Makalah Khas dan Takhsis
MAKALAH KHAS DAN TAKHSIS
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH
Dosen Pengampu: Sahibul Ardi bin Amir hasan, SHI, MA
Disusun Oleh
Kelompok 10
Ari mulyadi (2019110745)
Niswatun Hasanah (2019110717)
PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM KANDANGAN
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi dan syukur kami panjatkan kepada Allah Tuhan semesta Alam yang Maha pengasih lagi Maha penyayang. Shalawat serta salam mudah-mudahan selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi besar Muhammad SAW. Kepada keluarga, sahabat, kerabat, serta pengikut beliau hingga akhir zaman.
Alhamdulillahirabbil alamin makalah ini berhasil kami buat walaupun dengan penuh kesadaran bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Namun, kami berharap kepada dosen pembimbing untuk bersedia menerima dan mengoreksi makalah ini agar kiranya akan lebih baik lagi kedepannya dalam pembuatan makalah ini.
Melalui kata pengantar ini kami lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat.
Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfa’at kepada siapa saja yang membacanya dan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Khas dan takhsis
khas
B. Takhsis
Pembagian takhsis
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
telah diketahui sumber ajaran islam, baik Al- Qur’an maupun sunnah adalah sumber ajaran yang berbahasa arab. Oleh karena itu,untuk memahami hukum-hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah harus benar-benarmemahami gaya bahasa (uslub) yang ada dalam bahasa arabdan cara penunjukkan nashk kepada artinya.Para ulama ahli ushul fiqh mengarahka perhatian mereka kepada penelitian terhadap uslub-uslub dan ibarat-ibarat bahasa arab yang lazim digunakan untukmemahami nash-nash syariat secara benar sesuai pemahaman orang arab sendiri yang nash itu diturunkan dalam bahasa mereka. Oleh karena itu, maka diperlukan adanya pembelajaran yang dapat memberian pemahaman tentang uslub-uslub bahasa arab untuk memahami sumber hukum islamdengan benar.Para ushuliyyin menetapkan bahwa, perhubungan lafadz dengan maknamempunyai beberapa segi yang harus dibahas. Mereka membagi lafadz dalamhubungannya kepada beberapa bagian, yang diantaraanya yaitu pembagian tentang “lafadz dari segi kandungan prngrtiannya; yang dalam makalah ini akan membahas tentang khas dan takhsis.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Khas dan Takhsis?
2. Apa saja pengertian Khas dan takhsis?
3. Apa saja pembagian Khas dan takhsis?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui khas dan takhsis.
2. Untuk mengetahui pengertian Khas dan takhsis.
3. Untuk mengetahui pembagian Khas dan takhsis dan contohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Khas Dan Takhsis
1. khas
Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat dalam memberikan definisi khas. Namun, pada hakikatnya definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama. Definisi yang dapat dikemukakan disini, antara lain:
هُوَ اللَّفْظُ الْمَوْضُوْعُ لِمَعْنًى وَاحِدٍ مَعْلُوْمٍ عَلَى الإِنْفِرَاد
Artinya:
“Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal.”
Dan menurut Al-Bazdawi, definisi khas adalah:
Artinya:“Setiap lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).”
Dengan definisi di atas dia mengeluarkan lafazh muthlaq dan musytarak dari bagian lafazh khas, dan bukan juga bagian lafazh am.
khas adalah suatu lafazh yang digunakan untuk menunjukkan satu materi tertentu, baik berupa benda mati atau benda bergerak, misalnya Zulkarnaen atau kata rajulun (seorang laki-laki).
Menurut istilah, definisi khas adalah: Al-khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan lafadh-lafadh lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu.
2. Hukum lafadz Khas dan Contohnya
Lafazh khas itu bentuknya banyak, sesuai dengan keadaan dan sifat yang di pakai lafazh itu sendiri. Kadang ia berbentuk mutlaq tanpa di batasi suatu syarat atau qayyid apapun, kadang-kadang berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, kadang-kadang berbentuk amr (perintah), dan kadang-kadang berbentuk nahy (larangan).
Lafadz khas dalam nash syara’ adalah menunjuk pada dalalah qath’iyah (dalil yang pasti) terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkan adalah qath’i selama tidak ada dalil yang memalingkan pada makna lain.
