Hibah
MAKALAH
Hibah
Mata Kuliah : Hukum Perdata Islam B
Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH
Dibuat Oleh:
Nor Aida Santi (2019110719)
Mariani (2019110708)
PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM KANDANGAN
TAHUN 2021 M / 1442H
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kita panjatkan kepada Allah Swt. Yang telah banyak memberikan beribu-ribu nikmat kepada kita umatnya. Rahmat beserta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita, pemimpin akhir zaman yang membawa kita dari alam kegelapan menuju alam terang benerang yang berlandaskan iman, islam dan ihsan yaitu Nabi Muhammad Saw. dalam makalah ini kami akan membahas tentang “Hibah”. Sebelumnya kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan pengarahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tidak lupa juga kepada bapak dosen dan teman-teman yang lain untuk memberikan sarannya kepada kami agar penyusunan makalah ini lebih baik lahi. Semoga makalah ini bermanfaat untuk penyusun ataupun semua orang yang membaca makalah ini baik.
Kandangan, 19 September 2020
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hibah
B. Hubungan Hibah Dengan Kewarisan
C. Penarikan Hibah
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penghibahan termasuk perjanjian “dengan Cuma-Cuma” (om niet) dimana perkataan “dengan Cuma-Cuma” itu ditujukan pada hanya adanya prestasi dari satu pihak saja, sedang pihak yang lainnya tidak usah memberikan kontra-prestasi sebagai imbalan. Perjanjian yang demikian juga dinamakan “sepihak” (“unilateral”) sebagai lawan dari perjanjian “bertimbal-balik” (“bilateral”).
Perjanjian yang banyak tentunya adalah bertimbal-balik, karena yang lazim adalah bahwa orang yang menyanggupi suatu prestasi karena ia akan menerima suatu kontra-prestasi. Perkataan “diwaktu-hidupnya” si penghibah, adalah untuk membedakan si penghibah itu dari permberian-pemberian yang dilakukan dalam suatu testament (surat wasiat), yang baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku sesudah si pemberi meninggal dan setiap watu selama si pemberi itu masih hidup, dapat dirobah atau ditarik kembali olehnya. Pemberian dalam testament itu dalam B.W. dinamakan “legaat” (“hibah wasiat”) yang diatur dalam Hukum Waris, sedangkan penghibahan ini adalah suatu perjanjian. Karena penghibahan menurut B.W. itu adalah suatu perjanjian, maka sudah dengan sendirinya ia tidak boleh ditarik kembali secara sepihak oleh si penghibah. Dalam hukum adat, yang dimaksud dengan hibah adalah harta kekayaan seseorang yang dibagi-bagikannya diantara anak-anaknya pada waktu ia masih hidup. Penghibahan itu sering terjadi ketika anak-anak mulai berdiri sendiri atau ketika anak-anak mereka mulai menikah dan membentuk keluarga sendiri. Penghibahan itu dilakukan ketika si pemberi hibah itu masih hidup, dengan tujuan untuk menghindari percekcokan yang akan terjadi diantara anak-anaknya itu apabila ia telah meninggal dunia. Penghibahan itu terjadi kemungkinan juga sebagai akibat karena kekhawatiran si pemberi hibah sebab ibu dari anak-anaknya itu adalah ibu sambung atau ibu tiri, atau juga karena dikalangan anak-anaknya itu terdapat anak angkat yang mungkin disangkal keanggotaannya sebagai ahli waris. Selain itu ada juga diantara si pemberi hibah karena sangat sayangnya kepada anak angkat dan kurangnya pemahaman kepada hukum Islam, sehingga ada sebagian orang tua yang menghibahkan seluruh harta kekayaanya kepada anak angkatnya.
Kasus pembatalan hibah merupakan kasus yang sering terjadi dikarenakan pihak penerima hibah tidak memenuhi persyaratan dalam menjalankan hibah yang telah diberikan. Menurut hukum, hibah yang sudah diberikan tidak dapat ditarik kembali, akan tetapi terdapat beberapa pengecualian sehingga hibah dapat ditarik kembali. Mengenai hibah di Indonesia di atur dalam beberapa ketentuan, yaitu di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), Hukum Adat dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerd). Dari ketentuan-ketentuan tersebut, hibah merupakan suatu solusi dalam pembagian warisan kepada keluarganya. Jurnal Ilmu Hukum 19 Berdasarkan uraian tersebut di atas penulis tertarik untuk membahas beberapa masalah hukum yang berkaitan dengan hibah dalam hubungannya dengan kewarisan dan pembatalan hibah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Itu Hibah?
2. Bagaimana Hubungan Hibah dan Kewarisan?
3. Bagaimana penarikan hibah?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui dan Memahami Apa Itu Hibah.
2. Untuk Mengetahui dan Memahami Hubungan Hibah dan Kewarisan.
3. Untuk Memahami dan Mengetahui Bagaimana Penarikan Hibah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hibah
Secara etimologi hibah berasal dari kata "wahaba" yang berarti pemberian. Sedangkan hibah secara terminologi adalah akad yang pokok persoalannya, pemberian harta orang lain di waktu ia masih hidup tanpa imbalan.
Hibah adalah salah satu praktik pemberian cuma-cuma atau perpindahan milik yang terjadi pada masa hidup yang melakukan hibah.
Menurut beberapa madzhab hibah diartikan sebagai berikut:
1. Memberikan hak memiliki suatu benda dengan tanpa ada syarat harus mendapat imbalan ganti pemberian ini dilakukan pada saat si pemberi masih hidup. Dengan syarat benda yang akan diberikan itu adalah sah milik si pemberi (menurut madzhab Hanafi).
2. Memberikan hak sesuatu materi dengan tanpa mengharapkan imbalan atau ganti. Pemberian semata-mata hanya diperuntukkan kepada orang yang diberinya tanpa mengharapkan adanya pahala dari Allah SWT. Hibah menurut madzhab ini sama dengan hadiah. Apabila pemberian itu semata untuk meminta ridha Allah dan megharapkan pahalanya. Menurut madzhab maliki ini dinamakan sedekah.
3. Pemberian hanya sifatnya sunnah yang dilakukan dengan ijab dan qobul pada waktu sipemberi masih hidup. Pemberian mana tidak dimaksudkan untuk menghormati atau memuliakan seseorang dan tidak dimaksudkan untuk mendapat pahala dari Allah karena menutup kebutuhan orang yang diberikannya. (menurut madzhab Syafi'i)
Dalam Bahasa Indonesia, kata “Hibah” berarti pemberian atau menghibahkan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 171 huruf g mendefinisikan hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Sedangkan menurut KUHPerdata dalam pasal 1666 BW hibah adalah Suatu persetujuan dengan mana si penghibah diwaktu hidupnya dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah diantara orang yang masih hidup.
a. Rukun dan Syarat Hibah
Adapun yang menjadi rukun hibah yaitu :
1) Wahib (Pemberi)
Wahib adalah pemberi hibah, yang menghibahkan barang miliknya kepada orang lain sebagai pemberi hibah, seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Ia harus menjadi pemilik sah dari barang yang dihibahkan.
b) Dewasa (baligh).
c) Tidak ada halangan dalam melakukan perbuatan hukum.
d) Tidak ada paksaan dan kekhilafan sehingga tidak ada cacat kehendak.
2) Mauhub lah (Penerima)
Penerima hibah adalah seluruh manusia dalam arti orang yang menerima hibah.
3) Mauhub
Mauhub adalah barang yang di hibahkan. Benda yang dihibahkan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a) Ada barangnya.
b) Benda harus mempunyai nilai.
c) Benda tersebut dapat dimiliki zatnya.
d) Bendanya harus dapat diserahkan.
Benda yang dihibahkan tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah dari orang tua kepada turunannya dengan syarat benda yang telah dihibahkan tetap dalam kekuasaan pihak yang diberi hibah.
4) Shighat (Ijab dan Qabul)
Shighat hibbah adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan ijab dan qabul.
B. Hubungan Hibah Dengan Kewarisan
Di dalam Kompilasi Hukum Islam, disebutkan hubungan hibah dengan waris terdapat dalam Pasal 211, yaitu :
“Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.”
Dengan demikian, bahwa ketentuan Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam tentang hibah orang tua kepada anaknya, dapat diperhitungkan sebagai warisan. Hibah tersebut merupakan adat kebiasaan yang telah mengakar dan telah diterima oleh masyarakat Indonesia., adat istiadat semacam ini menurut kaidah-kaidah Hukum Islam disebut urf. Yang dimaksud dengan urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, yang telah menjadi kebiasaan atau tradisi, baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu. Urf disebut juga dengan adat (kebiasaan).
Hubungan hibah dan waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Inbreng merupakan suatu istilah dalam Hukum Perdata yang berasal dari Bahasa Belanda, yang artinya hibah yang wajib diperhitungkan.110 Definisi arti inbreng adalah memperhitungkan pemberian barang-barang atau benda-benda yang dilakukan oleh si peninggal warisan pada waktu ia masih hidup kepada para ahli warisnya. Hal tersebut di atas, oleh Burgerlijk Wetboek dalam Pasal 1086 sampai dengan Pasal 1099. Kitab Undang-undang Hukum Perdata sendiri tidak merumuskan tentang apa yang dimaksud dengan inbreng, tetapi dalam ciri-ciri yang ada dalam ketentuannya dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan inbreng adalah memperhitungkan kembali hibah-hibah yang diberikan oleh pewaris kepada ahli warisnya, ke dalam warisan, agar pembagian waris di antara para ahli waris menjadi lebih merata.
Jadi, yang terkena peraturan inbreng itu adalah para ahli warisnya, yaitu mereka yang pada saat terjadinya pembagian harta warisan nanti harus memperhitungkan atau mengembalikan semua harta yang pernah di terima dari si peninggal pada waktu masih hidupnya ke dalam hitungan harta asal (boedel) untuk dibagi bersama-sama dengan ahli waris yang lain. Masalah inbreng tersebut, dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata diatur dalam Buku Kedua Bab XVII bagian Kedua dengan judul “Tentang Pemasukan” yang meliputi dari Pasal 1086 sampai dengan Pasal 1099. Adapun fungsi inbreng yaitu untuk menjamin tercapainya keadilan atau kesamaan di antara anak-anak dalam menerima bagian dari segala pemindahan harta kekayaan orang tuanya, baik pemindahan sewaktu hidup yaitu hibah atau pemindahan setelah mati dengan cara pembagian warisan, terutama yang berkaitan dengan legitimie portie (bagian mutlak) yaitu bagian yang harus di terima, sehingga setiap anak mendapatkan bagiannya masing-masing. Bahwa, dasar pemikiran dari peraturan tentang inbreng, yaitu bahwa si meninggal, kecuali jika sebaliknya, harus di anggap memegang keadilan terhadap anak-anak atau cucu-cucu nya. Yang dimaksud dengan keadilan di sini adalah yang berkenaan dengan pembagian harta kekayaan, yaitu pembagian secara sama rata, tidak di bedakan antara anak laki-laki dan perempuan, karena mungkin orang tua pada waktu masih hidup memberikan hibah yang tidak sama antara yang satu dengan anak yang lain, maka di buatlah suatu sistem atau cara dengan memberikan barang-barang yang pernah di hibahkan ke dalam harta asla (harta peninggalan) yang kemudian akan dibagi sama rata, sehingga aka terwujud keadilan atau kesamaan dalam menerima bagian warisan. Apabila hibah sewaktu hidup itu tidak di kembalikan maka bagian yang seharusnya di terima oleh anak yang tidak diberi hibah akan berkurang. Sedangkan untuk anak yang pernah menerima hibah bagiaannya, menjadi berlebihan dari bagian yang semestinya diterimanya. Dengan demikian, maka semua anak akan terjamin hak legitimie portie-nya (bagian yang harus diterima), walaupun anak itu tidak mendapatkan hibah atau telah mendapatkan hibah tetapi nilainya kecil bila di bandingakan dengan yang lain.
C. Penarikan Hibah
Ketentuan tentang larangan menarik hibah dapat kita lihat di dalam pasal 212 KHI Sebagai berikut: “Hibah tidak dapat di tarik kembali Kecuali hibah seorang ayah kepada anaknya." Berdasarkan bunyi pasal 212 KHI di atas, dapat di pahami bahwa hibah yang telah diberikan tidak boleh di tarik kembali. Hibah atau pemberian yang boleh di tarik kembali hanya hibah orang tua kepada anaknya.”
Dengan demikian, orang tua dapat menarik kembali hibah yang diberikan kepada anaknya, berdasarkan riwayat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. : "Tidak halal seseorang menarik kembali pemberiaannya, kecuali pemberian ayah kepada anaknya, jika ayah menghibahkan sesuatu kepada cucunya sampai garis kebawah boleh ditarik kembali. Alasan diperbolehkannya mencabut pemberian kepada anaknya dikarenakan ia berhak menjaga kemaslahatan anaknya.
Dalam KUHPerdata khusus pasal 1688 di terangkan bahwa hibah yang telah di berikan oleh si pemberi Hibah dengan penerima Hibah dapat di tarik kembali dalam keadaan tertentu. Adapun bunyi pasal 1688 KUH Perdata tersebut dapat di lihat sebagai berikut: “Suatu Hibah tidak dapat di tarik kembali maupun di hapuskan karenanya, melainkan dalam hal-hal yang berikut:
1. Karena tidak di penuhinya syarat-syarat dengan mana penghibah telah di lakukan.
2. Jika si penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang mengambil jiwa si penghibah, atau kejahatan lain terhadap si penghibah.
3. Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah setelahnya orang ini jatuh dalam kemiskinan.”
Penghapusan hibah dilakukan dengan menyatakan kehendaknya kepada si penerima hibah disertai penuntutan kembali barang-barang yang telah dihibahkan dan apabila itu tidak dipenuhi secara sukarela, maka penuntutan kembali barang-barang itu diajukan kepada pihak pengadilan.
Tentang penarikan kembali hibah, jika si pemberi hibah sudah menyerahkan barangnya, dan ia menuntut kembali barang tersebut, maka si penerima hibah diwajibkan mengembalikan barang yang dihibahkan tersebut dengan hasil-hasilnya terhitung mulai diajukannya gugatan, atau jika barang yang sudah dijualnya, mengembalikan harganya pada waktu dimasukkannya gugatan, dan disertai hasil-hasil sejak saat itu. Selain itu, si penerima hibah diwajibkan memberikan ganti rugi kepada si pemberi hibah, untuk hipotik-hipotik dan beban-beban lainnya yang telah diletakkan olehnya di atas benda-benda tak bergerak, juga sebelum gugatan dimasukkan.
Pencabutan dan pembatalan hibah ini, hanya dapat dimintakan oleh penghibah dengan jalan menuntut pembatalan hibah yang diajukan ke pengadilan negeri, supaya hibah yang telah diberikan itu dibatalkan dan dikembalikan kepadanya. Tuntutan hukum tersebut, gugat dengan lewat waktu 1 (satu) tahun, terhitung mulai dari hari terjadinya peristiwa yang menjadi alasan tuntutan, dimana hal unu dapat diketahui oleh penghibah, tuntutan tersebut tidak dapat diajukan oleh penghibah terhadap ahli waris penerima hibah atau ahli waris benda yang dihibahkan itu adalah miliknya sendiri. Jika sebelumnya tuntutan ini sudah diajukan oleh penghibah atau jika penghibah itu telah meninggal dunia dalam waktu 1 (satu) tahun setelah terjadinya peristiwa yang ditiadakan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hibah adalah salah satu praktik pemberian sesuatu benda ataupun materi tanpa syarat dan bisa jua disebut perpindahan kepemilikan yang terjadi pada masa hidup yang melakukan hibah. Hibah berhubungan juga dengan waris karena hibah yang diberikan orang tua nya saat masih hidup bisa diperhitungkan menjadi waris saat orang tuanya meninggal. Penarikan hibah hanya bisa dilakukan dengan pengajuan ke pengadilan agama.
B. Saran
Makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami berharap pembaca, terutama Bapak Dosen dapat memberikan kritik dan sara konstruktif kepada kami untuk perbaikan makalah agar ke depannya lebih baik lagi dan lebih banyak lagi pembacanya.
DAFTAR PUSTAKA
Shomad, Abd. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana. 2017
Ramulyo, Idris. Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW)
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. cet, ke-1. Jakarta: Akademika Pressindo. 1992
Subekti. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Paramita. 1979
Abdul Ghofur, Anshori. Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia( Konsep, Regulasi, Dan Implementasi). Yogyakarta: Gadja Mada University Press. 2010
Andi Tahir, Hamid. Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama Dan Bidangnya. Jakarta: Sinar Grafika. 2005
Wahab Khallaf, Abdullah. Ilm Usul Al-Fiqh, Mesir. Dar Al-Ilm. 1978Wiryono Prodjodikoro. Hukum Waris di Indonesia. Banding Sumur: 1980
Satrio. Hukum Waris. Bandung: Alumni. 1992
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa. 1989
Karya, Duta. Kompilasi Hukum Islam. medan: Duta Karya. cet III.1996
Arfan, Abbas. Kaidah-Kaidah Fiqih Muamalah Dan Aplikasinya Dalam Ekonomi Islam & Perbankan Syariah, Buku Daras. Malang: Fakultas Syariah UIN Malang. 2012
Tidak ada komentar: