Makalah Mahkum Fih dan Mahkum Alaih

MAKALAH
MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Mata Kuliah : Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Sahibul Ardi bin Amir Hasan, SHI, MA
Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH 
 
Disusun oleh :
Kelompok 9
Adrikny Jannatika (2019110699)
Muhammad Arsad (2019110711)

Prodi Hukum Keluarga Islam (Ahwal Al-Syakhshiyah)
Fakultas Syariah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
 DARUL ULUM KANDANGAN 
TAHUN 2020/2021
 
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Mahkum Fih dan Mahkum Alaih”.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen pengajar kami yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

             Kandangan, 5 Maret 2020

              Kelompok 9
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan 
BAB II PEMBAHASAN  
A. Pengertian mahkum fih dan mahkum ‘alaih
B. Syarat-syarat pembebanan hukum pada mahkum fih
C. Syarat-syarat pentaklifan dalan mahkum ‘alaih
D. Hal-hal yang menghalangi taklif
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA








 
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul fiqh ialah suatu ilmu dengan berbagai kaidah dan berbagai pembahasan yang dengannya itulah dapat di tetapkan hukum-hukum syar’I amaliah dari dalil-dalilnya yang terperinci. Atau kumpulan berbagai kaidah dan pembahasan yang dengannya dapat sampai kepada penetapan hukum-hukum syar’I amaliah yang dikeluarkan dari dalil-dalilnya yang rinci (Abd. Wahab Khallaf, t.th.:11). 
Secara sederhana dapat dipahami bahwa ilmu ushul fiqh ialah suatu ilmu yang membahas tentang dalil-dalil syara’ dengan menggunakan kaidah-kaidah tertentu, agar dari dalil-dalil tersebut dapat dikeluarkan hokum-hukum syar’I amaliah secara tepat, baik sebagai teori maupun praktik.
Dalam kajian ushul fiqh terdapat yang namanya mahkum fih dan mahkum ‘alaih. Karena semua pengertian pemahaman mempunyai dasar ataupun latar belakang sendiri. Ushul fiqh merupakan alat dalam penetapan hukum, perlu pemahaman lebih dalam penggunaannya.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian dari mahkum fih dan mahkum ‘alaih ?
2. Apa saja syarat-syarat pembebanan hukum pada mahkum fih ?
3. Apa saja syarat-syarat pentaklifan bagi seorang mukallaf yang di anggap sah dalam mahkum ‘alaih ?
4. Apa saja hal-hal yang menghalangi taklif ?
C. Tujuan 
1. Untuk mengetahui pengertian dari mahkum fih dan mahkum ‘alaih
2. Untuk mengetahui syarat-syarat pembebanan hukum pada mahkum fih 
3. Untuk mengetahui syarat-syarat pentaklifan bagi seorang mukallaf yang di anggap sah dalam mahkum ‘alaih
4. Untuk mengetahui hal-hal yang menghalangi taklif



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih
1. Pengertian Mahkum Fih
Mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang bersangkut dengan hukum syara. Perbuatan mukallaf yang bersangkut dengan hukum syara’ seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan hukum taklifi dan hukum wadh’I, secara lebih khusus di bahas dalam mahkum fih adalah perbuatan orang mukallaf yang menjadi objek hukum syara’, baik ia harus mengerjakan sesuatu yang di wajibkan dan disunnatkan, meninggalkan sesuatu yang diharamkan dan dimakruhkan, ataupun mengambil sikap terhadap sesuatu yang harus atau kebolehan. 
Mahkum fiih telah menjadi ijma seluruh ulama bahwa tidak ada pembebanan selain pada perbuatan orang mukallaf. Oleh karena itu, apabila syar'i mewajibkan atau mensunnahkan suatu perbuatan kepada seorang mukallaf, maka beban itu merupakan perbuatan yang harus dikerjakan. Demikian juga apabila syar'i mengharamkan atau memakruhkan sesuatu, maka beban tersebut juga merupakan perbuatan yang harus ditinggalkan. 
2. Pengertian Mahkum ‘Alaih
Mahkum alaih ialah orang mukallaf yang perbuatannya dibebani hukum syara’. 


B. Syarat-syarat pembebanan hukum pada mahkum fih
1. Beban itu harus dapat atau diketahui oleh mukallaf dengan pengetahuan yang mantap
Syari’at islam dengan seperangkat pembebanan terhadap mukallaf telah di jelaskan dengan sempurna sehingga tidak ada alasan yang kuat bagi mukallaf untuk tidak mengetahuinya secara mantap atas pembebanan syara’ tersebut.
Di atas inilah nash-nash al-quran disusun, artinya tidak dinyatakan maksudnya itu. Tidak sah mukallaf itu diberati dengannya, kecuali setelah ada pernyataan Rasul terhadapnya itu.

