanksi Pidana Poligami Ilegal di Indonesia
Pasal 45 kepada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka dilihat bahwa perbuatan poligami ilegal hanyalah sebagai wetsdeliktern (pelanggaran administratif) semata yang ancaman sanksinya denda setinggi-tinggi Rp. 7.500.- (tujuh ribu lima ratus rupiah. Sedangkan jika dilihat dari sudut pandang Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maka perbuatan poligami ilegal akan terpandang sebagai rechtsdeliktern (perbuatan pidana kejahatan kategori ringan) dengan ancaman penjara maksimal 5 (lima) tahun, namun jika perbuatan tersebut didasari atas kebohongan maka ancaman pidana maksimal 7 (tujuh) tahun:
1) . Barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
2) Barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
Unsur-unsur yang terdapat didalam pasal 279 ayat (1) KUHP yaitu:
I. Unsur Subyektif yaitu barangsiapa. Barangsiapa ini menyebutkan orang sebagai subyek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban didepan hukum. Unsur barangsiapa harus memenuhi kecakapan hukum baik secara hukum pidana maupun secara perdata.
2. . Unsur Obyektif yaitu;
1) Mengadakan perkawinan.Unsur ini menyebutkan seorang suami yang menikah lagi dengan wanita lain yang perkawinannya dipandang sah menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu sebagaimana maksud Pasal 2 ayat (1) UUPA);
2) Mengetahui perkawinan-perkawinannya yang telah ada. Unsur ini menyebutkan seorang suami yang melakukan perbuatan sebagaimana disebutkan pada hurup (a), tapi ia secara sadar mengetahui bahwa ia sedang dalam ikatan perkawinan sebagaimana maksud Pasal 2 ayat (2) UUPA;
3) Mengetahui perkawinan-perkawinan pihak lain. Unsur ini menyebutkan calon mempelai pasangannya mengetahui bahwa calon pasangannya masih dalam ikatan perkawinan yang sah sesuai maksud Pasal 2 ayat (2) UUPA;
Berdasarkan unsur-unsur yang terkandung didalam Pasal 279 KUHP maka dapatlah diketahui bahwa Pasal 279 KUHP bukan mengancam atau melarang seorang suami untuk berpoligami. Pasal tersebut hanya mengancam perbuatan poligami yang dilakukan secara ilegal .Apabila unsur adanya halangan yang sah tidak terbukti dengan adanya izin poligami dari pengadilan maka gugurlah ancaman pidana dimaksud. Hanya saja memang pasal 279 KUHP memandang perbuatan poligami secara ilegal bukan sebagai perbuatan pidana kategori pelanggaran, akan tetapi memandang perbuatan tersebut sebagai perbuatan pidana kategori kejahatan.Pada Pasal 485 ayat 1 huruf (a) Draft RUU KUHP juga tidak berbeda tujuannya dengan Pasal 284 KUHP pidana yang dapat 60 menjerat pelaku poligami ilegal atas pengaduan dari istri sahnya (delik aduan), hanya saja dalam ketentuan Pasal 485 ayat 1 huruf (a) Draft RUU KUHP ancaman hukumannya lebih tinggi dari Pasal 284 KUHPidana yaitu hukuman penjara maksimal 5 (lima) tahun. Begitu juga ketika dilihat kepada Pasal 463 Draft RUU KUHP, maka sudut pandangnya sama dengan memandang Pasal 279 Kitab Undang-Udang Hukum Pidana, yaitu sebagai rechtsdeliktern (perbuatan kejahatan kategori ringan) yang diancam hukuman penjara maksimal 5 tahun.
Apabila dipandang dari sudut pandang Pasal 284 KUHPidana, maka poligami ilegal bisa dikategorikan kepada delik aduan atas perbuatan overspel (zina) yang ancaman penjara maksimal 9 (Sembilan) bulan.Pasal 284 KUHPidana.
3. Sanksi Pidana KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
Kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Namun, selama ini selalu dirahasikan atau ditutup-tutupi oleh keluarga, maupun oleh korban sendiri atau keluarga. Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga mengandung sesuatu yang spesifik atau khusus. Kekhususan tersebut terletak pada hubungan antara pelaku dan korban, yaitu hubungan kekeluargaan atau hubungan pekerjaan (majikan-pembantu rumah tangga).
Dalam Undang-undang RI No.23 Tahun 2004 mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusian.
