Nikah Beda Agama
MAKALAH
NIKAH BEDA AGAMA
Mata Kuliah : Fiqih Munakahat B
Dosen Pengajar : Noor Efendy, S.H.I., M.H
Kelompok 12
Oleh :
Nia Alpina (2019110716)
Khalidah Mardha (2019110763)
PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM KANDANGAN
TAHUN 2021 M / 1442 H
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW. yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Fiqih Munakahat B dengan judul “Nikah Beda Agama”.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kami berharap semoga ilmu dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi kami pribadi yang membuat makalah ini dan juga para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Kandangan, 09 Maret2021
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan Beda Agama
B. Hukum Pernikahan Beda Agama dalam Islam
C. Pendapat Para Madzhab tentang Pernikahan Beda Agama
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab.
Keharmonisan keluarga akan terwujud secara sempurna apabila suami dan isteri berpegang teguh pada ajaran yang sama. Perbedaan keyakinan atau agama di antara kedua belah pihak seringkali menimbulkan berbagai kesulitan di lingkungan keluarga dalam pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan, serta pengalaman yang menyangkut tradisi keagamaan.Umumnya setiap orang menginginkan pasangan hidup yang seagama sehingga dapat membangun keluarga berdasarkan satu prinsip dan akan lebih mudah dalam membangun kesepahaman dalam hal tujuan hidup ataupun mendidik agama bagi keturunannya.
Dalam perkawinan beda agama ini, hal tersebut menjadi permasalahan dalam penerapannya karena Undang-Undang perkawinan tidak memberikan ruang pengaturan bagi dua pasangan yang akan melangsungkan perkawinan dengan berbeda agamanya. Jadi, sah atau tidaknya perkawinan ditentukan oleh hukum agama calon mempelai. Jika kedua calon mempelai berbeda agama, maka keabsahan perkawinannya ditentukan menurut agamanya masing-masing.Tidak jarang calon mempelai melakukan upacara perkawinan dua kali menurut agamanya masing-masing, sedangkan pencatatan perkawinan hanyalah merupakan persyaratan administratif saja.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Pernikahan Beda Agama?
2. Bagaimana Hukum Pernikahan Beda Agama dalam Islam?
3. Bagaimana Pendapat Para Mazhab tentang Pernikahan Beda Agama?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Pernikahan Beda Agama.
2. Untuk mengetahui bagaimana Hukum Pernikahan Beda Agama dalam Islam.
3. Untuk mengetahui bagaimana pendapat para Madzhab tentang Pernikahan Beda Agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan Beda Agama
1. Pengertian Pernikahan
Nikah atau perkawinan disebut dari dua kata, an-nikah (النكاح) dan az-ziwaj/az-zawj atau az-zijah الزيجه- الزوج- الزواج. . Kedua kata itulah yang dipakai oleh bangsa Arab dan tercantum dalam al-Qur’an. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam al-Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam surah An-Nisa: 3.
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ
Artinya : “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”
Nikah secara bahasa berarti al-wath’u ( الوطء) adh-dhammu (الضم ) al-jam’u (الجمع ). Al-wath’u berasal dari kata wathi’a-yatha’uwath’an (وطاء- يطاء- وطاء ) artinya berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli, dan bersetubuh atau bersenggama. Adh-dhammu yang berakar kata dhamma-yadhummudhamman (ضما- يضم- ضم ) artinya mengumpulkan, memegang, menggenggam, menyatukan, menggabungkan, menyandarkan, perangkul, memeluk, dan menjumlahkan, serta berarti lunak dan ramah. Sedanggkan al-jam’u berasal dari kata jama’a-yajma’u jam’an (جمعا- يجمع- جمع) artinya mengumpulkan, menghimpun, menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan, dan menyusun.
2. Pengertian Pernikahan Beda Agama
Pada masyarakat umum, banyak yang menyebutkan perkawinan beda agama dengan sebutan perkawinan campuran, namun ada masyarakat yang menyebutkan bahwa perkawinan beda agama tersebut bukan bagian atau tidak sama dengan perkawinan campuan, melainkan istilah perkawinan beda agama tersebut berdiri sendiri.
Istilah perkawinan campuran yang sering muncul dalam masyarakat ialah perkawinan campuran yang disebabkan karena perbedaan suku, atau karena perbedaan agama antara kedua orang yang akan melakukan perkawinan. Misalnya perbedaan adat, yaitu perkawinan antara orang suku Jawa dengan orang suku Batak, orang suku Minangkabau dengan orang suku Sunda, dan sebagainya. Sedangkan perkawinan beda agama yaitu antara laki-laki atau perempuan beragama Kristen dengan laki-laki atau perempuan yang beragama Islam, dan lain sebagainya.
Sedangkan dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Dengan demikian berdasarkan undang-undang ini, perkawinan antar agama tidak termasuk perkawinan campuran melainkan memiliki pengertian tersendiri.
Eoh merumuskan perkawinan beda agama sebagai suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dari rumusan pengertian tersebut dapat ketahui bahwa yang dimaksud perkawinan beda agama adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda agama dan masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya.
B. Hukum Pernikahan Beda Agama dalam Islam
Pembahasan pernikahan beda agama ini akan dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Pernikahan dengan Non Muslim/Kafir.
2. Pernikahan dengan Ahli Kitab.
Dalam pembedaan dua kategori antara non muslim/kafir dengan ahli kitab ini memang terdapat sebuah pembedaan yang menimbulkan konsekuensi dalam hukumnya, non muslim/ kafir adalah orang-orang yang mengingkari Tuhan, sementara pengertian ahli kitab adalah orang yang menganut salah satu agama Samawi yang mempunyai kitab suci seperti Taurat, Injil , dan Zabur
1. Pernikahan dengan Non Muslim/Kafir
Definisi kafir dan muslim merupakan definisi yang sangat luas, para ulama’ berpendapat bahwa istilah non muslim atau kafir disimpulkan oleh pakar Al-Qur’an, Syeikh Muhammad Abduh, segala aktifitas yang bertentangan dengan ajaran tujuan agama. Tentu saja maksudnya tidak mengarah pada suatu kelompok agama saja, akan tetapi mencakup sejumlah agama dengan segala bentuk kepercayaan dan variasi ritualnya. Al-Qur’an menyebutkan kelompok non muslim ini secara umum seperti terdapat dalam Q.S. Al-Hajj: 17
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالصَّابِـِٕيْنَ وَالنَّصٰرٰى وَالْمَجُوْسَ وَالَّذِيْنَ اَشْرَكُوْٓا ۖاِنَّ اللّٰهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang beriman, orang Yahudi, orang Sabiin, orang Nasrani, orang Majusi dan orang musyrik, Allah pasti memberi keputusan di antara mereka pada hari Kiamat. Sungguh, Allah menjadi saksi atas segala sesuatu.”
Dalam ayat Al Qur’an tadi terdapat lima kelompok yang dikategorikan sebagai non muslim, yaitu Yahudi, Nasrani, ash-Shabi’ah atau ash-Shabiin, al-Majus, al-Musyrikun. Masing-masing kelompok secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, Yahudi adalah kaum bangsa Israel yang mengamalkan ajaran nabi Musa/Taurat. Kedua, Nasrani/Nashara yang diambil dari nama Nashiroh (tempat lahir nabi Isa), mereka adalah kelompok yang mengajarkan ajaran nabi Isa. Ketiga, Ash-Shabi’ah, yaitu kelompok yang mempercayai pengaruh planet terhadap alam semesta. Keempat, Al-Majus yaitu para penyembah api yang mempercayai bahwa jagat raya dikontrol oleh dua sosok Tuhan, yaitu Tuhan Cahaya dan Tuhan Gelap yang masing-masingnya bergerak kepada yang baik dan yang jahat, yang bahagia dan yang celaka dan seterusnya , dan Al-Musyrikun, kelompok yang mengakui ketuhanan Allah SWT, tapi dalam ritual mempersekutukannya dengan yang lain seperti penyembahan berhala, matahari dan malaikat.
Dari pengertian Non muslim/kafir diatas, maka dapat disimpulkan bahwa lawan dari kata kafir adalah mukmin,orang yang mengimani Allah. Dalam surat Al-Mumtahanah menjelaskan bahwa adanya pelarangan untuk tetap meneruskan hubungan pernikahan dengan wanita kafir, sampai mereka beriman kepada Allah. Larangan pernikahan beda agama dengan non muslim/kafir secara global telah disepakati oleh para ulama’.
Q.S. Mumtahanah (60) : 10
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا جَآءَكُمُ ٱلْمُؤْمِنَٰتُ مُهَٰجِرَٰتٍ فَٱمْتَحِنُوهُنَّ ۖ ٱللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَٰنِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى ٱلْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ۖ وَءَاتُوهُم مَّآ أَنفَقُوا۟ ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۚ وَلَا تُمْسِكُوا۟ بِعِصَمِ ٱلْكَوَافِرِ وَسْـَٔلُوا۟ مَآ أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْـَٔلُوا۟ مَآ أَنفَقُوا۟ ۚ ذَٰلِكُمْ حُكْمُ ٱللَّهِ ۖ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ ۚ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayarkan mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir, dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan, dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayarkan (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”
Larangan pernikahan beda agama ini kemudian di rumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. KHI yang diberlakukan dengan Instruksi Persiden (Inpres) Nomor 1 tahun 1991, melarang seorang muslim melakukan perkawinan beda agama. Larangan ini diatur dalam pasal 40 huruf c KHI. Sementara larangan pernikahan beda agama bagi wanita diatur dalam pasal 44 KHI. Secara Normatif larangan menikah beda agama ini tidak menjadi masalah, karena hal tersebut sejalan dengan ketentuan Al-Qur’an yang disepakati oleh para fuqaha’.
2. Pernikahan dengan Ahli Kitab
Imam Syafi’i berpendapat bahwa ahlul kitab adalah orang Yahudi dan orang Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama yahudi dan nasrani. Alasan yang dikemukakan oleh imam Syafi’i adalah bahwa Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada bangsa mereka, bukan bangsa lain. Pendapat ini berbeda dengan Imam Hambali dan mayoritas pakar hukum Islam yang menyatakan bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang nabi atau kitab yang pernah diturunkan oleh Allah, maka dia adalah ahlul kitab. Sementara sebagian Ulama’ berpendapat bahwa ahli kitab adalah setiap umat yang memiliki kitab dan dapat diduga sebagai kitab suci.
Pendapat terakhir ini kemudian diperluas lagi oleh para ulama’ kontemporer, sehingga mencakup para agama-agama yang ada di Indonesia seperti Hindu dan Budha. Sementara menurut Ulama’ Muhammad Rasyid Ridho dalam tafsir al manaar, setelah beliau memahami dan mempelajari segala yang berkaitan dengan hukum pernikahan beda agama, beliau menyimpulkan bahwa wanita musyrik yang tidak diperbolehkan dinikahi yang disebutkan dalam Al-Qur’an Q.S. Al-Baqoroh: 221 adalah wanita musyrik arab.
Q.S. Al-Baqarah (2) : 221
وَلَا تَنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ عْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكِين حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا۟ ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ يَدْعُونَ إِلَى ٱلنَّارِ ۖ وَٱللَّهُ يَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱلْجَنَّةِ وَٱلْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِۦ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musryik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang ( laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik dari pada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.”
Pendapat mengenai kebolehan menikahi wanita ahli kitab juga didukung oleh pendapat jumhur ulama’ yang mengatakan bahwa Q.S. Al-Maidah: 5 merupakan bentuk pengkhususan dari QS Al-Baqoroh: 221, sehingga pernikahan dengan ahli kitab menjadi diperbolehkan.
QS Al-Maidah (5) : 5
ٱلْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ ۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ
ٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِىٓ أَخْدَانٍ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِٱلْإِيمَٰنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ
Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan diantara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barang siapa kafir setelah beriman maka sungguh, sia-sia amal mereka dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”
Pendapat mengenai larangan menikahi wanita ahli kita dirumuskan oleh sebagian ulama’ yang menyatakan bahwa Q.S. Al-Maidah: 5 merupakan bentuk khusus dari bentuk umumnya yaitu Q.S. Al-Baqoroh: 221 yang kemudian bentuk umum tersebut menghapus bentuk khusus. Senada dengan pendapat tersebut, sahabat nabi, Ibnu Umar, menyatakan bahwa pada zaman beliau, ajaran trinitas tidak lagi wajar dinamai dengan ahlul kitab, karena keyakinan tersebut merupakan bentuk penyekutuan terhadap Allah. Dari dua pendapat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya para ulama’ Islam berbeda pendapat dalam memandang hukum pernikahan beda agama terkait dengan seorang laki-laki muslim yang menikahi wanita non muslim yang ahli kitab. Perbedaan ini pada dasarnya berimplikasi terhadap hukum pernikahan beda agama tersebut, yaitu halal dan haram.
C. Pendapat Para Mazhab tentang Pernikahan Beda Agama
a. Pernikahan Beda Agama menurut Madzhab Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi.
Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT., termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa A.S dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini. Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada di darul harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.
b. Pernikahan Beda Agama menurut Madzhab Imam Malik
Madzhab Maliki tentang perkawinan beda agama ini mempunyai dua pendapat, yaitu
1) menikah dengan wanita kitabiyah hukumnya makruh mutlak, baik dzimmiyah (wanita-wanita non-muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun wanita harbiyah, namun makruhnya menikahi wanita harbiyah lebih besar. Akan tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram; dan
2) Tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlaq. Metodologi berfikir madzhab Maliki ini menggunakan pendekatan sad alzariyan (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan), jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama ini, maka diharamkan.
c. Pernikahan Beda Agama menurut Madzhab Imam Syafi‟i
Imam Syafi‟i berkata; Allah tabarokawata’ala berfirman dalam Al-Mumtahanah Ayat 10, setelah itu turunlah rukhsah (keringanan) yang menghalalkan wanita-wanita merdeka dari kalangan ahli kitab hal ini sebagaimana yang dijelaskan Allah SWT., dalam Surat Al-Ma‟idah Ayat 5 sebelumnya.
Ketetapan Allah Subhanahu wata’ala yang membolehkan menikahi wanita-wanita merdeka di kalangan ahli kitab merupakan dalil yang mengharamkan menikahi wanita-wanita budak mereka, karena telah dikenal dalam bahasa; apabila suatu sifat disebutkan dalam kalimat yang berkonotasi penghalalan atau pengharaman, maka hal ini menjadi dalil bahwa yang berada di luar sifat tersebut, tidak masuk dari kalimat tadi.
Imam Syafi‟i juga berpendapat bahwa dihalalkan menikahi wanita-wanita merdeka Ahli kitab bagi setiap muslim, karena Allah SWT. menghalalkan mereka tanpa pengecualian. Wanita-wanita Ahli kitab yang merdeka dan boleh dinikahi adalah pengikut dua kitab yang masyhur yakni; Taurat dan Injil dan mereka adalah Yahudi dan Nasrani adapun Majusi, tidak masuk dalam golongan itu.
d. Pernikahan Beda Agama menurut Madzhab Imam Hambali
Mazhab Hambali mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan boleh menikahi wanita Yahudi dan Narani. Mazhab ini lebih kebanyakan pengikutnya cenderung mendukung pendapat guru Ahmad bin Hambal, yaitu Imam Syafi‟i. Tetapi tidak membatasi, bahwa yang termasuk ahlu al-kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel saja, tetapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut agama Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.
Berdasarkan uraian di atas, telah dijelaskan bahwa ulama Imam Madzhab sepakat untuk mengharamkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita musyrik dan membolehkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab yakni Yahudi dan Nasrani. Akan tetapi, yang dimaksud oleh Imam Madzhab tentang wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) di sini adalah karena wanita ahlul kitab pada zaman dahulu berbeda dengan wanita ahlul kitab pada zaman sekarang
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkawinan beda agama adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda agama dan masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya.
Hukum Pernikahan Beda Agama dalam Islam:
1. Pernikahan dengan non muslim/kafir
Menurut Syeikh Muhammad Abduh, segala aktifitas yang bertentangan dengan ajaran tujuan agama. Tentu saja maksudnya tidak mengarah pada suatu kelompok agama saja, akan tetapi mencakup sejumlah agama dengan segala bentuk kepercayaan dan variasi ritualnya.
2. Pernikahan dengan ahli kitab.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa ahlul kitab adalah orang Yahudi dan orang Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama yahudi dan nasrani.
Pernikahan Beda Agama menurut Para Madzhab:
1. Pernikahan Beda Agama menurut Madzhab Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi.
2. Pernikahan Beda Agama menurut Madzhab Imam Malik
Madzhab Maliki tentang perkawinan beda agama ini mempunyai dua pendapat, yaitu
1) menikah dengan wanita kitabiyah hukumnya makruh mutlak, baik dzimmiyah (wanita-wanita non-muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun wanita harbiyah, namun makruhnya menikahi wanita harbiyah lebih besar. Akan tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram; dan
2) Tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlaq. Metodologi berfikir madzhab Maliki ini menggunakan pendekatan sad alzariyan (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan), jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama ini, maka diharamkan.
3. Pernikahan Beda Agama menurut Madzhab Imam Syafi‟i
Imam Syafi‟i berkata; Allah tabarokawata’ala berfirman dalam Al-Mumtahanah Ayat 10, setelah itu turunlah rukhsah (keringanan) yang menghalalkan wanita-wanita merdeka dari kalangan ahli kitab hal ini sebagaimana yang dijelaskan Allah SWT., dalam Surat Al-Ma‟idah Ayat 5 sebelumnya.
4. Pernikahan Beda Agama menurut Madzhab Imam Hambali
Mazhab Hambali mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan boleh menikahi wanita Yahudi dan Narani.
B. Saran
Kami merasa makalah yang kami buat jauh dari kata sempurna, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca apabila ada kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2006
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju. 1990
Sostroatmojo, Arso. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. 1978
Eoh, O.S. Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1998
Muhdhor, Zuhdi dan Atabik Ali, Op. Cit, h. 1512
Bidin, Masri Elmahsyar. Prinsip Hubungan Muslim dan Non Muslim dalam Pandangan Islam. Diakses pada tanggal 11 Maret 2021
Shihab, M. Quraish. M.Quraish Shihab Menjawab – 1001 Soal KeIslaman yang Patut Anda Ketahui. Jakarta: Lentera Hati. 2008
Shihab, Quraish. Tafsir Al-Misbah (Volume 9). Jakarta: Lentera Hati. 2002
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas. Fiqh Munakahat. Jakarta: Amzah. 2009
Syafi‟i. Ringkasan Kitab Al-Umm. Jakarta: Pustaka Azzam. 2010
Karsayuda, M. Perkawinan Beda Agama. Yogyakarta: Total Media. t.t.h.
Syuja, Al Qadhi. Fiqih Sunnah Imam Syafi’i. t.t.p: Fathan Prima Media. t.t.h.
Tidak ada komentar: