Wakaf

 WAKAF

(Ketentuan Umum tentang Hukum Perwakafan di Indonesia)


Mata Kuliah : Hukum Perdata Islam di Indonesia B

Dosen Pengampu : Dr. H. Mukhsin Aseri, M.Ag, MH

Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH



Disusun oleh :

Kelompok 5

Norlatifah (2019110721)

Saidah (2019110736)


PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

DARUL ULUM KANDANGAN

1443 H/ 2021 M

 

BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Hukum Islam merupakan perpaduan antara wahyu Allah SWT. dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat wahyu itu diturunkan. Misi hukum Islam sebagai aturan untuk mewujudkan nilai-nilai keimanan dan akidah mengemban misi utama yaitu mendistribusikan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, baik keadilan hukum, keadilan sosial maupun keadilan ekonomi. Salah satu institusi atau pranata sosial Islam yang mengandung nilai sosial ekonomi adalah lembaga perwakafan.

Wakaf telah disyari'atkan dan telah dipraktekkan oleh umat Islam seluruh dunia sejak zaman Nabi Muhammad SAW. sampai sekarang, termasuk oleh masyarakat Islam di negara Indonesia. Menurut Ameer Ali, hukum wakaf merupakan cabang yang terpenting dalam syari'at Islam, sebab ia terjalin kepada seluruh kehidupan ibadat dan perekonomian sosial kaum muslimin.

Wakaf merupakan salah satu tuntunan ajaran Islam yang menyangkut kehidupan bermasyarakat dalam rangka ibadah ijtima’iyah (ibadah sosial). Karena wakaf adalah ibadah, maka tujuan utamanya adalah pengabdian kepada Allah SWT dan ikhlas karena mencari ridhanya. 

Secara prinsip wakaf diharapkan mampu memberikan peran nyata pada kehidupan sosial ekonomi umat di Indonesia. Terutama dalam rangka mengurangi angka kemiskinan, namun kenyataannya, tingkat kemiskinan di Indonesia masih terbilang cukup tinggi.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian, fungsi dan syarat wakaf?

2. Bagaimana tata cara wakaf?

3. Bagaimana cara penarikan kembali dan perubahan wakaf?

4. Bagaimana cara penyelesaian, pengawasan dan kewajiban wakaf?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian, fungsi dan syarat wakaf.

2. Untuk mengetahui tata cara wakaf.

3. Untuk mengetahui cara penarikan kembali dan perubahan wakaf.

4. Untuk mengetahui penyelesaian, pengawasan dan kewajiban wakaf.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian, Fungsi dan Syarat Wakaf

1. Pengertian Wakaf

Wakaf adalah suatu kata yang berasal dari bahasa arab, yaitu waqafa yang berarti menahan, menghentikan atau mengekang. Dalam bahasa indonesia kata waqaf biasa diucapkan dengan wakaf dan ucapan inilah yang dipakai dalam perundang-undangan di indonesia.  Menurut istilah wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau meneruskan bendanya (‘ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.  Sedangkan definisi wakaf dalam terminologi fiqih adalah penahanan pemilikan atas hartanya yang dapat dimanfaatkan tanpa merubah substansi dari segala bentuk tindakan atasnya dan mengalihkan manfaat harta tersebut untuk salah satu ibadah pendekatan diri kepada Allah dengan niat mencari ridho Allah. 

Dalam peristilahan syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahsibul ashli), lalu menjadikannya secara umum. Yang dimaksud tahsibul ashli adalah menahan benda yang di wakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan dan sejenisnya. 

2. Fungsi Wakaf

Fungsi wakaf dalam KHI Pasal 216 adalah: fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuannya. Menurut Pasal 5 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf bahwa wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum. 

Jadi fungsi wakaf menurut KHI Pasal 216 dan Pasal 5 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dimaksudkan dengan adanya wakaf terciptanya sarana dan prasarana bagi kepentingan umum sehingga terwujudnya kesejahteraan bersama baik dalam hal ibadah ataupun dalam hal mu’amalah. Dengan demikian orang yang kehidupannya di bawah garis kemiskinan dapat tertolong kesejahteraannya dengan adanya wakaf. Kemudian umat Islam yang lainnya dapat menggunakan benda wakaf sebagai fasilitas umum sekaligus dapat mengambil manfaatnya. 

3. Rukun dan Syarat Wakaf

Wakaf dinyatakan sah apabila terpenuhi rukun dan syarat wakaf. Adapun rukun-rukun wakaf ialah:

a. Ada yang berwakaf (wakif)

Orang yang mewakafkan (wakif) disyaratkan memiliki kecakapan hukum dalam menggunakan hartanya. Kecakapan bertindak disini meliputi: 

1) Merdeka

Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya) tidak sah karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memilikan hak itu kepada orang lain. Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik untuk dirinya dikarenakan apa yang dimiliki adalah kepunyaan tuannya.

2) Berakal Sehat

Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan lainnya.

3) Dewasa

Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa (baligh), hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap melakukan akad dan tidak cakap pula untuk menggugurkan hak miliknya.

4) Tidak berada di bawah pengampuan (boros/lalai)

Orang yang berada di bawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk berbuat kebaikan (tabarru’), maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah. 

b. Ada barang atau harta yang diwakafkan (mauquf bih)

Adapun syarat objek wakaf harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Harta yang diwakafkan harus mutaqowwam

Kriteria mutaqowwam dalam kitab klasik dijelaskan hara tersebut harus bersifat benda materiil, memiliki mafaat, dan dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Kriteria objek atau harta wakaf ini disebutkan oleh Mazhab Syafi’I dan Hambali. Keduanya tidak membatasi apakah benda bergerak atau benda tidak bergerak.

Ulama hanafi berbeda pendapat dalam hal ini. Dikatakan bahwa harta wakaf harus berupa benda yang tidak bergerak.

Selanjutnya Imam Maliki berpendapat berbeda, yang mengatakan bahwa harta wakaf tidak hanya berupa materiil saja akan tetapi benda immaterial juga bisa masuk kategori benda yang dapat diwakafkan.

2) Diketahui dengan yakin ketika diwakafkan

Harta tersebut harus diketahui dengan yakin (‘ainun ma’lumah), sehingga tidak akan menimbulkan persengketaan. Karena itu harta yang diwakafkan tidak sah jika tidak jelas.

3) Milik waqif

Tidak ada terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha bahwa wakaf tidak sah kecuali jika wakaf itu berasal dari harta pemilik wakaf sendiri. Sebab wakaf adalah perbuatan yang menyebabkan terlepas atau terbebasnya suatu kepemilikan menjadi harta wakaf. 

4) Terpisah, tidak milik bersama 

c. Penerima wakaf (mauquf ‘alaih)

Yang dimaksud dengan mauquf ‘alaih adalah tujuan wakaf (peruntukan wakaf). Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan syariat. 

d. Ikrar wakaf (shigat)

Shigat wakaf ialah ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berwakaf (wakif). Dan dalam shighat wakaf tersebut cukup dengan ijab saja dari orang yang mewakafkan harta bendanya tanpa memerlukan qabul dari mauquf ‘alaih.  Cara mewakafkan dengan lafadz dibedakan menjadi dua macam yaitu lafadz secara sharih (jelas) adalah: waqafu (aku wakafkan), habbastu (aku tahan) dan sabbaltu (aku peruntukkan bagi kepentingan umum). Dan selanjutnya lafadz kinayah adalah: tashaddaqtu (aku sedekahkan), harramtu (aku haramkan) dan abbadtu (aku berikan selama-lamanya). 

Sedangkan ikrar wakaf dengan perbuatan (tanpa perkataan atau sejenisnya), maka diisyaratkan adanya tanda-tanda yang menunjukkan bahwasanya seseorang telah berwakaf. Jika ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwasanya seseorang telah berwakaf, maka perbuatan tersebut dinyatakan sebagai wakaf, meski ia tidak berniat demikian. 

B. Tata Cara Pelaksanaan Wakaf

Sehubungan dengan pelaksanaan perwakafan tanah milik, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 penerapannya tidak bisa dilepaskan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, secara khusus telah mengatur sebagai berikut:

1. Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf;

2. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama;

3. Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama;

4. Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembentukan Akta Ikrar Wakaf dianggap sah, jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi;

5. Pihak yang mewakafkan tanah diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada Pejabat tersebut, surat-surat berikut:

a. Sertifikat hak milik atau benda bukti pemilikan tanah lainnya;

b. Surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa;

c. Surat keterangan pendaftaran tanah;

d. Izin Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat. 

C. Penarikan Kembali dan Perubahan Wakaf

1. Penarikan Kembali Wakaf

Para ulama mazhab dan pengikutnya mempunyai perbedaan pendapat mengenai pemahaman terhadap wakaf, yaitu apakah harta wakaf yang telah diberikan si waqif masih menjadi miliknya atau berpindah seketika saat ia menyerahkan kepada mauquf ‘alaih (penerima wakaf).

a. Imam Malik

Imam Malik berpendapat bahwa harta yang diwakafkan tetap menjadi milik orang yang mewakafkan, artinya harta wakaf itu tidak keluar dari waqif, tetapi walaupun harta itu (mauquf) tidak lepas dari waqif, harta itu tidak boleh ditasyaruf-kan atau ditransaksikan oleh waqif. Waqif dilarang menjual, menghibahkan dan mewariskan harta wakafnya. 

Wakaf boleh untuk waktu tertentu sesuai yang dikehendaki oleh waqif. Boleh untuk selama-lamanya dan boleh untuk lima tahun misalnya, sesuai yang ditentukan oleh waqif. Kalau waqif tidak menentukan waktunya maka wakaf berlaku untuk selama-lamanya.

Karena menurut Imam Maliki bahwa harta wakaf itu tidak keluar dari waqif dan boleh untuk waktu tertentu saja, maka apabila waktu yang ditentukan oleh waqif sudah habis, si waqif boleh mengambil kembali hartanya.

b. Imam Syafi’i

Imam Syafi’i berpendapat bahwa kepastian adanya wakaf ditunjukkan oleh adanya sighat (pernyataan) dari waqif dan terpenuhinya rukun-rukun dan syarat-syarat wakaf. Menurut beliau harta yang diwakafkan bukan lagi menjadi milik orang yang mewakafkan (Waqif) melainkan menjadi milik Allah.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa kalau seseorang mewakafkan hartanya, berarti menahan harta untuk selama-lamanya. Karena itu dia tidak membenarkan membatasi waktu wakaf seperti pendapat Imam Malik. Oleh karena itu pula harta wakaf harus harta yang mempunyai manfaat yang lama, bukan yang lekas rusak atau habis seketika setelah dipergunakan.

c. Imam Ahmad Ibn Hanbal (Hanbali)

Menurut Imam Hanbali, apabila seseorang telah jelas mewakafkan, maka waqif tidak mempunyai kekuasaan bertindak atas harta wakafnya, dia tidak dapat mentransaksikannya, dan juga tidak dapat menarik kembali harta yang telah diwakafkan itu.  Benda wakaf itu harus merupakan benda yang dapat dijual walaupun kalau sudah diwakafkan tidak boleh dijual, dan harus mempunyai manfaat kekal karena wakaf untuk selama-lamanya.

Apabila benda yang diwakafkan itu rusak, boleh dijualnya dan dibelikan lagi untuk pengganti benda itu. Hukum menjual benda wakaf yang rusak adalah karena darurat, karena tidak dapat digunakan lagi.

d. Imam Abu Hanifah

Menurut pendapat Abu Hanifah, harta yang telah diwakafkan tetap berada pada kekuasaan waqif dan boleh ditarik kembali oleh si waqif. Harta itu tidak berpindah hak milik, hanya manfaatnya saja yang digunakan untuk tujuan wakaf. Dalam hal ini Imam Abu Hanifah memberikan pengecualian pada tiga hal, yakni wakaf masjid, wakaf yang ditentukan oleh keputusan pengadilan dan wakaf wasiat. Selain tiga hal yang tersebut, yang dilepaskan hanya manfaatnya saja bukan benda itu secara utuh. 

2. Perubahan Status Harta Benda Wakaf

UU Wakaf pada Pasal 40 menentukan bahwa harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

Namun dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah (Pasal 41) dan hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujun Badan Wakaf Indonesia. Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.

Masalah perubahan peruntukan dan status tanah wakaf ini sebenarnya sudah banyak dikaji oleh ahli hukum Islam dalam kitab-kitab fiqih, dalam fiqih Islam pada dasarnya perubahan peruntukan dan status tanah wakaf itu tidak diperbolehkan, kecuali apabila tanah wakaf tersebut tidak lagi dimanfaatkan sesuai tujuan wakaf, maka terhadap tanah wakaf yang bersangkutan dapat diadakan perubahan baik peruntukannya maupun statusnya. Para ulama/ahli Hukum Islam memang beragam pendapatnya dalam hal ini, Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Mughni mengatakan bahwa apabila harta wakaf itu rusak dan tidak bermanfaat sesuai tujuannya, hendaknya dijual saja dan hasilnya dibelikan barang lain yang bermanfaat sesuai dengan tujuan wakaf, dan barang yang dibeli itu berkedudukan sebagai harta wakaf seperti semula.

Ahmad Azhar Basyir memberikan pijakan sebagai solusi dalam masalah perubahan perwakafan, menurutnya amalan wakaf akan bernilai ibadah apabila betul berfungsi seperti yang dituju. Oleh karena itu apabila terdapat harta wakaf yang berkurang, rusak dan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya harus dicarikan jalan keluar agar dapat berfungsi, karena dalam fiqh, dikebal prinsip maslahat, yaitu memelihara maksud syara’, yakni memberikan kemanfaatan dan menghindari hal-hal yang merugikan. Prinsip ini setidaknya dapat dijadikan pertimbangan dalam perubahan menukar dan menjual harta wakaf untuk mencapai fungsinya sebagaimana dinyatakan si waqif.

D. Penyelesaian, Pengawasan dan Kewajiban Wakaf

1. Penyelesaian Perselisihan

UU Wakaf menentukan bahwa Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila penyelesaian sengketa tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan (Pasal 62) Perubahan peruntukan dan status tanah wakaf memungkinkan untuk menimbulkan perselisihan perwakafan. Penyelesaian perselisihan perwakafan sepanjang yang menyangkut persoalan perwakafan tanah disalurkan melalui Pengadilan Agama setempat, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 

2. Pengawasan Wakaf

Upaya pengawasan benda wakaf dapat langsung dilakukan oleh pihak pemerintah dan masyarakat. Sebagaimana yang termuat dalam pasal 21 bagian ketiga RUU Wakaf. Peran pemerintah yang memiliki akses birokrasi yang sangat luas dan otoritas dalam penegakan hukum merupakan aspek penting dalam melindungi eksistensi dan pengembangan wakaf secara umum. Demikian juga masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan langsung terhadap pemanfaatan harta-harta wakaf dapat mengawasi secara langsung terhadap jalannya pengelolaan wakaf. Tentu saja pola pengawsan yang bisa dilakukan oleh masyarakat bukan bersifat interventif (campur tangan manajemen), namun memantau, baik langsung maupun tidak langsung terhadap pola pengelolaan dan pemanfaatan wakaf itu sendiri. Sehingga peran lembaga nazhir lebih terbuka dalam memberikan laporan terhadap kondisi dan perkembangan harta wakaf yang ada.

Untuk itu, agar pengelolaan wakaf dapat lebih bisa dipertanggungjawabkan oleh lembaga nazhir yang ada kepada pemerintah dan masyarakat masyarakat umum, diperlukan upaya perwujudan sebuah kondisi sebagai berikut:

Pertama, gerakan untuk mempelopori transparansi dalam semua aspek kelembagaan nazhir, baik dalam lingkup internal maupun ekstemal. Adanya transparansi kelembagaan nazhir ini merupakan jihad yang bersifat sistemik untuk menutup tindakan ketidakjujuran, korupsi, manipulasi dan lain sebagainya.

Kedua, lembaga nazhir harus mempelopori sistem public accountability yaitu mendorong terjadinya iklim akuntabilitas publik dalam pengelolaan harta wakaf. Pertanggungjawaban umum merupakan wujud dari pelaksanaan sifat amanah (kepercayaan) dan shidiq (kejujuran).

Ketiga, lembaga nazhir mempelopori gerakan yang aspiratif. Orang-orang yang terlibat dalam kelembagaan nazhir harus mendorong terjadinya sistem sosial yang melibatkan partisipasi banyak kalangan. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pola pengambilan kepurusan secara sepihak oleh kalangan elit kepemimpinan di dalam lembaga kenazhiran.

Dengan demikian, kalau lembaga nazhir mau, mampu dan konsisten (istiqamah) memperjuangkan dan mempelopori ketiga aspek upaya pengawasan tersebut. 

3. Hak dan Kewajiban Nadzir Wakaf dalam Perspektif Fiqih Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

Para ulama mazhab sepakat bahwa terhadap pengelola harta hakaf yang ditunjuk oleh para pewakaf atau hakim boleh mengangkat siapa saja yang dia kehendaki untuk mengusahakan kemaslahatan dari barang yang diwakafkan.  Sebagai pengelola wakaf, Nadzir bertanggung jawab penuh terhadap pemeliharaan harta wakaf. Nadzir adalah seorang figur penting yang menentukan berkembang atau tidaknya harta wakaf.  Nadzir wakaf berwenang melakukan segala tindakan yang mendatangkan kebaikan bagi harta wakaf yang bersangkutan dengan memperhatikan syarat-syarat yang munkin telah ditentukan oleh wakif. Adapun tugas-tugas nadzir antara lain. 

a. Menyewakan, yaitu menyewakan harta wakaf (miasalkan harta tanah)

b. Memelihara harta wakaf. Terhadap pemeliharaan ini tentunya memerlukan biaya yang dapa diambil dari hasil harta wakaf yang dimaksud atau di ambil dari sumber lainnya

c. Memberikan hasil wakaf kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya.

Menurut Imam Maliki sependapat dengan golongan Hanafiyah, hanya saja golongan Maliki berpendapat bahwa jika waqif tidak menentukan upah nadzir, maka nadzir dapat mengambil upah atau imbalan itu dari baitul mal. Nadzir berhak mendapatkan gaji yang seimbang, sebagian Syafi’iyah yang lain menyatakan bahwa sebenarnya tidak berhak memohon gaji kecuali apabila keadaan yang sangat mendesak. Dalam hal ini mereka mengqiyaskan tanggung jawab nadzir terhadap pengelolaan harta wakaf itu tidak berhak mengambil hartanya melainkan hanya untuk secukupnya ketika membutuhkannya. 

Selain itu menurut Kompilasi Hukum Islam terhadap hak dan kewajiban nadzir yang dibebankan kepadanya sebagai mana yang di atur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 220:

a. Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuan menurut ketentuan-ketentuan yang di atur oleh Menteri Agama;

b. Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berskala atas semua hal yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) kepada Kepala Kantor Urusan Agama setempat dengan tembusan kepada Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat;

c. Tata cara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Agama.

Agar terhindar dari orang-orang yang mencari keuntungan pribadi atau penyelewengan dalam pengelolaan tanah wakaf maka perlu diperhatikan kewajiban dan hak dari nadzir.

Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dalam Pasal 11 menyatakan, nadzir mempunyai tugas:

a. Melakukan pengadministrasian harta wakaf.

b. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan fungsi dan peruntukannya.

c. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.

d. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

Ketentuan mengenai kewajiban nadzir juga ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf pada Pasal 13 yang menyatakan:

a. Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 7, Pasal 11 wajib mengadministrasikan, mengelola, mengembangkan, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.

b. Nadzir wajib membuat laporan secara berskala kepada Menteri dan BWI mengenai kegiatan perwakafan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

c. Ketentuan lebih lanjut mengenai bagaimana tata cara pembuat laporan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2), diatur dengan peraturan Menteri.

Selanjutnya terhadap hak dan kewajiban nadzir lebih lanjut lagi diatur dalam UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, kewajiban nadzir dalam pasal 11 yaitu:

a. Melakukan pengadministrasi harta benda wakaf.

b. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya.

c. Mengawasi dan melindungi tugas harta benda wakaf.

d. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada badan Wakaf Indonesia.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahsibul ashli), lalu menjadikannya secara umum. Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuannya. Wakaf dinyatakan sah apabila terpenuhi rukun dan syarat wakaf.

Para ulama mazhab dan pengikutnya mempunyai perbedaan pendapat mengenai pemahaman terhadap wakaf, yaitu apakah harta wakaf yang telah diberikan si Wāqif masih menjadi miliknya atau berpindah seketika saat ia menyerahkan kepada mauqūf ‘alaih (penerima wakaf).

UU Wakaf pada Pasal 40 menentukan bahwa Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Kemudian mengenai Hak dan Kewajiban Nadzir Wakaf di atur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004.


DAFTAR PUSTAKA

Abd. Shomad. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: Kencana. 2017

Al-Alabij, H. Adijani. Perwakafan Tanah Di Indonesia Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta: t.p. 1989

Al-Alabij, Adijani. Perwakafan Tanah Di Indonesia dalam Teori Dan Praktek. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002.

Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah. Hukum Wakaf. Jakarta: Dompet Dhauafa Republika. 2004

Al-Utsmani, Syaih Muhammad bin Shalih. Panduan Wakaf  Hibh dan Wasiat. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i. 2008

Al-zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh. Damsyik: Dar Al-Fikr. 1989

Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu. Beirut: Dar al-Fikr. 2006

Baedawi, Idham Khalid. Fiqih Wakaf. Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggara Haji. 2003

Departemen Agama. Ilmu Fiqih 3. Jakarta : Depag RI. 1986

Departemen Agama RI. Fiqih Wakaf. t.t: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam. t.th.

Departemen Agama RI. Paradigm Baru Wakaf Di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf  Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam. T.th

Khoerudin, Abdul Nasir. Tujuan dan Fungsi Wakaf  Menurut Para Ulama dan Undang-Undang di Indonesia. Jurnal Keislaman, Kemasyarakatan & Kebudayaan. vol. 19. no. 2. 2018

Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: PT. Lentera Basritam. 1990.

Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo. 2012

Rohman, Adi Nur, dkk. Seri Buku Saku Hukum Wakaf Indonesia. Bekasi: Univertas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubharajaya). 2020

Salam, Subulus. Bulughul Maram  Juz Ke-3. Jakarta:Pustaka Azzam. 2006

Usman, Suparman. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Darul Ulum Press. 1994

Zahrah, Muhammad Abu. Muhadlarah fi al-Waqfi. Mesir: Dar al-Fikr al-Araby. 1971


Tidak ada komentar:

Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia

 MAKALAH “Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia ” Mata Kuliah: Hukum Perdata Islam di Indonesia B  Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH ...

Diberdayakan oleh Blogger.