C. Sanksi Pidana dalam Kewarisan
Apabila pewaris dan ahli warisnya beragama Islam, maka berlaku ketentuan khusus pengaturan mengenai waris di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), jika pewaris dan ahli warisnya bukan beragama Islam, maka hanya berlaku ketentuan di dalam KUHPerdata. Apabila harta tersebut merupakan objek waris, maka ahli warisnya berhak mendapatkan waris dari harta peninggalan pewaris. Berdasarkan Pasal 541 KUHPerdata dinyatakan:
“Kedudukan berkuasa seorang gadis yang meninggal dunia, atas segala apa yang sewaktu hidup dikuasainya, pada saat meninggalnya beralih ke tangan para ahli warisnya, dengan segala sifat dan aib celanya”.
Permasalahan utama yang saudara hadapi adalah mengenai sengketa waris. Berdasarkan hukum, semua ahli waris berhak mendapatkan jatah atau haknya sesuai bagiannya masing-masing, di dalam Islam, bagian laki-laki dua bagian dari bagian perempuan. Apabila bukan beragama Islam, maka bagiannya ahli waris laki-laki dan perempuan sama rata. Tetapi apabila ada ahli waris yang namanya sudah dihilangkan dari surat keterangan waris atau penetapan waris, maka perbuatan tersebut telah masuk pada kategori perbuatan tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 263, atau Pasal 264 atau Pasal 266 KUH Pidana. dan surat tersebut merupakan barang bukti tindak pidana.
Pasal 263: Barang siapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan, atau pembebasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.”
Pasal 264: Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap, akta-akta otentik, surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum, surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai, talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu, surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan. Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.”
Pasal 266: Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya ,sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian. Apabila ayah saudara sebagai ahli waris yang sah dihilangkan namanya dari ahli waris atau tidak masuk di dalam surat-surat yang menerangkan kedudukannya sebagai ahli waris, maka perbuatan tersebut merupakan tindak pidana pemalsuan surat, jika memang sudah ada surat yang dipalsukannya tersebut. Tetapi, apabila belum dilakukan pemalsuan surat tersebut, maka bukanlah termasuk delik pidana pemalsuan surat.
Adapun untuk membela kepentingan hukum dan memperoleh hak harta waris, saudara dapat mengajukan gugatan waris ke Pengadilan Agama sesuai domisili calon Tergugat, jika saudara dan ahli waris itu beragama Islam, jika saudara dan ahli waris bukan beragama Islam, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri.
Mengenai bagaimana prosedur dan teknis gugatan itu diajukan dan syarat- syarat yang harus dipenuhi sebelum mengajukan gugatan waris, maka saudara dapat berkonsultasi secara langsung kepada Advokat atau lembaga bantuan hukum dengan membawa semua dokumen yang berhubungan dengan permasalahan saudara. pada umumnya, langkah pertama yang dilakukan sebelum mengajukan gugatan waris ke Pengadilan adalah, ahli waris yang dirugikan tersebut mengundang untuk bermusyawarah secara kekeluargaan hingga terjadinya mufakat. Apabila musyawarah sudah dilakukan berkali-kali dan tidak ada titik temu, maka saudara dapat mengajukan gugatan waris. Berdasarkan Pasal 188 KHI dinyatakan:
“Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada di antara hali waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian waris”.
Pada dasarnya, hak asasi seseorang khususnya mengenai waris tidak dapat dihilangkan begitu saja sekalipun namanya tidak dicantumkan dalam surat tersebut, karena hak waris merupakan hak yang diberikan sejak kelahiran ahli waris itu oleh Allah SWT., bagi orang Islam, hak waris dapat hilang apabila ahli waris itu melanggar ketentuan Pasal 173 KHI:
“seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena, dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pda pewaris. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat”.
D. Sanksi Pidana dalam Perwakafan
Ketentuan mengenai sanksi pidana tersebut diatur dalam Pasal 67 ayat 1 UU Wakaf No. 41/2004 menyatakan bahwa setiap orang yang dcngan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dipidana(lima) tahun) dan atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
Pada Pasal 67 ayat 2 UU Wakaf No. 4112004 menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukkan harta bend a wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000 (empat ratus juta rupiah).
Pada Pasal 229 KHI menyatakan bahwa hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguhsungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan. Untuk menjamin pelaksanaan perwakafan tanah menurut perundang-undangan yang berlaku, maka terhadap pihak-pihak yang melanggarnya diancam sanksi-sanksi tertentu.
Akibat Hukum Perubahan Peruntukkan Tanah Wakaf Hak Milik Menurut UU No. 5/1960 Tentang UUPA diatur dalam Pasal 52 ayat (1) menyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 15 dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10000 (sepuluh ribu rupiah).
Pada Pasal 14 PP No. 28/1977 menyebutkan bahwa barang siapa melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yakni tentang ikrar wakaf, nadzir dan saksi. Pasal 6 ayat 3 tentang pendaftaran dan pengesahan nadzir.Pasal 7 ayat 1 tentang kewajiban nadzir. Pasal 9 tentang tata caraperwakafan tanah. Pasal 10 tentang pendaftaran tanah wakaf hak milik, Pasal 11 tentang perubahan perwakafan tanah milik, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan, atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah).
Apabila perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 14 PP No. 28/1977 tersebut dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, maka runtutan pidana dilakukan dan pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin atau penanggung jawab dalam perbuatan, atau kelalaian atau terhadap kedua-duanya (Pasal 15 PP No. 28/1977).
Suatu penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan perwakafan tanah dijeniskan seperti perubahan peruntukkan tanah wakaf yang tidak sesuai prosedur ketentuan yang berlaku, dan yang lainnya sebagai tindak pidana pelanggaran yakni perbuatan melanggar hukum. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengemukakan sebuah contoh, bahwa sebelum adanya PP No. 28/1977, pelaksanaan perwakafan atas tanah yang tanpa dilakukan dan at au dicatatkan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), tidaklah dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (tindak pidana), karena di saat itu perbuatan tersebut belum dikenal sebagai perbuatan yang tidak baik.
Bukti yang lainnya adalah dapat dilihat dari bentuk sanksi pidananya itu sendiri yang hanya merupakan hukuman kurungan atau denda.Hukuman kurungan dimaksud paling lama 3 (tiga) bulan, sedangkan untuk hukuman denda sebanyakbanyaknya tidak lebih dari Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah).Bentuk sanksi pidana semacam ini merupakan salah satu ciri dari pada tindak pidana pelanggaran.
Penyelesaian Perselisihan Wakaf Tanah Hak Milik dikarenakan dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat ini.Menurut Pasal 226 KID menyatakan bahwa penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan benda wakaf dan nadzir diajukan kepada Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Pasal 62 ayat 1 UU Wakaf No. 41/2004 menyatakan bahwa penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.Sedangkan pada ayat 2 bahwa apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.
Masalah perwakafan pelaksanaan perwakafan khususnya tanah, di dalam masyarakat kira sehari-hari pelaksanaannya lebih banyak dilaksanakan secara hukum Islam, maka sudah batang tentu politik hukum nasional menggariskan bahwa badan peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan- perselisihan yang terjadi di dalamnya merupakan wewenang dan kompetensi badan Peradilan Agama. Sedangkan bagian-bagian yang lain yang penanganannya hams diselesaikan secara umum baik yang menyangkut masalah perdata maupun pidana, merupakan wewenang dan kompetensi badan Peradilan Umum
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem hukum pidana ada dua jenis sanksi yang mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan di dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana.
Pasal 45 kepada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka dilihat bahwa perbuatan poligami ilegal hanyalah sebagai wetsdeliktern (pelanggaran administratif) semata yang ancaman sanksinya denda setinggi-tinggi Rp. 7.500.- (tujuh ribu lima ratus rupiah. Sedangkan jika dilihat dari sudut pandang Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maka perbuatan poligami ilegal akan terpandang sebagai rechtsdeliktern (perbuatan pidana kejahatan kategori ringan) dengan ancaman penjara maksimal 5 (lima) tahun, namun jika perbuatan tersebut didasari atas kebohongan maka ancaman pidana maksimal 7 (tujuh) tahun.
Kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Namun, selama ini selalu dirahasikan atau ditutup-tutupi oleh keluarga, maupun oleh korban sendiri atau keluarga. Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga mengandung sesuatu yang spesifik atau khusus. Kekhususan tersebut terletak pada hubungan antara pelaku dan korban, yaitu hubungan kekeluargaan atau hubungan pekerjaan (majikan-pembantu rumah tangga).
Ketentuan mengenai sanksi pidana tersebut diatur dalam Pasal 67 ayat 1 UU Wakaf No. 41/2004 menyatakan bahwa setiap orang yang dcngan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dipidana(lima) tahun) dan atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
B. Saran
Penulis harap makalah ini bisa menjadi referensi pembaca tentang Aqidah Ibadah, Muamalah, Akhlak dan Ilmu Pengetahuan. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca maupun dosen pengajar, penulis
menyadari dalam pembuatan makalah ini masih belum sempurna. Semoga bias bermanfaat bagi kita kita semua serta menambah penetahuan kita
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mahrus “ Dasar-Dasar Hukum Pidana ”, Jakarta, 2015
Lawrence, M. Friedman, The Legal Sistem: A Social Science Perspective, New York: Russel Sage Fondation, 1975
Tunaya, Ismail, “TIJAUAN YURIDIS EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PERWAKAFAN TANAH
DIKOTAJAYAPURA”, http://pasca.unhas.ac.id. Di akses 17 September 2021.
https://www.pahamindonesia.org/bagaimana-hadapi-tindakan-menghilangkan- nama-dari-hak-waris/
Tidak ada komentar: