Makalah Hukum Taklifi dan Hukum Wadh'i

MAKALAH 
USHUL FIQH



Tentang: 
“Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’I”
Dosen Pengajar: Noor Efendy, S.H.I., M.H.

Oleh :
 Kelompok 8 
1. Lina                          (2019110743)
2. Ataillah al Maki      (2019110702)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI ) DARUL ULUM
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
KANDANGAN
TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum  warahmatullahi wabarakatuh, Segala puji hanya untuk Allah SWT Tuhan Semesta Alam. Sholawat dan salam tetap tercurahkan dan dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, serta keluarga, sahabat, dan pengikut beliau hingga akhir zaman. Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan segala karunianya sehingga penulis bisa menyelesaikan pembuatan makalah yang telah diberikan kepada penulis dengan judul “Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i”.  Penulis berharap agar semua pengetahuan dan pengalaman yang telah penulis peroleh selama penyusunan makalah ini dapat bermanfaat sebagai bekal dikemudian hari. Akhirnya, atas segala keterbatasan yang dimiliki oleh penulis apabila terdapat kekurangan dan kesalahan mohon maaf, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang hendak menambah wawasan dan pengetahuan, kepada semua pihak yang telah membantu sehingga terselesaikan dengan baik, penulis menyampaikan terima kasih .

                                                                                                              Kandangan,   2020

  Penulis, Kelompok 8

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I      PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II    PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Taklifi
B. Macam-macam Hukum Taklifi
C. Pengertian Hukum Wadh’i
D. Macam Macam Hukum Wadh’i
BAB III   PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Qur’an dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at. Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh.  Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani') dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.
Maka, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul fiqh.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hukum Taklifi?
2. Apa saja macam-macam hukum Taklifi?
3. Apa pengertian hukum Wadh’i?
4. Apa saja macam-macam hukum Wadh’i?

C. Tujuan 
Untuk memenuhi Tugas yang diberikan oleh Dosen Mata Kuliah Ushul Fiqh. Dan penulis berharap dengan disusunnya Makalah ini dapat membantu memberikan pengetahuan mengenai hukum Taklifi dan hukum Wadh’i sehingga dapat bermanfaat khususnya bagi Penyusun makalah dan umumnya bagi para pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Hukum Taklifi
Hukum taklifi ialah suatu ketentuan yang menuntut mukallaf melakukan atau meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan.  Secara bahasa berarti hukum pembebanan, atau hukum yang dibebankan dari Allah dan Rasul-Nya kepada para hamba-hamba-Nya, Sedangkan menurut istilah adalah apa yang mengandung kehendak meminta terhadap mukallaf untuk memperbuatnya atau menahannya dari memperbuat, atau memilih antara melakukan dan tidak melakukan. Jadi hukum taklifi adalah hukum yang dibebankan kepada mukallaf yang mengandung tiga unsur pokok, yaitu tuntutan untuk melakukan, atau larangan, atau kebolehan memilih. 
B. Macam-macam Hukum Taklifi
1. Wajib
Menurut Abdul Hamid Hakim :
ما يثاب على فعله ويعاقب على تركه
“Sesuatu yang dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan mendapatkan siksa”. 

Wajib bisa dilihat dari beberapa segi :
a. Wajib dilihat dari segi waktu pelaksanaanya
1) Wajib muthlaq الواجب المطلق)) yaitu suatu yang dituntut asy-syar’i untuk dikerjakan tetapi tidak ditentukan waktunya, mukallaf boleh mengerjakannya pada waktu yang ia kehendaki, tidak ada dosa walaupun mengakhirkannya. Namun sebaiknya segera dikerjakan karena ajal seseorang tidak tahu kapan ia meninggal.
2) Wajib muqayyad atau wajib muwaqqat (الواجب الموقت) yaitu perbuatan yang dituntut sy-syari' untuk melaksanakannya dengan ditentukan waktunya, seperti shalat fardhu lima waktu dan puasa Ramadhan. Maka tidak boleh mengerjakannya di luar waktu yang telah ditentukan, apabila mengerjakannya di luar waktu yang telah ditentukan, maka berdosalah bagi yang mengakhirkannya tanpa ada udzur atau alasan yang disyariatkan.
Mazhab hanafi membagi wajib muqayyad ke dalam tiga macam.:
1) Wajib al-muwassa'(الواجب المقيد الموسع) wajib yang ditentukan waktunya tetapi mempunyai keleluasaan, yaitu waktu pelaksanaannya ditentukan oleh Syari' dan juga ada kesempatan untuk mengerjakan yang lain yang sejenis.
2) Wajib mudhayyaq(الواجب المقيد او الموقت المضيق) wajib yang ditentukan waktunya dengan sempit , yaitu waktunya yang dibatasi untuk mengerjakan satu pekerjaan saja.
3) Wajib dzu asy-syibhain (الوجب المقيد او الموقت ذو الشبهين) yaitu kewajiban yang pelaksanaannya dalam waktu tertentu dan waktunya mengandung dua sifat tersebut di atas. Dari satu segi disebut muwassa' dan dari segi lain ialah mudhayyaq. Misalnya Ibadah haji.

b. Ditinjau dari segi kandungan perintah, hukum wajib dibagi kepada :
1) Wajib muayyan, yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain. Misalnya seperti kewajiban puasa ramadhan, kewajiban shalat lima waktu sehari semalam.
2) Wajib mukhayyar, yaitu suatu kewajiban yang objeknya boleh pilih antara beberapa alternatif, misalnya kewajiban membayar kafarat yang telah dijelaskan dalam surah Al-Maidah (5): 89 :
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi sepiuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepad akeluargamu , atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari,. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamuhukum.-hukumnya agar kamu bersyukur kepada-Nya.
Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang melanggar sumpah, dikenakan kafarat. Jenis kafaratnya boleh memilih antara beberapa macam kafarat tersebut.
c. Wajib dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum, maka dibagi kepada :
1) Wajib ‘aini (fardhu ‘ain)
Yaitu kewajiban yang disebabkan kepada setiap orang yang sudah baligh berakal (mukallaf) tanpa kecuali.
Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur, kecuali dilakukannya sendiri. Misalnya, kewajiban melaksanakan shalat lima kali sehari semalam, melaksanakan puasa di bulan Ramadhan/puasa, dan melaksanakan haji bagi siapa yang mampu.
2) Wajib kifa’i (fardhu kifayah)
Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukallaf, namun bilamana telah dilaksanakan oleh sebagian umat Islam, maka kewajiban itu sudah terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan untuk melaksanakannya. Misalnya pelaksanaan  shalat jenazah. 

2. Mandub (sunnah)
Menurut Abdul Hamid Hakim :
ما يثاب على فعله ولا يعاقب على تركه
“Mandub adalah sesuatu jika dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat dosa.” 
Jika dilihat dari segi selalu atau tidak selalunya, Nabi melakukan perbuatan sunnah, maka sunnah terdapat dua pendapat dari kalangan ulama Ushul Fiqh : 
Menurut Prof. Amir Syarifuddin dalam buku karya Dr. Mardani disebutkan :
a. Sunnah muakkad, yaitu sunnah-sunnah yang selalu dikerjakan oleh Nabi Saw., disamping ada keterangan bahwa perbuatan itu, bukan perbuatan fardhu, contohnya shalat witir.
b. Sunnah ghairu muakkad, yaitu sunnah yang dilakukan oleh Nabi Saw., tetapi tidak terus menerus dilakukan contohnya memberi sedekah kepada orang miskin, shalat sunnah 4 rakaat sebelum zuhur dan sebelum ashar. Untuk perbuatan seperti ini digunakan kata nafal, mustahab, ihsan, tathawwu. 

Menurut Abdul Karim Zaidan dalam buku karya Masduki, disebutkan dua hukum yang sama dengan pendapat Amir Syarifuddin tapi ada penambahan satu jenis sunnah yaitu :
a. Sunnah Zawa’id, fadhilah atau adab, yaitu sunnah tambahan seperti mengikuti adat kebiasaan Nabi SAW sebagai manusia biasa yang mempunyai adat adat dan kebiasaan, seperti mengikuti cara makan, minum atau tidurnya. 

Jika di lihat dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan, mandub atau sunnah dibagi kepada :
a. Sunnah Huda, yaitu sesuatu yang pelaksanaanya dimaksudkan sebagai penyempurna untuk kewajiban agama, contohnya seperti adzan dan shalat berjamaah. Orang yang sengaja meninggalkannya dianggap sesat dan tercela, bahkan bila satu kelompok kaum sengaja meninggalkannya secara terus menerus, maka kelompok ini harus diperangi.
b. Sunnah Zaidah, yaitu sesuatu yang biasa dikerjakan Nabi dalam kehidupan sehari-harinya. Seperti etika makan, minum, tidur berpakaian bila seseorang mengerjakan hal itu, maka itu baik baginya,sedangkan bila ia meninggalkannya tidak diberi sanksi apa-apa.
c. Nafal, yaitu suatu perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi perbuatan wajib, seperti shalat sunnah lima waktu  yang mengiringi shalat wajib, shalat tahajjud dan shalat witir. 

3. Haram
Menurut Abdul Hamid Hakim :
ما يثاب تركه على ويعاقب على فعله
“Sesuatu yang mendapatkan pahala jika ditinggalkan dan mendapatkan siksa jika dikerjakan.” 

 Kemudian haram bisa ditinjau dari dua bagian :
a. Haram  li-dzatihi, yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah, karena bahaya tersebut terdapat pada perbuatan itu sendiri, seperti haramnya makan bangkai, minum khamr, berzina, dan mencuri. Bahaya perbuatan tersebut berhubungan langsung dengan lima hal yang harus dijaga (adh-dharuriyat al-khams), yaitu badan, keturunan, harta benda, akal dan agama.
b. Haram li-ghairihi yaitu perbuatan yang dilarang oleh Syara’, dimana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri, tetapi perbuatan itu dapat menimbulkan haram li-dzatihi, contohnya jual-beli barang-barang riba yang diharamkan, karena dapat menimbulkan riba, yang diharamkan dzari’ahnya. Contoh lain poligami dengan perempuan yang masih ada hubungan mahram dengan istri adalah haram, karena dapat menyebabkan putusnya hubungan persaudaraan yang dilarang oleh Allah Swt., sedangkan memutus tali persaudaraan haram dzatiahnya. 

4. Makruh
Menurut Abdul Hamid Hakim :
ما يثاب على تركه ولا يعاقب على فعله
“Sesuatu yang ditinggalkan mendapat pahala dan jika di kerjakan tidak mendapat siksa.” 

Kemudian, makruh terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Makruh Tahrim, yaitu sesuatu yang dilarang oleh syari’at tetapi dali yang melarangnya itu dzanni al-wurud, bersifat tidak pasti. Contohnya hadis tentang larangan meminang wanita yang sudah dipinang oleh orang lain. Hadits tersebut berbunyi :

وعَن بن عمر رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يخطب بعضكم على خطبة اخيه , حتى يترك الخاطب قبله , او يااذن له الخاطب قبله .متفق عليه ,واللفظ للبخاري
Dari Ibnu Umar r.a., dia berkata, rasulullah Saw., bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian meminang atas pinangan saudaranya, sehingga peminang yang sebelunya meninggalkannya atau mengizinkannya”.(HR Bukhari-Muslim. Lafadz hadis ini oleh Bukhari).
b. Makruh Tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan syari’at untuk meninggalkannya. Misalnya memakan daging kuda dan meminum susunya pada waktu sangat butuh di waktu  perang. 

5. Mubah
Menurut Abdul Hamid Hakim :
مالا يثاب على فعله ولا يعاقب على تركه
“Sesuatu yang dikerjakan tidak mendapat pahala dan ditinggalkan tidak mendapat siksa.” 

Mubah dalam jenisnya ada tiga bagian :
a. Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang diwajibkan, misalnya makan dan minum sesuatu yang mubah, namun berfungsi untuk mengantarkan seseorang sampai ia mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya seperti kewajiban shalat dan usaha mencari rejeki. Mubah seperti ini hanya dianggap mubah dalam hal memilih makanan halal mana yang akan dimakan dan diminum. Akan tetapi, sesorang tidak diberi kebebasan memilih untuk makan atau atau tidak makan, karena meninggalkan makan sama sekali dalam hal ini akan membahayakan dirinya.
b. Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-kali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Misalnya bermain dan mendengar nyanyian hukumnya mubah bila dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya menghabiskan waktu hanya untuk bermain dan mendengarkan nyanyian.
c. Sesuatu yang mubah sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula. Misalnya membeli perabot rumah untuk kepentingan kesenangan. Hukum senang hukumnya adalah mubah.dan untuk mencapai kesenangan itu memerlukan seperangkat persyaratan yang menurut esensinya harus bersifat mubah pula. Karena untuk mencapai sesuatu yang mubah tidak layak dengan menggunakan sesuatu yang dilarang. 

C. Pengertian Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’I adalah khitab syar’i yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf yang terkadang mengandung tuntutan atau pilihan (yaitu yang dibicarakan pada hukum Taklifi), dimana ada kalanya  suatu peristiwa terhadap sesuatu yang lain adalah sebagai sebab, sebagai syarath atau sebagai penghalang.  

D. Macam-macam Hukum Wadh’i
1. Sebab
Sebab ialah sesuatu yang merupakan pangkal terjadinya sesuatu yang lain (musabab) atau terjadinya sesuatu sebagai akibat dari suatu sebab, tidak adanya seba tidak adanya akibat.
Misalnya kewajiban shalat menjadi sebab diwajibkannya wudhu, firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:

يأيها ٱلذين ءامنوا إذا قمتم إلى ٱلصلوة فٱغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى ٱلمرافق وٱمسحوا برءوسكم وأرجلكم إلى ٱلكعبين
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan dua mata kaki. (Q.S. Al-maidah: 6)
Ada dua esensi pokok dalam suatu peristiwa itu menjadi sebab terjadinya suatu hukum yang lain:
a. Bahwa sesuatu tidak sah dijadikan sebab, kecuali syari’ (Allah) sendiri yang menjadikannya sebagai sebab. Karena hukum-hukum Taklifi merupakan pembebanan dari Allah subhanahu wa ta'ala. Dan yang membebani adalah Allah Subhanahu Wa Ta'ala, atau yang membebani adalah membuat hukum, maka dia pula yang menjadikan sebab-sebab ter sebagai dasar hukum. 
b. Bahwa sebab-sebab itu bukanlah yang mempengaruhi terhadap adanya hukum-hukum Taklifi tetapi ia merupakan tanda terhadap lahir dan adanya hukum itu. 

Macam-macam sebab
Sebab terbagi kepada dua macam, yaitu:
a. Sebab yang diluar kemampuan jangkauan   Mukallaf.
Misalnya:
1) Tergelincirnya matahari sebagai sebab wajibnya melaksanakan sHalat dzuhur dan ashar, gelapnya   malam sebagai sebab wajibnya melaksanakan shalat maghrib dan isya, terbitnya Fajar sebagai sebab wajibnya melaksanakan shalat subuh. Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:

أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ ٱلَّيْلِ وَقُرْءَانَ ٱلْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْءَانَ ٱلْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Artinya: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (Q.S. Al-isra: 78)
2) Karena terpaksa (dharurat) sebagai sebab diperbolehkan memakan bangkai darah babi dan lain-lainnya firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:

فَمَنِ ٱضْطُرَّ فِى مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya: Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-maidah: 3)

b. Sebab yang  merupakan kemampuan jangkauan mukallaf, misalnya:
1) Sakit atau bepergian merupakan sebab dibolehkannya berbuka puasa. Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya: Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (Q.S. Al-baqarah: 184)
2) Akad nikah merupakan sebab bolehnya berkumpul dan lain-lain. 

2. Syarath
Syarath ialah suatu perkara yang menjadi tempat bergantung kepada-nya adanya hukum, tidak adanya syarat maka tidak ada pula hukum itu.
Namun demikian tidak mesti dengan adanya syarath memastikan adanya hukum. Misalnya sabda Nabi berikut:
“Tidak ada (sah) nikah kecuali adanya wali dan dua orang saksi yang adil” (H.R. Ahmad)
Dua orang saksi merupakan syarath untuk sahnya pernikahan tetapi dengan adanya dua orang saksi saja tidak mesti terjadinya pernikahan 
a. Perkawinan merupakan syarat adanya talak.
b. Wudhu merupakan syarat sahnya salat dan sebagainya.

  Macam-macam syarath
Syarath terbagi kepada dua macam yaitu syarat yang bersifat syar’iyah dan ja’liyah.
a. Syarath Syar’iyah yaitu syarath oleh syari’ (Allah) dijadikan sebagai syarat untuk memenuhi sebab atau musabab, Misalnya:
1) Untuk memenuhi sebab:
Adanya unsur sengaja dan permusuhan adalah dua syarath bagi pembunuhan yang menjadi sebab wajibnya hukuman qishash. Genap satu tahun adalah syarath penyempurna untuk memiliki nisab harta yang menjadi sebab wajibnya zakat. Dua orang saksi yang adil adalah syarath penyempurna untuk akad pernikahan yang menjadi sebab halalnya berkumpul.
2) Untuk memenuhi musabab:
Bersuci adalah syarath penyempurna shalat wajib yang disebabkan telah masuk waktunya. Matinya orang yang mewariskan serta hidupnya orang yang bakal mewarisi adalah dua syarat penyempurna untuk pusaka mempusakai yang disebabkan adanya ikatan perkawinan atau adanya  hubungan kerabat (keturunan).
b. Syarath ja’liyah, yaitu syarath syarath dimana syari’ (Allah) memperbolehkan pihak pihak yang melakukan akad untuk membuat syarath dalam akad demi tegaknya hukum.
Contohnya, seorang pembeli membuat syarath, dia mau membeli sesuatu barang dari penjual dengan syarath beoleh mengangsur. Kalau syarath ini diterima oleh penjual, maka jual beli tersebut dapat dilaksanakan.
Dalam membuat syarath ja’liyah ini tidak boleh berlawanan dengan kaidah-kaidah syara’ dan prinsip-prinsipnya.
Syarat ja’liyah dapat dibedakan menjadai tiga macam, yaitu:
1) Syarath yang ditetapkan untuk menyempurnakan hikmah suatu perbuatan hukum dan tidak bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu. Misalnya dalam perjanjian jual beli boleh disyarathkan bahwa barang diperjual belikan itu harus diantar kerumah pembeli.
2) Syarath yang ditetapkan tidak cocok dengan maskud perbuatan hukum yang dimaksud bahkan bertentangan denganhukum perbuatan itu. Syarath yang seperti ini tidak berlaku. Mislanya dalam perjanjian kawin yang disyarathkan bahwa suami tidak berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya atau suami tidak boleh mencampuri isterinya.
3) Syarath yang tidak jelas bertentangan atau sesuai dengan hikmah perbuatan hukum. Syarath yang seperti ini kalau terjadi dalam bidang ibadah tidak berlaku karena tidak ada seorang jua pun yang berhak menetapkan syarath dalam ibadah. Namun kalau terjadi dalam bidang mu’amalah dapat diterima. 

3. Maani’
Maani’ ialah sesuatu yang karena adanya tidak ada hukum atau membatalkan sebab hukum.
Misalnya, seorang wanita yang mengalami haidh, maka tidak ada kewajiban shalat terhadapnya. Haidh adalah maani’(penghalang) Hadits Nabi Muhammad SAW:
Rasulullah SAW. Berkata kepada Fathimah binti hubaisy, apabila datang haidh, hendaklah engkau tinggalkan shlalat dan apabila telah habis hendaklah engkau mandi dan shalat (H.R. Bukhari)

Macam-macam maani’
Maani terbagi kepada dua  macam, yaitu maani terhadap hukum dan maani terhadap sebab hukum.
a. Maani terhadap hukum. Misalnya, “adanya hubungan kebapaan”, seorang bapak yang dengan sengaja melakukan pembunuhan terhadap anaknya tidak dikenakan hukum qisash. Hubungan kebapaan adalah maani (penghalang) terhadap hukum qisash, sekalipun sebab adanya hukum qisash telah terpenuhi, yaitu adanya permusuhan dan pembunuhan dengan sengaja. 
b. Maani terhadap sebab hukum. Misalnya, seseorang telah memiliki harta senisab wajib zakat, tetapi disisi lain dia memiliki hutang yang kalau hartanya itu dibayarkan atas hutangnya, hartanya itu tidak lagi senisab zakat. Dengan demikian senisab zakat yang menyebabkan kewajiban membayar zakat menjadi batal. Atau hutangnya merupakan maani terhadap sebab wajibnya membayar zakat. 


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum Taklifi ialah suatu ketentuan yang menuntut mukallaf melakukan atau meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan. Hukum Taklifi ini di bagi menjadi lima yaitu: wajib, mandub/sunnah, haram, makruh, dan mubah.
Hukum Wadh’I adalah khitab syar’i yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf yang terkadang mengandung tuntutan atau pilihan (yaitu yang dibicarakan pada hukum Taklifi), dimana ada kalanya  suatu peristiwa terhadap sesuatu yang lain adalah sebagai sebab, sebagai syarath atau sebagai penghalang.

B. Saran
Demikian makalah ini disusun, penulis tentu menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna baik dalam hal materi maupun penyusunannya, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari bapak/ibu dosen dan teman-teman sekalian yang sifatnya membangun demi kesempurnaan tugas yang selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islam. (Beirut: Dar al-Fikr, 2001)
Hakim, Abdul Hamid. Mabadi Awaliyah. (Jakarta: SA’ADIYAH PUTRA)
Hayat, Abdul. Ushul Fiqh, (Banjarmasin, Kalimantan Selatan: Antasari Press 2010)
Wajib, Haram, Makruh, Sunnah, Mubah (Ahkam Al-khamsah) menurut hukum Islam “https://bersamabelajardunia.blogspot.com/2017/06/wajib-haram-makruh-sunnah-mubah-ahkam.html” di akses pada tanggal 3 Maret 2020.




Tidak ada komentar:

Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia

 MAKALAH “Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia ” Mata Kuliah: Hukum Perdata Islam di Indonesia B  Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH ...

Diberdayakan oleh Blogger.