Walimatul 'Ursy
MAKALAH
WALIMATUL ‘URSY
Mata Kuliah: Fikih Munakahat A
Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH
Disusun Oleh:
HAFADAH (2019110705)
MAHFUZAH (2019110737)
PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM KANDANGAN
1442H/2020M
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT. karena atas limpahan dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah sederhana ini meskipun sangat jauh dari kata sempurna. Shalawat serta salam tak lupa pula kami haturkan keharibaan junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta para pengikut-pengikut beliau sampai akhir zaman.
Tujuan dalam pembuatan makalah ini antara lain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fikih Munakahat A. Selain itu juga untuk menambahkan wawasan pembaca sekalian tentang Walimatul ‘Ursy.
Makalah ini memang jauh dari kata kesempurnaan, baik dalam isi, susunan, maupun penyajiannya. Untuk itu segala kritik dan saran dari Ibu/Bapa Dosen dan teman-teman semuanya agar bisa mengambil pelajaran dari makalah ini. Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan khususnya bagi para mahasiswa sekalian.
Kandangan, 16 September 2020
KELOMPOK 8
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Walimatul ‘Ursy
B. Kedudukan Hukum Walimatul ‘Ursy
C. Hikmah Walimatul ‘Ursy
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dikalangan masyarakat itu terdiri dari keluarga yang meliputi Bapak, Ibu, dan anak-anaknya. Terbentuknya sebuah keluarga diawali dari pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Nah dalam melaksanakan acara pernikahan itu biasanya dirayakan dengan acara yang berbagai macam jenis tergantung keinginan sang penganten dan adat istiadat setempat.
Acara yang dilaksanakan tersebut dalam Ilmu Fiqih disebut dengan “Walimatul ‘Ursy” dalam kehidupan kemasyarakatan banyak berbagai ragam suku dan kebiasaan yang dianut. Salah satunya acara pernikahan yang merupakan acara sakral pun berbeda-beda bentuk dan kebiasaannya. Namun yang sering kita temui dikalangan masyarakat kita menemui walimah dilaksanakan dengan bentuk yang mewah atau besar-besaran. Walaupun kadang-kadang tidak sesuai dengan keadaan ekonomi keluarga pada saat itu. Agar masyarakat tidak salah dalam penafsiran walimah ini, dan agar masyarakat lebih memahami dan mendalami tentang walimah.
Islam telah mensyari’atkan kepada kita semua untuk mengumumkan sebuah pernikahan. Hal itu bertujuan untuk membedakan dengan pernikahan rahasia yang dilarang keberadaannya oleh Islam. Selain itu, pengumuman tersebut juga bertujuan untuk menampakkan kebahagiaan terhadaap sesuatu yang dihalalkan oleh Allah SWT. kepada seorang mukmin, sebab dalam pernikahan dorongan nafsu birahi menjadi halal hukumnya. Dan dalam ikatan itu juga, akan tertepis semua prasangka negatif dari pihak lain. Tidak akan ada yang curiga, seorang laki-laki berjalan berduaan dengan seorang wanita.
Hal yang mungkin terjadi jika tidak diikat dengan tali pernikahan adalah bisa menyebarkan fitnah yang sangat besar. Itulah sebabnya Allah SWT. memerintahkan kepada umat Islam untuk menyiarkan akad nikah atau mengadakan suatu walimah, Agama Islam menganjurkan agar setelah melangsungkan akad nikah kedua mempelai mengadakan upacara yang ditunjukkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT. dan kebahagiaan kedua mempelai atas nikmat perkawinan yang mereka jalani ini. Upacara tersebut dalam Islam dikonsepsikan sebagai walimah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Walimatul ‘Ursy ?
2. Bagaimana Kedudukan Hukum Walimatul ‘Ursy ?
3. Apa Hikmah Walimatul ‘Ursy ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Walimatul ‘Ursy.
2. Untuk mengetahui Kedudukan Hukum Walimatul ‘Ursy.
3. Untuk mengetahui Hikmah Walimatul ‘Ursy.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Walimatul ‘Ursy
Walimah (١ﻠﻭﻠﻴﻤﺔ) artinya al-jam’u. kumpul, sebab suami dan istri berkupul. Walimah (١ﻠﻭﻠﻴﻤﺔ) berasal dari bahasa arab ١ﻠﻭﻠﻴﻡ artinya makanan pengantin. Maksudnya adalah makanan yang disediakan khusus dalam acara pesta perkawinan. Bisa juga diartikan sebagai makanan untuk tamu undangan atau lainnya.
Walimah (١ﻠﻭﻠﻴﻤﺔ) artinya al-jam’u. kumpul, sebab suami dan istri berkupul. Walimah (١ﻠﻭﻠﻴﻤﺔ) berasal dari bahasa arab ١ﻠﻭﻠﻴﻡ artinya makanan pengantin. Maksudnya adalah makanan yang disediakan khusus dalam acara pesta perkawinan. Bisa juga diartikan sebagai makanan untuk tamu undangan atau lainnya.
Adapun yang dimaksud walimah itu adalah makanan yang disediakan dalam pesta (hajat atau kenduri) atau makanan yang disediakan untuk para undangan. Dalam pengertian masyarakat kita, walimah tidak terletak pada hidangannya, tetapi pada keramaiannya walaupun tentunya tidak terlepas dari hidangan.
Sedangkan walimah dalam liberatur arab, secara arti kata berarti jamuan yang khusus untuk perkawinan dan tidak digunakan untuk perhelatan diluar perkawinan. Berdasarkan pendapat ahli bahasa diatas untuk selain diluar perkawinan tidak digunakan kata walimah meskipun juga menghidangkan makanan.
Walimah makna asalnya adalah “makanan dalam pernikahan dalam pernikahan”. Menurut bahasa, walimah mengandung arti “Pesta”, “Kenduri” atau “resepsi”. Walimatul nikah adalah pesta yang diselenggarakan setelah dilaksanakannya akad nikah dengan menghidangkan berbagai jamuan yang biasanya disesuaikan dengan adat setempat. Walimah adalah sebagai rasa syukur kepada Allah SWT. atas anugerah nikmat yang diberikannya kepada keluarga yang melangsungkan pernikahan. Walimah juga sekaligus sebagai pernyataan pemberitahuan kepada kerabat, sanak famili, dan handai tolan bahwa kedua mempelai telah resmi menjadi suami istri. Sehingga dengan demikian akan terhindar dari adanya fitnah yang mungkin timbul karena ketidaktahuan, karena tidak adanya walimah.
Sehubungan dengan walimah, adat kebiasaan masing-masing daerah dapat dipertahankan bahkan dilestarikan sepanjang tidak menyalahi prinsip ajaran Islam. Dan apabila adat kebiasaan yang berhubungan dengan walimah tersebut bertentangan dengan syariat Islam, setuju atau tidak, harus ditinggalkan. Resepsi pernikahan tidak mesti mewah cukup dengan mengundang tetangga, kawan, dan kerabat, untuk makan bersama, sekalipun tidak memakai daging, atau lainnya. Sebab bila tidak di undang akan menyakiti hati mereka.
Sedangkan definisi yang terkenal dikalangan ulama walimatul ‘ursy diartikan dengan perhelatan dalam rangka mensyukuri nikmat Allah SWT. atas telah terlaksananyya akad perkawinan dengan menghidangkan makanan.
B. Kedudukan Hukum Walimatul ‘Ursy
Jumhur Ulama sepakat bahwa mengadakan walimah itu hukumnya sunnah muakkad. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah SAW.
عَنْ اَنَسٍ قَالَ: مَا اَوْلَمَ النَّبِيُّ ص عَلَى شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا اَوْلَمَ عَلَى زَيْنَبَ، اَوْلَمَ بِشَاةٍ. احمد و البخارى و مسلم
Artinya: Dari Anas, ia berkata, “ Nabi SAW. tidak pernah mengadakan walimah atas (pernikahan) dengan istri-istrinya sebagaimana walimah atas (pernikahan) dengan zainab, beliau menyelenggarakan walimah dengan (menyembelih) seekor kambing”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim].
.
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص رَأَى عَلَى عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ عَوْفٍ اَثَرَ صُفْرَةٍ فَقَالَ: مَا هذَا؟ قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنّى تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ. قَالَ: فَبَارَكَ اللهُ لَكَ. اَوْلِمْ وَ لَوْ بِشَاةٍ. مسلم
Artinya: Dari Anas bin Malik, bahwasanya Nabi SAW. melihat ada bekas kuning-kuning pada ‘Abdur Rahman bin ‘Auf. Maka beliau bertanya, “Apa ini ?”. Ia menjawab, “Ya Rasulullah, saya baru saja menikahi wanita dengan mahar seberat biji dari emas”. Maka beliau bersabda, “Semoga Allah memberkahimu. Selenggarakan walimah meskipun (hanya) dengan (menyembelih) seekor kambing” [HR.Muslim].
عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ اَنَّهَا قَالَتْ: اَوْلَمَ النَّبِيُّ ص عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيْرٍ. البخارى
Artinya: Dari Shafiyah binti Syaibah, bahwa ia berkata, “Nabi SAW. mengadakan walimaah atas (pernikahannya) dengan sebagian istrinya dengan dua mud gandum”.
و فى رواية اَنَّ النَّبِيَّ ص اَقَامَ بَيْنَ خَيْبَرَ وَ اْلمَدِيْنَةَ ثَلاَثَ لَيَالٍ يَبْنِى بِصَفِيَّةَ فَدَعَوْتُ اْلمُسْلِمِيْنَ اِلَى وَلِيْمَتِهِ مَا كَانَ فِيْهَا مِنْ خُبْزٍ وَ لاَ لَحْمٍ وَ مَا كَانَ فِيْهَا اِلاَّ اَنْ اَمَرَ بِاْلاَنْطَاعِ فَبُسِطَتْ فَاَلْقَى عَلَيْهَا التَّمْرَ وَ اْلاَقِطَ وَ السَّمْنَ. فَقَالَ اْلمُسْلِمُوْنَ: اِحْدَى اُمَّهَاتِ اْلمُؤْمِنِيْنَ اَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِيْنُهُ؟ فَقَالُوْا: اِنْ حَجَبَهَا فَهِيَ اِحْدَى اُمَّهَاتِ اْلمُؤْمِنِيْنَ. وَ اِنْ لَمْ يَحْجُبْهَا فَهِيَ مِمَّا مَلَكَتْ يَمِيْنُهُ فَلَمَّا ارْتَحَلَ وَطَّأَ خَلْفَهُ وَ مَدَّ اْلحِجَابَ. احمد و البخارى و مسلم
Artinya: Dan dalam riwayat lain (dikatakan): Bahwasanya Nabi SAW. pernah singgah diantara Khaibar dan Madinah selama tiga malam dimana beliau mengadakan pesta pernikahan dengan Shafiyah, kemudian aku mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimahnya, yang dalam walimah itu hanya ada roti tanpa daging dan disitu beliau hanyaa menyuruh dihamparkan tikar-tikar, lalu diletakkan diatasnyya kurma, keju dan samin. Lalu kaum muslimin pada bertanya, “(ini upacaranya) salah seorang ummul mukminin ataukah hamba perempuan yang dimilikinya?”. Lalu mereka menjawab, “Jika Naabi SAW mentabirinya maka ia adalah hamba yang beliau miliki”. Kemudian tatkala Nabi SAW. mendengar, beliau melangkah kebelakang dan menarik takbir. (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Syarih Rahimulllah berkata: Qadhi ‘Iyadh berkata: Dan mereka (ulama) telah sepakat, bahwa tidak ada batas maksimal atau minimal jumlah apa yang dijadikan sebagai walimah pernikahan yang sederhana pun telah memenuhi, sedang yang disunnatkan yaitu diukur menurut kemampuan suami.
Jadi walimatul ‘ursy dapat diartikan dengan perhelatan dalam rangka mensyukuri nikmat Allah atas terlaksananya akad perkawinan dengan menghidangkan makanan. Walimah merupakan sunah yang sangat dianjurkan menurut jumhur ulama (Ulama Malikiyah, Hanafiah dan sebagian besar Syafi’iyah). Dalam pendapat Imam Malik yang tertera didalam kitab al-umm karya Imam Syafi’I serta pendapat Zhahiriyah bahwasanya walimah tersebut hukumnya wajib, karena sabda Nabi kepada Abdurrahman bin Auf,
. اَوْلِمْ وَ لَوْ بِشَاةٍ
Artinya: “Adakakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor kambing”
Zhahir dari sebuah perintah ialah untuk mewajibkan. Sementara Ulama Salaf berbeda pendapat mengenai waktu pelaksanaan walimah, apakah itu saat akad atau setelahnya, ketika bersenggama atau setelahnya, atau ketika memulai akad hingga akhir persenggamaan.
Imam Nawawi berkata, ‘’Qadhil Iyadl mengisahkan bahwasanya pendapat yang paling benar dari Ulama Malikiyah, yakni dianjurkan setelah bersenggama. Sedangkan sebagian Malikiyah berpendapat dianjurkan ketika akad. Sedangkan menurut Ibnu Jundub dianjurkan ketika akad dan setelah persenggamaan. As Subki berkata: yang diriwayatkan dari perbuatan Nabi Muhammad saw, bahwasanya walimah tersebut dilakukan setelah persenggamaan. Didalam hadis lain yang diriwayatkan Anas oleh Imam Bukhari dan lainnya menyatakan dengan jelas bahwa walimah tersebut dilakukan setelah persenggamaan.
C. Hikmah Walimatul ‘Ursy
Ulama Malikiyah dalam tujuan untuk memberitahu terjadinya perkawinan itu lebih mengutamaakan walimah dari menghadirkan dua orang saksi dalam akad perkawinan.
Adapun hikmah dari disuruhnya mengadakan walimah ini adalah rangka mengumumkan pada khalayak ramai bahwa akad, nikah telah terjadi sehingga semua pihak mengetahuinya dan tidak ada tuduhan dikemudian hari. Ulama Malikiyyah dalam tujuanuntuk mengumumkan perkawinan itu lebih penting daripada walimah dari menghadirkan dua orang saksi dalam akad perkawinan. Satu hal harus diketahui bahwa tak satupun ketetapan yang diamanahkan syari’ah yang tak mempunyai hikmah. Dan adapun hikmah ditetapkan walimatul ursy, diantaranya sebagai berikut.
1. Merupakan rasa syukur kepada Allah SWT.
2. Tanda penyerahan anak gadis kepada suami dari kedua orang tuanya
3. Sebagai tanda resmi akad nikah
4. Sebagai tanda memulai hidup baru bagi suami istri
5. Sebagai realisasi arti sosiologi dari akad nikah
6. Sebagai pengumuman bagi masyarakat, bahwa antara mempelai telah resmi menjadi suami istri, sehingga masyarakat tidak curiga terhadap perilaku yang dilakukan oleh kedua mempelai.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah kita mempelajari makalah tentang walimatul ursy, dapat disimpulkan bahwa hukum untuk mengadakan walimah dalam pernikahan ialah sunnah, dan hukum mendatangi walimah ialah wajib bila dalam walimah tersebut tidak melanggar syari’at islam dan tidak adanya hal-hal yang dapat menimbulkan terjadinya kemaksiatan.
Mengadakan walimah hendaklah sesuai kemampuan, tidak pilih-pilih untuk mengundang seseorang, menghormati para tamu undangan, menghidangkan makanan yang baik, dan diperkenankan mengadakan walimah tiga hari setelah akad pernikahan. Tujuan utama diadakan walimah adalah agar masyarakat sekitar dapat mengetahui tentang pernikahan seseorang, agar tidak timbul fitnah dan prasangka yang akan terjadi dikemudian hari.
Bagi seseorang yang mendatangi walimah terdapat tatakrama yang dilakukan yaitu datang ke walimah dengan gembira dan berniat menyemarakan perayaan sang pengundang, menghindari makanan yang wadahnya dari emaas dan perak, dianjurkan pula mendoakan bagi kedua mempelai, dan menghindari ucapan-ucapan selamat seperti yang dilakukan oleh orang jahiliyyah.
B. Saran
Terima kasih telah membaca selembar makalah yang kami buat. Tapi tidak ada gading yang tidak retak, Didalam makalah ini tentu kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, baik dari penulisan makalah ini dan sebagainya, untuk itu kami selaku pemakalah memohon kritikan dan saran dari teman-teman semua.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet. Fiqih Munaqahat. Bandung: Cv Pustaka Setia. 1999.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Prenada Media. 2006.
Mujab, Mahalli. Menikah Engkau Menjadi Kaya. Yogyakarta: Mitra Pustaka. 2003.
Sohar, Sahrani. H.Tihami. Fiqih Munakahat. Serang: Rajawali Pers. 2008.
Wahbah, Hadikusuma. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Lampung : Cv Mandar Maju, 2003. Cet.II.
Al-Zuhaili, Wahbah. Fiqh Islam wa Adillatuhu. Depok: Gema Insani. 2007.
Al-Ats Qalani, Syekh Al-Hafiedh Imam Ibnu Hajar. Terjemahan Bulughul Maram. Surabaya: Al-Ikhlas, 1993. Cet.1.
Zainuddin, Djedjen. Suparta, H. Mundzier Suparta. Fiqih, t.h: Permenag RI, 2008.
Hamidy , Mu’ammal, Terjemahan Nailul Authar Jilid 5, Surabaya : Pt. bina ilmu, 2001. Cet. III.
Tidak ada komentar: