Hak-hak Atas Benda Wakaf

MAKALAH

HAK-HAK ATAS BENDA WAKAF


Mata Kuliah : Hukum Perdata Islam di Indonesia B

Dosen Pengampu : Drs. H. Mukhsin Aseri, M. Ag, MH

Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH


 

Disusun oleh:

Kelompok VI

Sa’adatul Munawwarah ( 2019110735 )

Khalidah Mardha ( 2019110763 )



PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

DARUL ULUM KANDANGAN

1443 H/ 2021 M 

 


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wakaf merupakan salah satu ibadah yang dapatt mencakup Hablu Min Allah dan Hablu Min an-Nas, yaitu ibadah yang berhubungan dengan Tuhan dan berhubungan dengan sesama manusia. Wakaf merupakan salah satu tuntunan ajaran Islam yang menyangkut kehidupan bermasyarakat dalam rangka ibadah ijtima’iyah (ibadah sosial). Karena wakaf adalah ibadah, maka tujuan utamanya adalah pengabdian kepada Allah SWT dan ikhlas karena mencari ridha-Nya. Salah satu alasan pembentukan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf adalah praktik wakaf yang ada di masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien, salah satu buktinya adalah di antara harta benda wakaf tidak terpelihara dengan baik, terlantar, bahkan beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum.

Pelaksanaan wakaf yang terjadi di Indonesia masih banyak yang dilakukan secara agamis atau mendasar pada rasa saling percaya, yaitu wakif hanya menyerahkan tanah wakaf kepada seorang nazhir tanpa dibarengi dengan adanya pembuatan Akta Ikrar Wakaf (AIW) atau sejenisnya. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan tanah yang diwakafkan tidak memiliki dasar hukum, sehingga apabila dikemudian hari terjadi permasalahan mengenai kepemilikan tanah wakaf penyelesaiannya akan menemui kesulitan, khususnya dalam hal pembuktian.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian wakaf?

2. Apa saja dasar hukum wakaf?

3. Apa saja hak-hak atas benda wakaf?

4. Bagaimana Penggunaan HAKI sebagai Objek Wakaf?

C. Tujuan

1 Untuk mengetahui apa pengertian wakaf.

2 Untuk mengetahui apa saja dasar hukum wakaf.

3 Untuk mengetahui apa saja hak-hak atas benda wakaf.

4 Untuk mengetahui penggunaan HAKI sebagai objek wakaf.

 


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wakaf

Kata “Wakaf” atau “Wacf” berasal dari bahasa Arab “Waqafa”. Asal kata “Wakafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat”. Kata “Wakafa Yaqifu Waqfan” sama artinya dengan “Habasa Yahbisu Tahbisan” artinya mewakafkan. 

Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut :

1. Syafi’i dan Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan waqif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Maka dalam hal ini wakaf secara otomatis memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh waqif untuk diserahkan kepada nadzir yang dibolehkan oleh syariah, dimana selanjutnya harta wakaf itu menjadi milik Allah.

2. Imam Abu Hanifah mengartikan wakaf sebagai menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik si waqif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahwa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan waqif itu sendiri. Dengan artian, waqif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, bahkan diperbolehkan menarik kembali dan menjualnya. Jika si waqif meninggal maka harta wakaf menjadi harta warisan bagi ahli warisnya, jadi yang timbul dari wakaf tersebut hanyalah “menyumbangkan manfaat”.

3. Madzhab Maliki berpendapat, wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan waqif, akan tetapi wakaf tersebut mencegah waqif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan waqif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Maka dalam hal ini wakaf tersebut mencegah waqif menggunakan harta wakafnya selama masa tertentu sesuai dengan keinginan waqif ketika mengucapkan akad (sighat). Jadi pada dasarnya perwakafan ini berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya). 


B. Dasar Hukum Wakaf

Tidak ada dalam ayat Al-Qur’an yang secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf. Yang ada hanyalah pemahaman konteks terhadap ayat Al-Qur’an yang dikategorikan sebagai amal kebaikan. Demikian ditemukan petunjuk umum tentang wakaf walaupun secara implisit. Misalnya Firman Allah :

Q.S. Ali Imran ayat 92

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ

Artinya: “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui” 

Q.S. Al-Baqarah ayat 261

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

Artinya: “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.” 

Allah telah mensyariatkan wakaf sebagai salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Pada dasarnya, benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan. Dalam sabda Rasulullahh SAW telah dijelaskan bahwa benda wakaf tidak bisa diperjualbelikan, dihibahkan, atau diwariskan dalam hadits Umar Radhiyallahu 'anhu :

Artinya : Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar r.a., bahwa ‘Umar Ibn Khattab memperoleh tanah (kebun) di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi SAW, seraya berkata, “Wahai Rasulullah saya memperoleh tanah yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut, maka apa yang engkau perintahkan (kepadaku) mengenainya?”. Nabi SAW menjawab, “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasilnya)”. Ibnu ‘Umar berkata, “Maka ‘Umar menyedekahkan tanah tersebut (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan, yaitu kepada orang-orang fakir, kerabat, riqab (hamba sahaya), sabilillah, tamu dan ibnu sabil. Tidak berdosa bagi orang yang mengelola untuk memakan dari (hasil) tanah itu secara ma’ruf (wajar) atau memberi makan seorang teman, dengan tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik. 

Dalam Pasal 11 ayat 1 PP No. 28 Tahun 1977 dijelaskan :

“Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan, peruntukan atau penggunaan lain dari yang dimaksud dalam ikrar wakaf.” 

Dan pada Pasal 40 UU No. 41 Tahun 2004 berbunyi :

“ Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: 

1. Dijadikan Jaminan; 

2. Disita; 

3. Dihibahkan; 

4. Dijual; 

5. Diwariskan; 

6. Ditukar; 

7. Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.  


C. Hak-hak atas Benda Wakaf

1. Mauquf bih (harta benda wakaf) 

Mauquf dipandang sah apabila merupakan harta bernilai, tahan lama dipergunakan, dan hak milik wakif murni. 

Benda yang diwakafkan dipandang sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 

a. Benda harus memiliki nilai guna. 

Tidak sah hukumnya sesuatu yang bukan benda, misalnya hak-hak yang bersangkut paut dengan benda, seperti hak irigasi, hak lewat, hak pakai dan lain sebagainya. Tidak sah pula mewakafkan benda yang tidak berharga menurut syara’, yaitu benda yang tidak boleh diambil manfaatnya, seperti benda memabukkan dan benda-benda haram lainnya. 

b. Benda tetap atau benda bergerak. 

Secara umum yang dijadikan sandaran golongan syafi’iyah dalam mewakafkan hartanya dilihat dari kekekalan fungsi atau manfaat dari harta tersebut, baik berupa barang tak bergerak, benda bergerak maupun barang kongsi (milik bersama).

c. Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui) ketika terjadi akad wakaf. 

Penentuan benda tersebut bisa ditetapkan dengan jumlah seperti seratus juta rupiah, atau juga bisa menyebutkan dengan nisab terhadap benda tertentu, misalnya separuh tanah yang dimiliki dan lain sebagainnya. Wakaf yang tidak menyebutkan secara jelas terhadap harta yang akan diwakafkan tidak sah hukumnya seperti mewakafkan sebagian tanah yang dimiliki, sejumlah buku, dan sebagainya. 

d. Benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik tetap (al-milk at-tamm) si wakif (orang yang mewakafkan) ketika terjadi akad wakaf. Dengan demikian jika seseorang mewakafkan benda yang bukan atau belum miliknya, walaupun nantinya akan menjadi miliknya maka hukumnya tidak sah, seperti mewakafkan tanah yang masih dalam sengketa atau jaminan jual beli dan lain sebagainya. 

Dalam KHI pasal 217 ayat 3 menyatakan bahwa : Benda wakaf sebagaimana dalam pasal 215 ayat 4 harus merupakan benda milik yang bebas segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan sengketa. 

Kompilasi Hukum Islam juga mengatur tentang wakaf walaupun tidak seperti UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang secara rinci menjelaskan dan mengatur tata cara perwakafan.

Dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, bahwa : Harta benda wakaf terdiri dari : 

a. Benda tidak bergerak, meliputi : 

1) Harta atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar; 

2) Bangunan atau bagian bangunan yang terdiri di atas sebagaimana dimaksud pada huruf 1; 

3) Tanaman dan benda yang berkaitan dengan tanah; 

4) Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 

5) Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 

b. Benda bergerak adalah harta yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:

1) Uang,

2) Logam mulia, 

3) Surat berharga,

4) Kendaraan, 

5) Hak atas kekayaan intelektual, 

6) Hak sewa, dan 

7) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti mushaf, buku dan kitab.

Setelah diatur dalam UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf maka segala sesuatu yang sesuai dengan Pasal 16 dapat diwakafkan baik benda bergerak atau benda tidak bergerak, tidak hanya tanah atau bangunan saja yang dapat diwakafkan. 

2. Waqif (orang yang mewakafkan) 

Pada hakikatnya amalan wakaf adalah tindakan tabbaru’ (mendermakan harta benda), karena itu syarat seorang wakif cakap melakukan tindakan tabarru’.  Artinya, sehat akalnya, dalam keadaan sadar, tidak dalam keadaan terpaksa/dipaksa, dan telah mencapai umur baligh.  Dan wakif adalah benar-benar pemilik harta yang diwakafkan.  Oleh karena itu wakaf orang yang gila, anak-anak, dan orang yang terpaksa/dipaksa, tidak sah.  

Wakaf  adalah  perbuatan  hukum  wakif  untuk menahan  harta  benda  miliknya,  baik  sementara  waktu  maupun  untuk selamanya, dimanfaatkan  secara  berulang  untuk  kepentingan  umum  maupun  khusus sesuai dengan  prinsip  syari‘at  Islam. Definisi  ini  mencakup  wakaf  benda bergerak maupun tidak bergerak ataupun hak-hak yang dimiliki seseorang, misalnya berupa uang,  tanah,  mobil,  hak  atas  kekayaan  intelektual,  dan  lain-lain  serta  dilakukan dalam rangka taqarrub kepada Allah swt. Pengertian ini  memberi  kesempatan  kepada  wakif  untuk  mewakafkan hartanya  apakah  untuk  selamanya,  misalnya  tanah  yang  digunakan untuk  masjid atau  berlaku  untuk  jangka  waktu  tertentu,  seperti  wakif  menyewa sebuah  rumah selama  satu  tahun.  Rumah  yang  disewa  ini  kemudian diwakafkan  oleh wakif sampai habis masa sewanya atau dia mewakafkannya selama enam bulan kemudian setelah  enam  bulan  kembali  lagi  kepada  wakif  yang  bersangkutan sampai  habis masa sewanya.

Cara ini sesuai dengan harapan wakif agar pahala harta benda yang diwakafkannya   terus  mengalir  walaupun  dia  telah  meninggal  dunia.  Hal  ini memungkinkan  manfaat  harta  benda  wakaf  dapat  berlangsung  secara  berulang-ulang.  Dengan  cara  ini  harta  benda  wakaf  dapat  berfungsi  sebagai sedekah  yang terus  berjalan  sebagaimana  digambarkan  oleh  Nabi  saw.  Pengertian  ini  juga mendorong  pengurus  wakaf  agar  mampu  mengelola  dan mengembangkan  harta benda wakaf secara produktif, sehingga harta benda wakaf dapat berfungsi sesuai dengan fungsinya.

Definisi ini memberikan hak kepada wakif untuk memanfaatkan wakafnya yang  dapat  mencakup  wakaf  khairi  untuk  kepentingan  kebaikan  secara  umum, misalnya  orang-orang  miskin,  sekolah,  dan  lain-lain  atau  yang  khusus  yang ditentukan  oleh  wakif,  karena  dia  menunjuk  para  pihak  tertentu yang  berhak menikmati hasil wakaf. 

Di  samping  itu,  pengelolaan  dan  pengembangan  harta  benda  wakaf  harus pada sektor-sektor  yang  dibenarkan syari‘at. Jadi, jangan sampai pengurus wakaf melakukan usaha pada sektor-sektor yang melanggar ketentuan syari‘at. Demikian juga  pemanfaatan  hasilnya  jangan  sampai  pada  kegiatan-kegiatan  yang  maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. 

Abdul Halim dalam buku Hukum Perwakafan di Indonesia mengatakan ada beberapa syarat bagi waqif, yaitu : Wakaf harus orang yang merdeka; Baligh; Berakal; Cerdas.

Jalaluddin al-Mahally menambahkan, wakif  bebas berkuasa atas haknya serta dapat menguasai atas benda yang akan diwakafkan, baik itu orang atau badan hukum. Wakif menurut al-Mahally mesti orang yang “shihhatu ibarah dan ahliyatut-tabarru”, wakif harus cakap hukum dalam bertindak. Jadi tidak bisa wakif itu orang yang berada dalam pengampuan, anak kecil dan harus memenuhi syarat umum sebagaimana dalam hal mu’amalah (tabarru’). Wakaf menjadi sah, apabila wakif telah dewasa, sehat pikirannya (akalnya) dan atas kemauannya sendiri, tidak ada unsur keterpaksaan atau unsur lainnya, serta si wakif memiliki benda itu secara utuh. 

Sedangkan dalam KHI Pasal 217 ayat 1 bahwa : Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Dalam Pasal 7 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, bahwa : 

Waqif meliputi : 

a. Perseorangan; 

b. Organisasi; 

c. Badan Hukum. 

Sedangkan dalam Pasal 8 UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, bahwa : 

a. Perseorangan adalah apabila memenuhi persyaratan dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, pemilik sah harta benda wakaf;

b. Organisasi adalah apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran saran organisasi yang bersangkutan; 

c. Badan hukum adalah apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan; 

3. Mauquf ‘alaih ( penerima wakaf) 

Yang dimaksud Mauquf ‘alaih adalah tujuan wakaf (peruntukan wakaf).  Mauquf ‘alaih tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, hal ini sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu bagian dari ibadah.

Dalam hal wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf, maka nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.  

Wakaf harus dimanfaatkan dalam batasan-batasan yang sesuai dan diperbolehkan syariat Islam. Karena pada dasarnya, wakaf merupakan amalan yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhan. Karena itu Mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf) haruslah pihak kebajikan. Para Ulama’ fiqih sepakat berpendapat bahwa infaq kepada pihak kebajikan itulah yang membuat wakaf sebagai ibadah yang mendekatkan diri kepada Tuhan. 

Namun terdapat perbedaan antara para Ulama’ fiqih mengenai jenis ibadat di sini, apakah ibadat menurut keyakinan wakif atau keduanya, yaitu menurut pandangan Islam dan keyakinan wakif. 

a. Madzhab Hanafi mensyaratkan agar Mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf) ditujukan untuk ibadah menurut pandangan Islam dan menurut keyakinan wakif. Jika tidak terwujud salah satunya maka wakaf tidak sah, karena itu: 

1) Sah wakaf orang Islam kepada semua syi’ar-syi’ar Islam dan pihak kebajikan, seperti orang-orang miskin, rumah sakit, tempat penampungan dan sekolah. Adapun wakaf selain syi’ar-syi’ar Islam dan pihak-pihak kebajikan hukumnya tidak sah, seperti klub judi. 

2) Sah wakaf non muslim kepada kebajikan umum seperti tempat ibadat dalam pandangan Islam seperti pembangunan masjid, biaya masjid, bantuan kepada jama’ah haji dan lain-lain. Adapun kepada selain pihak kebajikan umum dan tempat ibadat dalam pandangan agamanya saja seperti pembangunan gereja, biaya pengurusan gereja hukumnya tidak sah. 

b. Madzhab Maliki mensyaratkan agar Mauquf ‘alaih (peruntukan wakaf) untuk ibadat menurut pandangan wakif. Sah wakaf muslim kepada semua syi’ar Islam dan badan-badan sosial umum, dan tidak sah wakaf non muslim kepada masjid dan syari’at-syari’at Islam. 

c. Madzhab Syafi’i dan Hambali mensyaratkan agar Mauquf ‘alaih adalah ibadat menurut pandangan Islam saja, tanpa memandang keyakinan wakif. Karena itu sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial seperti penampungan, tempat peristirahatan, badan kebajikan dalam Islam seperti masjid. Dan tidak sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial yang tidak sejalan dengan Islam seperti gereja. Secara khusus ahli fiqih dari Madzhab Syafi’i (Syafi’iyyah) membagi tempat penyaluran wakaf kepada dua bagian : orang tertentu (baik satu orang atau jamaah tertentu) dan tidak tertentu. 

Dalam Pasal 22 Undang-undang No 41 Tahun 2004, disebutkan: Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda hanya dapat diperuntukkan bagi: 

a. Sarana dan kegiatan ibadah; 

b. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; 

c. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa; 

d. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan. 


D. Penggunaan HAKI sebagai Objek Wakaf

Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau sering juga disebut sebagai Hak Milik Intelektual (HMI), sering juga langsung disebutkan dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), merupakan padanan dasar dari bahasa Inggris Intellectual Property Right (IPR). Secara substansial, pengertian HAKI dapat dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang timbul atau lahir dari kemampuan intelektual manusia.  Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah salah satu harta benda bergerak yang dapat diwakafkan sebagaimana telah tertuang dalam pasal 16 ayat 3 dalam UU. No.41 tahun 2004 tentang Wakaf. 

Seorang pencipta yang tidak mendaftarkan ciptaanya juga mendapatkan perlindungan asalkan dia benar-benar sebagai Pencipta suatu ciptaan tertentu. Pendaftaran bukanlah jaminan mutlak bahwa pendaftar sebagai pencipta yang dilindungi hukum. Undang-Undang Hak Cipta melindungi Pencipta, terlepas dari dia mendaftarkan ciptaannya atau tidak.  Ketika sebuah karya atau ciptaan dari hasil kreatifitas otak manusia telah lahir dan dituangkan dalam sebuah media maka secara langsung di dalam karya tersebut terdapat hak yang dinamakan hak eksklusif. Hak eksklusif yang dimiliki oleh pencipta adalah hak yang hanya diberikan secara khusus bagi pencipta sehingga tidak ada pihak lain yang boleh mengambil manfaat, mengubah, atau mengkomersilkan hasil ciptaan tersebut tanpa izin pemegangnya. 

Di dalam perundang-undangan HAKI, Hak Cipta terdiri dari atas hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat secara ekonomi (royalti) atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun Hak Cipta atau hak terkait telah dialihkan. Oleh karena itu, HAKI juga sudah memenuhi syarat sah al-milk al-tam.

Kepemilikan hak eksklusif seperti yang dijelaskan di atas akan semakin jelas ketika sebuah ciptaan/HAKI didaftarkan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum & HAM. Setelah prosedur pendaftaran telah dilakukan dan dinyatakan lolos/memenuhi syarat maka pencipta akan diberikan sertifikat sebagai tanda bukti pemilik sah hasil ciptaan dari Kementerian Hukum & HAM. Sertifikat inilah yang kemudian diserahkan sebagai dasar diterbitkannya Akta Ikrar Wakaf. Dengan demikian maka HAKI sesuai dengan “dapat diketahui jumlah/jenisnya ketika akad wakaf” karena dalam sertifikat HAKI dituliskan dengan jelas-jenis HAKI sebagai harta yang akan diwakafkan. 

Benda digolongkan sebagai benda bergerak karena sifatnya yang dapat berpindah atau dipindahkan atau karena ketetapan undang-undang. Benda bergerak terbagi dalam benda bergerak yang dapat dihabiskan dan yang tidak dihabiskan karena dikonsumsi. Benda bergerak yang dapat dihabiskan karena pemakaian tidak dapat diwakafkan, kecuali air dan bahan bakar minyak yang persediannya berkelanjutan.

HAKI di dalam PP. No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU. No.41 tahun 2004 tentang Wakaf adalah benda bergerak selain uang dan dapat diwakafkan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.  Ditinjau dalam perundang-undangan yang lain, HAKI seperti hak cipta, paten dan lain-lain masuk dalam kategori benda bergerak sesuai yang tertulis di dalam pasal 511 KUH Perdata. Dari beberapa penjabaran mengenai pasal-pasal tersebut, HAKI termasuk dalam ruang lingkup benda bergerak sehingga dengan eksistensinya tersebut menjadikan HAKI sebagai objek wakaf sesuai dengan “benda tetap atau benda bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan.” 



BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kata “Wakaf” atau “Wacf” berasal dari bahasa Arab “Waqafa”. Asal kata “Wakafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat”. Kata “Wakafa Yaqifu Waqfan” sama artinya dengan “Habasa Yahbisu Tahbisan” artinya mewakafkan.

Tidak ada dalam ayat Al-Qur’an yang secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf. Yang ada hanyalah pemahaman konteks terhadap ayat Al-Qur’an yang dikategorikan sebagai amal kebaikan. Demikian ditemukan petunjuk umum tentang wakaf walaupun secara implisit. Misalnya Firman Allah : Q.S. Ali Imran ayat 92 dan Q.S. Al-Baqarah ayat 261.

Dalam sabda Rasulullahh SAW telah dijelaskan bahwa benda wakaf tidak bisa diperjualbelikan, dihibahkan, atau diwariskan dalam hadits Umar Radhiyallahu 'anhu 

Mauquf bih (harta benda wakaf) dipandang sah apabila merupakan harta bernilai, tahan lama dipergunakan, dan hak milik wakif murni. 

Benda yang diwakafkan dipandang sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : Benda harus memiliki nilai guna; Benda tetap atau benda bergerak; Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui) ketika terjadi akad wakaf; Benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik tetap (al-milk at-tamm) si wakif (orang yang mewakafkan) ketika terjadi akad wakaf.

Waqif (orang yang mewakafkan), pada hakikatnya amalan wakaf adalah tindakan tabbaru’ (mendermakan harta benda), karena itu syarat seorang wakif cakap melakukan tindakan tabarru’. Artinya, sehat akalnya, dalam keadaan sadar, tidak dalam keadaan terpaksa/dipaksa, dan telah mencapai umur baligh. Dan wakif adalah benar-benar pemilik harta yang diwakafkan. Oleh karena itu wakaf orang yang gila, anak-anak, dan orang yang terpaksa/dipaksa, tidak sah.

Mauquf ‘alaih (penerima wakaf) adalah tujuan wakaf (peruntukan wakaf). Mauquf ‘alaih tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, hal ini sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu bagian dari ibadah.

HAKI sesuai dengan “al-milk al-tam”.

HAKI sesuai dengan “dapat diketahui jumlah/jenisnya ketika akad wakaf”.

HAKI termasuk dalam ruang lingkup benda bergerak sehingga dengan eksistensinya tersebut menjadikan HAKI sebagai objek wakaf sesuai dengan “benda tetap atau benda bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan”.

B. Saran

Kami sadar makalah yang kami buat jauh dari kata sempurna, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari bapak dosen, teman-teman, dan  pembaca lain apabila makalah ini terdapat kesalahan, terimakasih.


DAFTAR PUSTAKA

Attoillah, M. Hukum Wakaf. Cetakan Pertama. Bandung: Yrama Widya, 2014.

Aziz Dahlan, Abdul. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Intermasa, 2003.

Az-Zuhaili. Lihat Abū Muhammad Mahmūd Ibn Ahmad al-‘Aeni, Al-Bināyah fi Syarh al-Hidāyah. Libanon: Dār al-Fikri, 1990.

al Mahally, Jalaluddin dan Qalyubi. Dikutip oleh Abdul Halim.

Bakri al-Dimyati, Sayyid. I’anah al-Talibin, juz 3. Dikutip oleh Ahmad Rofiq.  Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI. Fiqih Wakaf. Jakarta: Februari, 2007.

Daud Ali, Mohammad. Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: UI Press, 1988.

Departemen  Pendidikan  Dan  Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

https://www.merdeka.com/quran/ali-imran/ayat-92 (Diakses tanggal 17 September 2021 pukul 21:08)

https://www.merdeka.com/quran/al-baqarah/ayat-261 (Diakses tanggal 17 September 2021 pukul 21:10)

Khosyi’ah, Siah. Wakaf dan Hibah Perspektif Ulama Fiqh dan Perkembangannya di Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.

Kartika Sari, Elsa. Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf. Jakarta: Grasindo, 2007.

Nawawi, Ar-Raudhah, (Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiah), IV, dikutip oleh Direktorat Pemberdayaan Wakaf. Fiqih Wakaf. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006.

Rawas Qal’ah, Muhammad. Mausuah Fiqh ‘Umar ibn al-Khattab. Dikutip oleh Ahmad Rofiq. Beirut: Dar alNafais, 1409H/1989M.

Yahya Zakariyah al-Ansari, Abi. Fath al-Wahhab, juz 1. Dikutip oleh Ahmad Rofiq. Beirut: Dar al-Fikr, t.tth.

Riswandi, Budi Agus dan M. Syamsudin. Hak Kekayaan Intelektual dan Kebudayaan Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005.

Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.

Sutedi, Adrian. Hak Atas Kekayaan Intelektual. Ed. I, Cet. I. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. 

Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal 21.

HS, Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Cet.III. Jakarta: Sinar Grafika, 2003.






Tidak ada komentar:

Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia

 MAKALAH “Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia ” Mata Kuliah: Hukum Perdata Islam di Indonesia B  Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH ...

Diberdayakan oleh Blogger.