يَتَفَكَّرُونَ وَلَعَلَّهُمْ إِلَيْهِمْ نُزِّلَ مَا لِلنَّاسِ لِتُبَيِّنَ ٱلذِّكْرَ إِلَيْكَ وَأَنزَلْنَآ
dan kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar engkau menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (QS. An-Nahl: 44)
Misalnya perintah Al-Quran tentang kewajiban shalat. Tidak diterangkan cara pelaksanaannya secara jelas, baik rukun maupun syaratnya, akan tetapi secara rinci dan jelas diterangkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sabda Nabi, sembahyanglah kamu sebagaimana kamu lihat aku sembahyang.
Demikian juga haji, puasa, zakat, dan sekalian perbuatan yang bersangkut dengan syariat. Tidak diketahui syari’, tidak sah berarti dengannya tidak dituntut kepada si mukallaf menurut perintah, kecuali setelah diterangkan terlebih dahulu. 
2. Pembebanan itu diketahui mukallaf, bahwa pembebanan itu bersumber dari yang berhak memberikan pembebanan dan segala hukum-Nya wajib diikuti oleh mukallaf. 
Tugas seorang mukallaf atau merupakan kewajibannya untuk mengetahui dengan baik bahwa beban hukum yang ditunjukkan kepadanya adalah benar-benar bersumber dari Allah Swt (Al-Quran) dan sunnag rasul-Nya ataupun pemerintah yang menjalankan prinsip-prinsip hukum Allah swt. Dan rasul-Nya. Setelah mengetahui maka ia pun berkewajiban menyampaikannya kepada sesamanya. Atau dengan kata lain bahwa selama ajaran syari’at itu sampai kepada suatu ummat, maka tidak ada alasan untuk tidak mengetahui hukum itu bodoh.
3. Pembebanan itu sesuai dengan kesanggupan mukallaf untuk melakukannya.
Kesanggupan mukallaf untuk melakukan atau meninggalkan beban terhadapnya itu meliputi dua hal:
a. Pekerjaan itu tidak mustahil. Artinya pekerjaan itu sangan pantas dan mampu dilakukan oleh mukallaf secara orang normal dan akal sehat, bukan sebaliknya. Firman Allahswt.
وُسْعَهَا اِلَّا نَفْسًا اللّٰهُ يُكَلِّفُ لَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS. Al-Baqarah: 286)

b. Pekerjaan itu memang diperuntukkan untuknya. Artinya beban yang diperintahkan atau yang dilarang itu memang untuknya, bukan untuk orang lain. Tidak sah seseorang melakukan kewajiban orang lain tanpa ada aturan yang menjelaskan. Misalnya seorang anak membayar zakat ayahnya, melakukan shalat untuk saudarnya, dan sebagainya.



Namun demikian, di dalam al-Quran dan al-Hadits terdapat keterangan yang menuntut suatu perbuatan di luar kemampuan manusia, seperti berjihad dengan mengorbankan jiwa dan harta, atau bersabar dan tidak suka marah.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
لا تغضب
"Janganlah engkau suka marah."
تحا بو او لا تبا غضوا
"Saling cinta mencintai kamu sekalian dan jangan salung membenci."
Bahkan seluruh ibadah yang diperintahkan Allah akan terasa berat dan beban bagi manusia yang tidak mengenal hakikat hidup ini, dalam melaksanakan perintah-perintah tersebut pasti akan kita jumpai berbagai macam masyaqqat, sebagaimana Rasullulah SAW bersabda:
خفت الجنة بالمكاره و خفت النار با لشھو ات
"Surga diliputi oleh hal-hal yang dibenci, sedang neraka diliputi oleh hal-hal yang menyenangkan"


C. Syarat-syarat mukallaf dalam menerima beban hukum pada mahkum alaih 
1. Mampu memahami pembebanan yang dituntutkan kepadanya
Seorang mukallaf dipandang mampu memahami pembebanan hukum, karena posisinya sebagai seorang mukallaf itu sendiri, dimana ia sudah mencapai usia baligh dan berakal normal/sehat. Jadi bukan kanak-kanak, orang dungu dan gila.
Mampu memahami disni tentunya melalui proses belajar kepada ahlinya, sehingga dia mampu memahami apa-apa yang dituntutkan oleh syara’ kepadanya.
2. Mampu dalam menerima beban
a. Ahliatul wujub, yaitu kemampuan dalam menerima hak dan kewajiban
1). Mampu menerima hak dan kewajiban secara sempurna
Mereka adalah semua orang yang hidup di sunia ini, sejak lahir sampai ajalnya tiba, baik sehat akalnya maupun tidak. Seorang anak atau orang gila kalau mereka memiliki harta yang senisab, tetapi wajib membayar zakatnya, juga berhak menerima wasiat, waris, hibah, dan sebagainya.
2). Mampu menerima hak tetapi tidak pantas menerima kewajiban
Mereka adalah janin yang masih dalam kandungan. Dalam beberapa hal ia pantas menerima hak, seperti menerima harta warisan, wasiat, tetapi mereka tidak memiliki beban kewajiban terhadap apapun.
b. Ahliatul ada’, kemampuan untuk berbuat.
Manusia dalam hubungannya dengan kemampuan untuk berbuat, dikenakan beban tanggung jawab hukumatas tindakannya, maka mereka terbagi kepada tiga golongan, yaitu:
1). Tidak mempunyai ahliatul ada’ sama sekali. Mereka ini adalah para anak kecil yang belum berakal, dan orang gila. Segala perbuatan mereka ini tidak di bebani tanggung jawab hukum.
2). Mempunyai ahliatul ‘ada tetapi kurang sempurna. Mereka ini adalah anak yang mulai menginjak mukallaf, dimana mereka sudah mulai dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Mereka sudah berakal tetapi dipandang belum mantap. Mereka adalah anak umur kurang lebih 7-15 tahun.
Mereka dalam berbagai transaksi mu’amalah ada tiga kategori : 
a). Transaksi yang benar-benar bermanfaat terhadap mereka dianggap sah dan berlaku. Seperti menerima hibah, menerima wasiat, dan lain-lain.
b). Transaksi yang merugikan mereka dianggap batal dan tidak dibenarkan. Seperti mereka melakukan hibah, wasiat, jual beli yang tidak wajar, dan sebagainya.
c). Transaksi yang masih samar-samar manfaat dan kerugiannya ditangguhkan atas idzin walinya. Seperti jual beli, pesanan, dan sebagainya.
3).  Mempunyai ahliatul ‘ada yang sempurna. Mereka ini adalah orang mukallaf (baligh lagi berakal sempurna), segala tindakannya di bebani tanggung jawab hukum.
D. Hal-hal yang menghalangi taklif
Beberapa gangguan/halangan terhadap kemampuan bertindak mukallaf, yaitu:
1. Anak-anak
2. Gila
3. Tertidur
4. Pingsan 
5. Lupa
6. Lalai/tersalah
7. Terpaksa
8. Sakit


9. Bepergian
Firman Allah swt.
أُخَرَ أَيَّامٍ مِّنْ فَعِدَّةٌ سَفَرٍ عَلَىٰأَوْ مَّرِيضًا مِنكُم كَانَ فَمَن
Maka jika dianta kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain (QS. Al-Baqarah: 184)
10. Haidh
11. Nifas
12. Kurang akal
13. Bodoh
Firman Allah swt.
وَلِيُّهُۥ فَلْيُمْلِلْ هُوَ يُمِلَّ أَن يَسْتَطِيعُ لَأَوْ ا ضَعِيفًا أَوْ سَفِيهًا ٱلْحَقُّ عَلَيْهِ ٱلَّذِى كَانَ فَإِن بِٱلْعَدْلِ
Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur (QS. Al-Baqarah: 282)
14. Mabuk 
Firman Allah swt.
سُكَارَى وَأَنتُمْ الصَّلاَةَ واْ تَقْرَبُلاَ آمَنُواْ الَّذِينَ أَيُّهَا يَا تَقُولُونَ مَا تَعْلَمُواْ حَتَّىَ
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan (QS. An-Nisa: 43)
15. Bergurau 
16. Meninggal





BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam kajian ushul fiqh terdapat yang namanya mahkum fih dan mahkum ‘alaih. Mahkum fih adalah perbuatan orang mukallaf yang menjadi objek hukum syara’, baik ia harus mengerjakan sesuatu yang di wajibkan dan disunnatkan, meninggalkan sesuatu yang diharamkan dan dimakruhkan, ataupun mengambil sikap terhadap sesuatu yang harus atau kebolehan. Mahkum alaih ialah orang mukallaf yang perbuatannya dibebani hukum syara’. 
Syarat-syarat pembebanan hukum pada mahkum fih ada tiga yaitu pertama beban itu harus dapat atau diketahui oleh mukallaf dengan pengetahuan yang mantap, kedua pembebanan itu diketahui mukallaf, bahwa pembebanan itu bersumber dari yang berhak memberikan pembebanan dan segala hukum-Nya wajib diikuti oleh mukallaf dan ketiga pembebanan itu sesuai dengan kesanggupan mukallaf untuk melakukannya.
Syarat-syarat mukallaf dalam menerima beban hukum pada mahkum alaih ada dua yaitu mampu memahami pembebanan yang dituntutkan kepadanya dan mampu dalam menerima beban. Sedangkan hal-hal yang menghalangi seorang taklif bermacam-macam seperti anak-anak, gila, sakit, mabuk dan lain-lain.

B. Saran 
Kami tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Kami akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang membangun dari para pembaca. 


DAFTAR PUSTAKA

Hayat, Abdul, Ushul Fiqh (Dasar-dasar memahami fiqh islam), Banjarmasin: Antasari Press. 2010
Hasbiyallah, DR., Fiqh dan Ushul Fiqh, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2017
Khallaf,  Syekh Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: PT RINEKA CIPTA. 2005





Tidak ada komentar:

Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia

 MAKALAH “Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia ” Mata Kuliah: Hukum Perdata Islam di Indonesia B  Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH ...

Diberdayakan oleh Blogger.