Contohnya :
“ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ “
Artinya:
“Barang siapa tidak menemukann (binatang qurban atau tidak mampu), maka wajib baginya berpuasa tiga hari dalam masa haji.” (QS.al-Baqarah : 196)
Lafadz tsalatsa adalah khas karena tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari tiga hari. Sehingga maknanya bersifat qath’iyah dan hukumnya pun bersifat qath’i. Sabda Rasulullah Saw :
فى كل ا ربعين شا ة (رواه ابو داود “
“Pada setiap empat puluh ekor kambing, wajib zakatnya seekor kambing.” (HR. AbuDawud).
Lafadz arba’ina syatan dan syatun adalah lafadz khas karena yang pertama menunjukkan kadar zakat kambing 40 ekor dan kedua menunjukkan kadar wajibnya zakat yaitu seekor kambing.
3. Dalalah Khas
Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ”
“tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji ” (QS. Al Baqarah (2) : 196
Kata tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy. Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadis Nabi yang berbunyi:
عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَأَنِي سَالِمٌ كِتَابًا كَتَبَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصَّدَقَاتِ قَبْلَ أَنْ يَتَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَوَجَدْتُ فِيهِ فِي أَرْبَعِينَ شَاةً شَاةٌ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَإِذَا زَادَتْ وَاحِدَةً
“Salim pernah membacakan kepadaku sebuah kitab tentang sedekah yang ditulis oleh Rasulullah Saw sebelum Allah Azza Wa Jalla mewafatkannya. Lalu aku mendapatkan di dalamnya bahwa pada setiap empat puluh kambing hingga seratus dua puluh ekor kambing, zakatnya adalah satu ekor kambing. (HR. Ibnu Majah).
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas. Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri. Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadis tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.
B. Takhsis
Takhsis ialah menyebut sebagian benda dari yang umum atau mengeluarkan satuan-satuan materi dari yang umum, sedang kansatuan lainnya belum atau tidak disebutkan. Dengan demikian, keumumannya masih berlaku bagi satuan yang tersisa.
Mukhassis ialah dalil yang menjadi dasar atau hujjah dikeluarkannyasatuan dari yang umum.Kaitannya dengan khas, takhsis, dan mukhassis, Hanafi menjelaskan melalui satu contoh, sebagaimana tertuang dalam surah Al-
A’araf ayat 32:
Kaitannya dengan khas, takhsis, dan mukhassis, Hanafi menjelaskan melalui satu contoh, sebagaimana tertuang dalam surah Al-
A’araf ayat 32:
"Katakanlah (Muhammad), Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik- baik? Katakanlah, Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada hari Kiamat. Demikianlah Kamimenjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-orang yang mengetahui."(QS. Al-A'raf 7: Ayat 32)
Maksudnya, perhiasan-perhiasan dari Allah dan makanan yang baik itu dapat dinikmati di dunia ini oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak beriman. Sedangkan di akhirat nanti perhiasan dan makanan baik tersebut semata-mata untuk orang yang beriman saja.
Dalam ayat diatas diterangkan bahwa semua perhiasan boleh dipakai.Perhiasan itu meliputi cincin emas, pakaian, intan, kalung, dan lain-lain. Masing-masing disebut satuan-satuannya (afrad al-‘amm). Cincin emas kemudian di keluarkan dari ketentuan ayat 32 surah Al-A’raf tesebut sebab tidak boleh dipakai oleh kaum laki-laki. Ini dinamakan takhsis. Pengeluaran ini berdasarkan pada hadits. Karena membatasi keumuman ayat tersebut (sebab tidak meliputi cincin emas), maka haditsnya dinamai mukhassis. Melihat hadits itu sendiri yang hanya mengenai satu hal saja, yaitu cincin emas, hadits itudisebut khas.
Dengan contoh di atas, secara definitif lafazh khas adalah suatu lafazh yang di pasangkan pada satu arti yang sudah diketahui dan manunggal.
Dengan demikian, takhsis ialah membatasi jumlahafrad al-‘amm (taqlil). Berbeda dengan nasakh karena nasakh ialah membatalkan hukum yang telah ada dan mengganti dengan hukum yang baru (tabdil). Takhsis (mukhassis) bisa dengan kata-kata Al-Qur’an dan hadits, dan bisa juga dengan dalil-dalil syara’ berupa ijma’, qiyas, dan dengan dalil akal. Nasakh (nasikh) hanya bisa dengan kata-kata. Takhsis hanya masuk pada dalil umum, sedangkan nasakh bisa masuk kepada dalil umum maupun khusus. Dengan perkataan lain, yang di takhsiskan hanya dalil umum, dalil khusus tidak bisa, sedangkan nasakh, yang dibatalkan bisa dalil umum maupun dalil khusus.
Takhsis masuk kepada hukum berita-berita. Nasaks hanya masuk kepada hukum saja, sebab membatalkan berita itu dusta.
Mukhasis di bagi menjadi dua:
1. Mukhassis muttasil, yaitu mukhassis yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi pengertiannya selalu berhubungan dengan dalil.
Mukhassis muttasil adalah:
a. Istisna
Istisna ialah mengeluarkan sesuatu dari yang lainnya.
Seperti: silahkan makan semua buah-buahan itu, kecuali buah mangga.
b. Al-mustasna minhu ialah perkataan “semua” buah-buahan dan buah mangga di kecualikan dari buah-buahan yang boleh dimakan.
c. Al- mustasna ialah buah mangga yang dikecualikan.
d. Istisna muttasil ialah mustasna minhu dan mustasna satu jenis.
e. Istisna mungqati’ ialah apabila antara mustasna dan al-mustasna minhu tidak satu jenis seperti disebutkan dalam surat Al-Ahqaf ayat 25:
Artinya:
“yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya,sehingga mereka (kaum 'Ad) menjadi tidak tampak lagi (di bumi)kecuali hanya (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. DemikianlahKami memberi balasan kepada kaum yang berdosa."(QS. Al-Ahqaf 46: Ayat 25)
Kata “mereka” untuk kaum ‘ad, yang dikecualikan tempat tinggalnya, artinya bukan yang sejenis. Karena kaum ‘ad itu jenis manusia, sedangkan tempat tinggal terbuat dari batu atau benda selain manusia.
Yang termasuk istisna muttasil, ialah:
a. Istisna muttasil.
b. Syarat.
c. Sifat.
d. Ghayah.
e. Badal ba’du mingkull
Syarat sahnya istisna menurut hanafi ada dua:
1. Dalam mengucapkan istisna, antara mustasna dan mustasna minhu harus bertemu. Bentuk, berhenti sebentar, pertanyaan-pertanyaan orang lain dan keadaan-keadaan orang lain yang menurut kebiasaan tidak memutuskan pembicaraan, tidak membatalkan sahnya istisna.
2. Mustasna tidak menghabiskan mustasna minhu. Pengecualian yang menghabiskan batal. Seperti, aku mempunyai uang senjata, kecuali sejuta.
Mukhassis munfasil, yaitu mukhassis yang dapat berdiri sendiri.Yang termasuk mukhassis munfasil, ialah:
1. Peraturan-peraturan syariat yang umum
2. ‘uruf (adat kebiasaan)
3. Nash-nash hukum syara’, yaitu Al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas.
Perincian adalah:
a. Al- Qur’an di-ditakhsiskan dengan Al-Qur’an
b. Hadist di-takhsiskan dengan hadist
c. Al-Qur’an di-takhsiskan dengan hadist
d. Hadist di-takhsiskan dengan hadist
e. Takhsis dengan qiyas
f. Takhsis dengan ijma’
Pembagian takhsis:
1. Mentakhshish ayat Al Qur’an dengan ayat Al Qur’an.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.” (QS. Al Baqarah (2) :228).
Ketentuan dalam ayat di atas berlaku umum, bagi mereka yang hamil atau tidak. Tapi ketentuan itu dapat ditakhshish dengan QS. At-Thalaq(65) ayat 4 sebagai berikut:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” Dapat pula ditakhshish dengan surat Al Ahzab(33):49
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”
Dengan demikian keumuman bagi setiap wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci tidak berlaku bagi wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan belum pernah digauli.
2. Mentakhshish Al Qur’an dengan As Sunnah.
“ وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا “
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya “ (QS. Al Maidah (5) : 38)
Dalam ayat di atas tidak disebutkan batasan nilai barang yang dicuri. Kemudian ayat di atas ditakhshish oleh sabda Nabi Saw:
“ لاَ قَطْعَ فِي أَقَلَّ مِنْ رُبْعِ دِيْنَارٍ . رواه الجماعة “
“Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang yang dicurinya kurang dari seperempat dinar”. (HR. Al-Jama’ah).
Dari ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang dicuri kurang dari seperempat dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman potong tangan.
3. Mentakhshish As Sunnah dengan Al Qur’an.
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ خَتىَّ يَتَوَضَّأَ . متفق عليه
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kamu bila ia berhadats sampai ia berwudhu”. (Muttafaq ‘Alaihi). Hadis di atas kemudian ditakhshish oleh firman Allah dalam QS. Al Maidah (5)
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
“dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih) sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”.
Keumuman hadis di atas tentang keharusan berwudhu bagi setiap orang yang akan melaksanakan shalat, ditakhshish dengan tayammum bagi orang yang tidak mendapatkan air, sebagaimana firman Allah di atas.
