Alad Nikah: Pengertian, Shigat, Syarat dan Pelaksanaannya

 Akad Nikah: Pengertian, Shigat, Syarat, dan Pelaksanaannya

Mata Kuliah: Fikih Munakahat A

Dosen Pengampu: Noor Efendy, SHI, MH


 


Disusun oleh:

Kelompok 5

Norlatifah (2019110721)

Saidah (2019110736) 

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

DARUL ULUM KANDANGAN

1441 H/2020 M

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Pandangan Islam, manusia diciptakan oleh Allah lengkap dengan pasangannya. Dengan demikian mereka mempunyai daya tarik kepada lawan jenis, dan untuk merealisasikannya adalah melalui hubungan pernikahan. Pernikahan dalam pandangan islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasul dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum.

Tujuan pernikahan bukan saja untuk menyalurkan kebutuhan biologis, tetapi juga untuk menyambung keturunandalam naungan rumah tangga. Firman Allah swt dalam surat Ar-Rum ayat 21 “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir”.

Dalam setiap pelaksanaan perkawinan pasti ada suatu syarat ataupun rukun nikah yang harus dilaksanakan. Rukun yang pokok dalam perkawinan, ridhanya laki-laki danperempuan dan persetujuan mereka untuk mengikat hidup berkeluarga. Adapun waktu, hari, bulan, dan tahun semua baik dalam pandangan Islam. Kemudian para ahli fiqh menyatakan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah adanya akad nikah. 

Dalam sebuah makalah mata kuliah Fikih Munakahat yang berjudul “Akad Nikah: Pengertian, Shigat, Syarat-syarat akad nikah dan pelaksaannya” kami akan menjelaskan dan menjabarkan tentang pengertian akad nikah, shigat, syarat dan pelaksanaan akad nikah.


B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Akad Nikah?

2. Apa yang dimaksud Shigat?

3. Apa saja syarat-syarat Akad Nikah?

4. Bagaimana pelaksanaan Akad Nikah?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu Akad Nikah.

2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Shigat.

3. Untuk mengetahui syarat-syarat Akad Nikah.

4. Untuk mengetahui pelaksanaan Akad Nikah.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Akad Nikah

1. Pengertian Akad Nikah

Secara etimologi, akad (al-‘aqdu) berarti perikatan, perjanjian, dan pemufakatan (al-ittifaq). Dikatakan ikatan karena memiliki maksud menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali yang satu.

Pengertian akad, secara terminologi yang dalam hal ini dikemukakan oleh ulama fiqih, ditinjau dari dua segi yaitu:

a. Pengertian umum

Pengertian akad dalam arti umum dikemukakan oleh ulama Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah yaitu:

كل ماعزم المرء على فعله سواءٌ صدر بإرادةٍ منفردةٍ كالوقف والإبرء والطلاق واليمين أم إحتاج إلى إرادتين في إنشائه كالبيع والإيجار والتوكيل والرهن. 

Artinya: Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai.

b. Pengertian khusus

Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan oleh ulama fiqh yaitu:

إرتباط إيجابٍ بقبولٍ على وجهٍ مشروعٍ يثبت أثره في محله. 

Artinya: perikatan yang ditetapkan dengan ijab kabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya. 

Akad nikah berasal dari kata-kata ‘aqad nikah yang berasal lagi dari sebutan Al-qur’an ‘aqdu al-nikaah dibaca ‘aqdun-nikaah, tetapi memang telah biasa disebut dalam kata sehari-hari di Indonesia dengan sebutan akad nikah. Akad artinya ikatan, nikah artinya perkawinan. Akad nikah berarti perjanjian mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki. 

2. Konsep Akad nikah menurut ulama empat mazhab

a. Mazhab hanafi

Mazhab Hanafi berpendapat, akad nikah boleh dilakukan dengan segala redaksi yang menunjukkan maksud menikah, meski dengan lafal at-tamlik (kepemilikan), al-hibah (penyerahan), al-bay’ (penjualan), al-a’tha’ (pemberian), al-ibahah (pembolehan) dan al-ihlal (penghalalan), sepanjang akad tersebut disertai dengan qarinah (kaitan) yang menunjukkan arti nikah. Akan tetapi akad tidak sah jika dilakukan dengan lafal al-ijarah (sewa) atau al-‘ariyah (pinjaman), sebab kedua kata tersebut tidak memberi arti kelestarian atau kontinuitas.

b. Mazhab Maliki dan Hambali

Berpendapat akad nikah dianggap sah jika menggunakan lafal an-nikah dan az-zawaj serta lafal-lafal bentukannya. Juga dianggap sah dengan lafal-lafal al-hibah, dengan syarat harus disertai penyebutan mahar atau mas kawin, selain kata-kata tersebut diatas tidak di anggap sah.

c. Mazhab Syafi’i

Berpendapat bahwa redaksi akad harus merupakan kata bentukan dari lafal at-tazwij dan an-nikah saja, selain itu tidak sah. 

3. Akad Nikah dalam kompilasi hukum Islam

Pengertian akad nikah yang disebutkan dalam pasal 1 hurup c ialah: rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi. Selanjutnya tentang pelaksanaan akad nikah diatur secara khusus dalam pasal 27, 28 dan 29.

4. Dasar Hukum Akad Nikah

Dalam suatu pernikahan, akad nikah merupakan sesuatu yang wajib adanya. Karena ia adalah salah satu rukun dalam pernikahan. Dasar hukum wajibnya akad nikah dalam suatu pernikahan yaitu firman Allah SWT:

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثاَقًا غَلِيظً 

Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercsmpur) dengan yang lain sebagi suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (Q.S An-Nisaa : 21).

Ayat diatas menunjukkan bahwa harus adanya suatu perjanjian yang dilakukan dalam suatu pernikahan sebagai suatu ikatan dalam perkawinan antara mempelai pria dan wanita. Perjanjian inilah yang disebut sebagai akad nikah. 

Selain ayat diatas, ada juga potongan hadits Nabi Saw ketika beliau berkhutbah yang berbunyi: 

اتَّقُوا اللّٰهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانَةِ اللّٰهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللّٰهِ 

Artinya: Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kalian mengambil (menikahi) mereka dengan kepercayaan Allah, dan kalian halalkan kehormatan mereka denga kalimat Allah (Hadits Riwayat Muslim). 

Kutipan khutbah Nabi diatas menunjukkan adanya suatu kalimat yang diucapkan, ketika melangsungkan sebuah pernikahan. Ucapan tersebut adalah akad nikah yang dilakukan mempelai pria dan wali dari pihak mempelai wanita. 

B. Shigat

Shigat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad dan menunjukkan atas apa yang dihati keduanya tentang terjadinya suatu akad. 

Shigat yaitu adanya aqad. Yang menjadi syarat-syarat dalam shigat adalah:

1. Adanya ijab dari pihak wali perempuan.

2. Adanya qabul dari pihak calon pengantin laki-laki.

3. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.

4. Antara ucapan ijab dan qabul bersambung, tidak diselingi dengan kata-kata lain.

5. Pada waktu mengucapkan sighat nikah, harus memakai kata-kata nikah atau tazwij atau terjemahnya.

Rasulullah SAW. pernah bersabda:

إِتَّقُوْاللّٰهَ فِى النِّسَآءِفَإِنَّكُمْ أَخَدْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانَةِ اللّٰهِ وَاشْتَحْلَلْتُمْ فُرُجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللّٰهِ (رواه مسلم) 

Artinya:

“Takwalah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kamu sekalian mengambil mereka dengan amanat (kepercayaan) Allah dan kamu menghalalkan mereka dengan kalimat Allah”. 


 

Metode shigat dalam akad dapat diungkapkan dengan beberapa cara, diantaranya:

1. Akad dengan lafad 

a. Isi lafad

Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa shigat akad dalam pernikahan boleh dengan lafad apa saja. Seperti menikahkan, menjadikan dan lain-lain. Serta diikuti dalam hati maksudnya adalah pernikahan.

Sedangkan di pihak yang lain, ulama Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa shigat akad dalam pernikahan tidak akan sah kecuali dengan menggunakan lafad inkah dan tazwij atau lafad yang semakna dengan itu.

b. Lafad shigat dan kata kerja dalam shigat

Para ulama sepakat bahwasanya fi’il madhi boleh digunakan dalam akad karena merupakan kata kerja yang paling mendekati maksud akad. Merekapun sepakat membolehkan penggunaan fi’il mudhari, tentu saja dengan diiringi niat bahwa akad tersebut dilakukan seketika itu.

2. Akad dengan perbuatan

Dalam menetapkan hal ini, para ulama berbeda pendapat yaitu:

a. Ulama Hanabillah dan Hanafiyyah

Diperbolehkan akad dengan perbuatan terhadap barang yang sudah umum diketahui manusia. Jika tidak umum, maka akad ini dianggap batal. 

b. Imam Maliki dan Imam Ahmad

Berpendapat boleh tetapi dengan syarat harus jelas adanya kerelaan. Baik barang itu secara umum atau tidak, pengecualian dalam hal pernikahan. 


c. Ulama Syafi’iyyah, Syi’ah dan Dhahiriyyah

Berpendapat bahwa akad tersebut tidak dibenarkan karena tidak ada petunjuk yang kuat akan hal itu. Adapun kerelaan merupakan sesuatu yang samar.

3. Akad dengan isyarat

Bagi orang yang mampu berbicara, tidak diperbolehkan menggunakan isyarat. Bagi yang tidak bisa berbicara boleh menggunakan isyarat. Tetapi jika tulisannya bagus, maka lebih baik menggunakan tulisan. Hal ini dibolehkan jika dia memang cacat sejak lahir. Kalau tidak sejak lahir, maka dia harus berusaha untuk tidak menggunakan isyarat.

4. Akad dengan tulisan

Dibolehkan akad menggunakan tulisan, baik bagi orang yang mampu berbicara maupun tidak, dengan syarat tulisan harus jelas, tampak dan dapat dipahami oleh keduanya.

Namun jika kedua orang yang akad hadir dan bisa berbicara, maka tidak boleh menggunakan tulisan. Karena saksi harus mendengarkan perkataan orang yang akad. Inilah pendapat ulama hanafiyyah.

Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad dengan menggunakan tulisan itu sah jika kedua orang yang akad tdak hadir. Jika hadir, maka akad menggunakan tulisan tidak sah. Sebab tulisan tidak dibutuhkan. 

C. Syarat-syarat Akad Nikah

Sahnya suatu perkawinan dalam hukum Islam adalah dengan terlaksananya akad nikah yang memenuhi syarat-syarat dan rukunnya.

Syarat-syarat akad nikah yaitu:

1. Ijab Kabul 

Ada perbedaan pendapat sekitar ijab dan kabul antara jumhur ulama fiqih disatu pihak dengan ulama hanafiyah dipihak lain. Menurut jumhur, ijab adalah shigat yang bersumber dari wali atau yang mewakili untuk menikahkan mempelai wanita (calon isteri). Sedangkan Kabul adalah jawaban dari calon suami yang menunjukkan kerelaan memikahi. Sementara menurut ulama Hanafiyah, ijab adalah shigat pertama dari dua orang yang akan melakukan shigat akad perkawinan sedangkan Kabul adalah jawaban tehadap shigat pertama tadi. 

Pada dasarnya ijab dan kabul dapat dikatakan sah apabila:

a. Diucapkan oleh orang yang sudah cakap bertundak hukum

b. Diucapkan dalam satu majelis atau tidak diselingi oleh pembicaraan atau tindakan lain

c. Antara ijab dan Kabul harus satu pengertian

d. Yang mengucapkan ijab tidak meninggalkan tempat sebelum ada ucapan Kabul

e. Kedua belah pihak saling mendengar dan memahami satu sama lain

f. Pengucapannya harus final tanpa dikaitkan dengan syarat lain yang bisa mempengaruhi akad. 

2. Wali

Ulama berselisih pendapat apakah wali menjadi syarat sahnya nikah atau tidak. Berdasarkan pendapat asybab, imam Malik dan imam Syafi’I serta imam Ahmad berpendapat bahwa tidak ada nikah tanpa 

wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah. Oleh sebab itu, seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.

Dalil yang menunjang adalah firman Allah:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ... 

Artinya: Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.

Abu Hanifah, Zufar, Asy-Sya’bi dan Azzuhri berpendapat bahwa apabila seorang perempuan melakukan akad nikahnya dirinya sendiri tanpa wali, sedang calon suaminya sebanding (kafa’ah) maka nikahnya boleh.

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ... 

Artinya: Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.

Imam Dawud Ad-Dhahiri memisahkan antara gadis dan janda. Dia mensyaratkan adanya wali bagi gadis dan tidak mensyaratkan bagi janda karena sudah bisa memilih pasangan.

Pendapat Imam Malik dari riwayat Ibn Al-Qosim menyimpulkan bahwa persyaratan wali itu sunnah hukumnya, dan bahkan fardu ain. Hal ini dikarenakan adanya hubungan waris mewaris yang terjadi antara suami dan istri tanpa menggunakan wali. 

3. Dua orang saksi

Kesaksian untuk suatu perkawinan hendaklah diberikan oleh dua orang laki-laki dewasa dan adil dan dapat dipercaya. 

Ahli hukum perkawinan hukum Islam sepakat atas pentingnya kedudukan dua orang saksi ini. Perkawinan yang tidak memakai dua orang saksi menurut umumnya pendapat dikalangan Islam adalah tidak sah. Adapun syarat-syarat kedua saksi adalah:

a. Islam

b. Dewasa 

c. Laki-laki yang adil yang dapat terlihat dari perbuatannya sehari-hari.

4. Mahar atau sadaq

Mahar atau sadaq dalam hukum perkawinan dalam Islam merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh seseorang pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. Hukum pemberian mahar adalah wajib. Dan benda atau uang pemberian itu adalah menjadi milik perempuan itu. Allah berfiman dalam Q.S An-Nisaa ayat 4

وَاٰتُوا النِّسَآءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْٓئًا مَّرِيْٓئًا 

Artinya: Dan berikanlah mas kawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mas kawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati. 

D. Pelaksanaan Akad Nikah

Susunan acara pelaksanaan akad nikah:

1. Pembukaan

2. Pembacaan ayat suci Al-Qur’an

3. Pengumuman hasil pemeriksaan atau penasehatan

4. Khutbah Nikah 

5. Pembacaan istighfar dan syahadatain secara bersama-sama dipimpin oleh PPN/penghulu/pembantu PPN atau wali yang akan bertindak melakukan ijab

6. Ijab Kabul

7. Do’a

Pelaksanaan akad nikah baik yang dilaksanakan di balai Nikah ataupun di luar balai nikah maka penandatanganan surat-surat yang diperlukan oleh suami, istri, wali, dua orang saksi dan PPN/penghulu dibubuhkan pada buku akta nikah. 


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Akad nikah berarti perjanjian mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki. Akad nikah akan sah apabila memenuhi syarat-syaratnya. Adapun syarat-syarat dari akad nikah yaitu: Ijab Kabul, dua orang saksi, wali, dan mahar. Dasar hukum akad di atur dalam Q.S An-Nisaa : 21.

Shigat dalam akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad dan menunjukkan atas apa yang dihati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Metode shigat dalam akad dapat diungkapkan dengan beberapa cara, diantaranya: akad dengan lafad, akad dengan perbuatan, akad dengan tulisan, dan akad dengan isyarat.

Pelaksanaan akad dilakukan dengan beberapa susunan acara, yaitu: Pembukaan, Pembacaan ayat suci Al-Qur’an, Pengumuman hasil pemeriksaan atau penasehatan, Khutbah Nikah, Pembacaan istighfar dan syahadatain, Ijab Kabul dan yang terakhir doa.


DAFTAR PUSTAKA

Labib dan Muflihah. Fiqih Wanita Muslimah. Surabaya: CV Cahaya Agency Surabaya. T.t.h

Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. 2009

Nasution, Khoiruddin. Hukum perkawinan 1. Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA. 2004

Yaswirman. HUKUM KELUARGA: Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2013

https://www.academia.edu/16956878/Akad_Nikah_Pengertian_Shighat_dan_Syarat_syarat (Diakses Tanggal 17 September 2020, Pukul 11.45)

http://eprints.walisongo.ac.id/6720/3/BAB%20II.pdf (Diakses tanggal 17 september 2020, Pukul 11.56)

http://jatim.kemenag.go.id/file/file/panduanNikah/yxhg1425281391.pdf (Diakses tanggal 22 September 2020, Pukul 15.55)


Tidak ada komentar:

Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia

 MAKALAH “Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia ” Mata Kuliah: Hukum Perdata Islam di Indonesia B  Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH ...

Diberdayakan oleh Blogger.