4. Mentakhshish As Sunnah dengan As Sunnah.
فِيْمَا سَقَتْ السَّمَاءُ الْعُشْرُ . متفق عليه
“Pada tanaman yang disirami oleh air hujan, zakatnya sepersepuluh”. (Muttafaq Alaihi). Keumuman hadis di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya.
Kemudian hadis itu ditaksis oleh hadis lain yang berbunyi:
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ . متفق عليه
“Tidak ada kewajiban zakat pada taanaman yang banyaknya kurang dari 5 watsaq (1000 kilogram)’. (Muttafaq Alaihi).
Dari kedua hadis di atas jelaslah bahwa tidak semua tanaman wajib dizakati, kecuali yang sudah mencapai lima watsaq.
5. Mentakhsish Al Qur’an dengan Ijma
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumuah : 9)
Menurut ayat tersebut, kewajiban shalat Jum’at berlaku bagi semua orang. Tapi para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak tidak wajib shalat Jum’at.
6. Mentakhshish Al Qur’an dengan Qiyas.
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, “ (QS. An-Nur : 2)
Keumuman ayat di atas ditakhshish oleh QS. An Nisa’ (4) : 25
فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ
“Apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami..”
Ayat di atas menerangkan secara khusus, bahwa hukuman dera bagi pezina budak perempuan adalah saparuh dari dera yang berlaku bagi orang merdeka yang berzina. Kemudian hukuman dera bagi budak laki-laki di-qiyaskan dengan hukuman bagi budak perempuan, yaitu lima puluh kali dera.
7. Mentakhshish dengan Pendapat Sahabat.
Jumhur ulama berpendapat bahwa takhshish hadis dengan pendapat sahabat tidak diterima.
Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanbaliyah dapat diterima jika sahabat itu yang meriwayatkan hadis yang ditakhshishnya. Misalnya: عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَرَّقَ قَوْمًا فَبَلَغَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أُحَرِّقْهُمْ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ وَلَقَتَلْتُهُمْ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ . متفق عليه
“Dari Ayyub dari Ikrimah bahwa ‘ali r.a membakar suatu kaum lalu berita itu sampai kepada Ibnu Abbas maka dia berkata: ”Seandainya aku ada, tentu aku tidak akan membakar mereka karena Nabi SAW telah bersabda: Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah (dengan api), dan aku hanya akan membunuh sebagaimana Nabi telah bersabda Siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia". Menurut hadis tersebut, baik laki-laki maupun perempuan yang murtad hukumnya dibunuh. Tetapi Ibnu Abbas (perawi hadis tersebut) berpendapat bahwa perempuan yang murtad tidak dibunuh, hanya dipenjarakan saja.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Khas
Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat dalam memberikan definisi khas. Namun, pada hakikatnya definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama. Definisi yang dapat dikemukakan disini, antara lain:
هُوَ اللَّفْظُ الْمَوْضُوْعُ لِمَعْنًى وَاحِدٍ مَعْلُوْمٍ عَلَى الإِنْفِرَا
Artinya:
“Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal.”
Menurut istilah, definisi khas adalah: Al-khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan lafadh-lafadh lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu.
2. Takhsis ialah menyebut sebagian benda dari yang umum atau mengeluarkan satuan-satuan materi dari yang umum, sedang kansatuan lainnya belum atau tidak disebutkan.
Dengan demikian, keumumannya masih berlaku bagi satuan yang tersisa. Mukhassis ialah dalil yang menjadi dasar atau hujjah dikeluarkannya satuan dari yang umum
B. Saran
Dari uraian yang terdapat di dalam makalah ini, kami tentu menyadari bahwa banyak terdapat kesalahan dan kekurangan, baik dari segi penulisan makalah ini dan sebagainya, untuk itu kami selaku pemakalah memohon kritikan dan saran dari teman-teman semua yang sifatnya konstruktif demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i. rachmat Ilmu Ushul Fiqih. Bandung CV Pustaka Setia. 1999. h. 187
Saebani. Ahmad dan Januari. Ushul Fiqh. Bandung. CV Pustaka Setia. 2009. cet. 1 h. 249-250 Diakses 8 Maret 2020
https://www.bacaanmadani.com/2018/01/pengertian-khas-khusus-dalalah-khas.html
https://www.bacaanmadani.com/2018/01/pengertian-takhsis-macam-macam-takhsis.html. Diakses 9 Maret 2020
Tidak ada komentar: