Poligami
MAKALAH
POLIGAMI
Mata Kuliah: Fiqih Munakahat B
Dosen Pengajar : Noor Efendy S.HI, MH
Disusun oleh :
KELOMPOK 10
Mahfuzah (2019110737)
Muhammad Arsad (2019110711)
PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM KANDANGAN
1442 H / 2021 M
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT.karena atas limpahan dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah sederhana ini meskipun sangat jauh dari kata sempurna. Shalawat serta salam tak lupa pula kami haturkan keharibaan junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta para pengikut-pengikut beliau sampai akhir zaman.
Tujuan dalam pembuatan makalah ini antara lain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqih Munahakat B. Selain itu juga untuk menambahkan wawasan pembaca sekalian tentang Poligami.
Makalah ini memang jauh dari kata kesempurnaan, baik dalam isi, susunan, maupun penyajiannya.Untuk itu segala kritik dan saran dari Ibu/Bapa Dosen dan teman-teman semuanya agar bisa mengambil pelajaran dari makalah ini.Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan khususnya bagi para mahasiswa sekalian.
Kandangan, 17 Maret 2021
Kelompok 10
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian poligami
B. Alasan poligami
C. Syarat-syarat poligami
D. Pembatasan poligami
E. Prosedur poligami
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pernikahan adalah suatu istilah yang mengandung nilai kemanusian, social, dan kejiwaan, sedangkan perkawinan lebih cenderung pada istilah yang mengandung nilai hewani (biologis). Pernikahan adalah komitmen untuk membangun mahligai rumah tangga yang bahagia. Bahagian dalam kontek agama islam dapat dilihat dengan tiga pandangan, sakinah, mawaddah, dan warahmah.
Perdetan pernikahan poligami dengan mongami dalam islam telah lama berlangsung. Tentu saja, hal ini terjadi karena banyaknya penafsiran terhadap apa yang telah ditetapkan dalam Al-Quran sendiri. Rasulullah Saw sendiri hanya melakukan poligami beberapa tahun sebelum ia meninggal, sedangkan monogamy sudah dahulu beliau praktikkan dengan Khadijah Ra.
Poligami pada masa sekarang ini merupakan sebuah fenomena social dalam masyarakat, dimana fenomenan ini menemui puncak kontraversinya, baik ada yang pro ataupun kontra. Hal ini terjadi karena poligami dianggap menyakiti kaum wanita dan hanya menguntungkan bagi kaum pria saja.
Dalam islam, , masalah poligami juga tidak merta diperbolahkan dan masih juga berupa konteks “pertimbangan”, hal ini terbukti dalam ayat-ayat ataupun suatu riwayat yang dijadikan dasar sumber hukum dalam poligami sendiri juga terikat dalam aturan-aturan dan juga syarat serta ketentuan lainnya berupa kesanggupan, keadilan, dan factor lainnya dalam poligami. Diindonesia sendiri, masih belum ada Undang-Undang yang menjelaskan secara rinci boleh tidaknya poligami dilakukan, namun terdapat kebijakan hukum yang mengatur masalah poligami diantaranya terdapat dalam Undang-undang Perkawinan (UUP) dan kompilasi Hukum Islam (KHI).
Sementara perkaran halal yang sangat dibenci Allah adalah perceraian, namun dalam sebuah rumah tangga pastilah kerap terjadi konflik antara suami dan istri, dimana banyak hal yang dapat memicu terjadinya pertengkaran bahkan sampai kepada perceraian. Namun setiap pertengkaran pastilah ada penyelesaian didalamnya, namun apabila pertengkaran tersebut dapat memicu sebuah keputusan besar yang berakhirnya sebuah keputusan untuk bercerai, maka proses melangkah ketahap itupun bukan hal yang mudah dan singkat untuk dilakukan. Oleh sebab itu, maka kesempatan kali ini saya akan membahas tentang, poligami yang isinya ada membahas hal tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Poligami?
2. Apa saja alasan poligami?
3. Apa-apa syarat-syarat poligami?
4. Apa itu pembatasan poligami?
5. Apa saja prosedur poligami?
C. Tujuan Masalah
1.Untuk mengetahui Pengertian Poligami’
2. Untuk mengetahui apa alasan poligami’
3. Untuk mengetahui apa syarat-syarat poligami’
4. Untuk mengetahui apa pembatasan poligami’
5. Untuk mengetahui apa prosedur poligami’
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Poligami
Kata poligami terdiri dari dua kata poli dan gami. Secara etimologi, poli artinya banyak dan gami artinya istri. Jadi, poligami utu artinya beristri banyak. Secara terminology, poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri atau seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang.
Pengertian poligami menurut bahasa Indonesia adalah system perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenis diwaktu yang bersamaan. Para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari seorang istri dengan istilah poligini yang berasal dari kata polus yang berarti banyak dan gune bararti perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata polus yang berarti banyak dan Andros berarti laki-laki.
Islam membolehkan poligami dengan jumlah wanita yang terbatas dan tidak mengharuskan umatnya melaksanakan monogamy mutlak dengan pengertian seorang laki-laki hanya boleh beristri seorang wanita dalam keadaan dan situasi apapun dan tidak pandang bulu, apakah laki-laki kaya atau miskin, hoposeks atau hiperseks, adil atau tidak adil secara lahiriyyah. Islam pada dasarnya menganut system monogamy dengan memberikan kelonggaran dibolehkannya poligami terbatas. Pada prinsipnya seorang laki-laki hanya memiliki seorang istri dan sebaliknya seorang istri hanya memiliki seorang suami. Tetapi islam tidak menutup diri adanya kecenderungan laki-laki beristri banyak sebagaimana yang sudah berjalan dahulu kala. Islam tidak menutup rapat kemungkinan adanya laki-laki tertentu berpoligami, tetapi tidak semua laki-laki harus berbuat demikian karena tidak semua mempunya kemampuan untuk berpoligami. Poligami dalam islam dibatasi dengan syart-syarat tertentu, baik jumlah maksimal maupun persyaratan lain.
B. Alasan poligami dalam Islam
Islam adalah agama fitrah, agama yang sejalan dengan tuntutan watak dan sifat pembawaan kejadian manusia. Oleh karena itu, islam memerhatikan kenyataan-kenyataan manusiawi, kemudian mengaturnya agar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan.
Dihubungakan dengan masalah perkawinan, dapat dikemukakan macam-macam keadaan yang memerlukan sebagai berikut :
a. Apabila ada seorang benar-benar ingin mempunyai anak (keturunan), padahal istrinya ternyata mandul, apakah suami itu harus mengorbankan keinginannya untuk berketurunan? Untuk memenuhi tuntutan naluri hidup suami subur yang beristri mandul, ia dibenarkan kawin lagi dengan perempuan subur yang mampu memberi keturunan.
b. Apabila ada istri yang menderita sakit hingga tidak mampu melayani suaminya, apakah suami harus menahan saja tanpa tuntutan biologisnya? Untuk memungkinkan suami terpenuhi naluriahnya dengan jalan halal, kepadanya diberi kesempatan kawin lagi.
c. Apabila suatu ketika terjadi dalam suatu masyarakat, jumlah perempuan lebih besar dari jumlah laki-laki, apakah akan dipertahankan laki-laki hanya boleh kawin dengan seorang istri saja? Bagaimana nasib perempuan yang tidak sempat memperoleh suami? Untuk memberi kesempatan perempuan-perempuan memperoleh suami, dan dalam waktu sama untuk menjamin kehidupan yang lebih stabil, jangan sampai terjadi permainannya tindakan-tindakan serong.
d. Apabila ada orang laki-laki yang kuat syahwatnya, baginya seorang istri belum memadai, apakah ia dipaksa harus hanya beristri satu orang, dan untuk mencukupkan kebutuhannya dibiarkan berhubungan dengan orang lain diluar perkawinan?. Terkadang beberapa orang manusia memiliki energy seks yang tinggi, yang membuat dia tidak merasa cukup dengan satu orang isteri, yang bisa jadi karena umurnya sudah tua, atau karena bencinya untuk melaukan hubungan seks, atau karena panjangnya masa menstruasinya dan masa nifasnya. Oleh karena itu, jalan keluar bagi kondisinya yang yang seperti itu, dan berdasarkan ajaran agama yang menuntut seseorang untuk menjaga kesucian dan kemuliaannya adalah melakukan poligami, daripada melakukan hubungan seks yang tidak legal yang didalamnya terdapat murka Allah Swt, serta keburukkan individu dan social secara umum yang pasti akan terjadi dengan menyebarnya kekejian atau zina.
e. Apabila rasa benci seseorang laki-laki terhadap istrinya pada beberapa waktu? Terkadang terjadi pertikaian keluarga antara seorang suami dengan kerabat istrinya, atau antara suami dengan istri, yang tidak menemukan jalan keluar, yang membuat kondisi menjadi lebih pelik, dan kedua pihak saling bersikeras. Oleh sebab itu, jalan keluar yang ada adalah, perpisahan untuk selama-lamanya, yang menyebabkan hati istri terus menerus tersakiti untuk selama-lamanya. Atau kesabaran yang bersifar sementara dari suam, yang membutukan moral yang tinggi dan rasa kesetiaan, juga rasa kebijaksanaan dan rasional.
Tentu saja, mengambil jalan keluar yang kedua, dengan rasa tetap mempertahankan istri dalam ikatan perkawinan dengan melakukan poligami dengan perempuan yang lain jauh lebih baik dibandingkan perceraian yang merupakan suatu perkara halal yang paling dibenci oleh Allah.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Artinya : dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ;dua, tiga atau empat, kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat dengan berbuat aniaya (QS.An-Nisa : 3)
Dengan memerhatikan konteks ayat 3 QS. An-Nisa yang membolehkan perkawinan poligami tersebut dapat diperoleh ketentuan bahwa perkawinan poligami menurut ajaran islam merupakan kekecualian yang dapat ditempuh dalam keadaan yang mendesak. Dalam keadaan biasa, islam berpegang pada prinsip monogamy, kawin hanya dengan seorang istri saja, yang dalam ayat Al-Quran tersebut dinyatakan akan lebih menjamin suami tidak akan berbuat aniaya.
- Alasan poligami menurut Undang-Undang
Pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang berkaitan langsung dengan poligami adalah pasal 4 dan pasal 5. Dalam pasal 4 terdiri dari 2 ayat.
Dalam hal ini seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan daerah tempat tinggalnya.
Dalam pasal 5, dijelaskan bahwa untuk mengajukan permohonan kepengadilan, sebagimana dimaksud pasal 4 ayat (1) undang-undang ini. Dengan penjelasan pasal 5 ayat (1) dapat dipahami bahwa suami harus meminta izin dari istri, maka istri yang mandul pun memiliki hak prerogative untuk memberi atau tidak izin kepada suaminya yang bermaksud poligami. Akan tetapi, karena kondisi istri yang demikian, sangat tidak rasional atau tidak mungkin apabila istri tidak memberi izin kepada suaminya. Tentu keadaan tersebut sangat memprihatinkan bagi istri dan beralasan sangat kuat bagi suami untuk melakukan poligami. Dengan pemahaman terhadap pasal 4 ayat (2) (a) yang terdapat dalam Undang-undang 1974 tentang perkawinan, posisi perempuan atau istri yang tidak dapat melahirkan keturunan ada dalam posisi dilematis, artinya terjebak dalam dua pilihan yang merugikan dan terpojok pada pelaksanaan undang-undang yang keadilannya dipertanyakan atau lebih menguntungkan pihak laki-laki atau suami.
Berdasarkan kondisi diatas, menurut Rahmat Hakim, alternative yang dipilih oleh istri adalah sebagai berikut.
a) Bercerai secara baik-baik, walaupun praktiknya sangat dilematis
b) Merelakan suaminya untuk menikah lagi, sebagai kemungkinan terakhir dan hanya satu-satunya.
C. Syarat-syarat Poligami
a. Mampu berbuat adil diantara istri-istrinya.
Berlaku adil yang dimaksud adalah perlakuan yang adil dalam mengurusi istri, seperti ; pakaian, tempat tinggal, giliran, dan lain-lain yang bersifat lahirian. Islam memang memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Dan ayat tersebut membatasi diperbolehkannya poligami hanya empat orang saja. Namun, apabila akan berbuat durhaka apabila menikah dengan lebih dari seorang perempuan maka wajiblah ia cukupkan dengan seorang saja.
Selain adil, ia juga harus tegas. Karena boleh jadi salah satu istrinya merayunya agar ia tetap bermalam dirumahnya, padahal malam intu adalah jatah bermalam ditempat istri yang lain. Maka, ia harus tegas menolak rayuan. Salah satu istrinya untuk tetap bermalam dirumahnya. Jadi, jia ia tak mampu melakukan hal itu, maka cukup satu istri saja.
Allah Swt berfirman,
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinlah) seorang saja”. (QS. An-Nisa: 3)
Keadilan yang dimaksud Sebagai berikut:
- keadilan dalam cinta dan kasih sayang
Abu bakar bin Araby mengatakan bahwa memang benar apabila keadilan dalam cinta itu berada diluar kesanggupan manusia. Sebab, cinta itu adanya dalam genggaman Allah Swt. Yang mampu membolak balikkannya menurut kehendaknya. Begitu juga dalam bersetubuh, terkadang ia bergairah dengan istri yang satu, tetapi tidak begitu dengan istri yang lainnya. Dalam hal ini apabila ia tidak sengaja, ia tidak terkena hukum dosakarena berada diluar kemampuannya. Oleh karena itu, tidaklah dipaksa untuk melakukannya.
Aisyah r.a berkata: “Rasulullah SAW. Selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil dan beliau pernah berkata: ya Allah! Ini bagianku yang dapat aku kerjakan. Karena itu, janganlah engkau mencelakakanku tentang apa yang Engkau kuasai, sedang aku tidak menguasainya.” Abu dawud berkata bahwa yang dimaksud dengan “ Engkau tetapi aku tidak menguasai yaitu hati. ( HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan ibnu Majah)
- keadilan dalam mengadakan perjalanan (memilih istri yang akan menemani perjalanan suami).
Jika suami mengadakan perjalanan hendaklah dia mengajak salah satu diantara istrinya untuk menemaninya, dan lebih baik apabila dilakukan undian. Dalam masalah giliran, juga ada hak hibah sebagaimana adanya hibadh dalam masalah harta benda. Kebanyakan ulama sepakat bahwa istri yang ikur sertra menemani suami bepergian, maka hari-hari yang digunakannya itu dijumlahan dan diganti dengan hari-hari lainnya, dan hari-hari yang digunaannya iyu tidak menyebabkan ia kehilangan sekian kali masa giliran menurut lama dan pendeknya waktu perjalanan. Akan tetapi, segolongan ulama yang lain berbeda pendapat bahwa hari-hari yang digunakan tadi dijumlahkan dan diganti dengan hari-hari lain sehingga nantinya, ia kehilangan sekian kali masa giliran dan masa banyak. Pendapat pertama yang lebih baik karena sudah menjadi ijma sebagian besar ulama.
- Keadilan dalam giliran tidur bersama istri
Keadilan dalam giliran tidur bersama, kalau suami bekerja disiang hari, hendaklah diadakan giliran dimalam hari. Dan apabila bekerja dimalam hari maka gilirannya siang hari, maka ia harus bermalam pula pada istri yang lain selama dua atau tiga hari. Bila ia sedang dalam giliran seorang istri, maka ia tidak boleh memasuki istri yang lain, kecuali kalau ada keperluan yang sangat penting, misalnya istri sedang sakit keras atau sedang dalam bahaya lainnya. Dalam keadaan demikian, ia boleh memasuki rumah istrinya yang lain. demikian juga bila diantara istri-istri itu sudah kerelaan dalam masalah ini.
Dalam sebuah hadis yang bersumber dari Aisyah disebutkan:
عن عا ئشة رضي الله عنها قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلما يفضل بعضنا على بعض فى القسم من مكثه عند نا وكان قلّ يوم لا وهو يطوف علينا جميعا فبدء نوا من كلّ امراة من غير مسيس حتى يبلغ التى هو يومها فيبيت عندها
((رواه ابو داود واحمد
“ Dari Aisyah r.a berkata : “Rasullah SAW. Tidak melebihkan sebagian kami diatas yang lain, dalam pembagian waktu untuk kembali kepada kami, walaupun sedikit sekali waktu bagi Rasulullah. Tapi beliau tetap bergilir kepada kami. Beliau mendekati istri-istrinya dengan tidak mencampurinya hingga ia sampai kepada istrinya yang mendapat giliran itu, lalu ia bermalam dirumahnya”. ( HR. Abu Dawud dan Ahmad).
b. Mampu menjaga diri dari pesona fitnah mereka dan menyia-yiakan hak-hak Allah demi mengurusi mereka. Allah swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka”. (QS. At-Taghaabun [64] :14)
c. Mampu menjaga kehormatan dan citra diri mereka, sehingga mereka tidak tercemar dan terjerumus dalam kerusakkan, sebab Allah tidak menyukai kerusakkan. Nabi Muhammad saw bersabda ;
“wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu (memenuhi) kebutuhan menikah, maka hendaklah ia menikah”.
Sudah menjadi kewajiban bagi suami untuk menjaga istrinya. Sehingga istrinya terjaga agamanya dan kehormatannya. Ketika seorang berpoligami, otomatis perempuan yang ia jaga tidak hanya satu, namun lebih dari satu. Ia harus menjaga para istrinya agar tidak terjerumus dalam keburukkan dan kerusakkan.
d. Mampu menafkahi mereka.
Hal ini sangat jelas, karena seorang yang berpoligami, wajib mencukupi kebutuhan nafkah para istrinya. Bagaimana ia ingin berpoligami, sementara nafkah untuk satu istri saja belum cukup? Orang semacam ini sangat berhak untuk dilarang berpoligami.
Allah swt berfirman “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. (QS. An- Nur : 33).
D. Pembatasan poligami
Pembolehan poligami diberikan dengan pembatasan-pembatasan yang berat, pembatasan-pembatasan itu terdapat alasan dalam :
a. Pembatasan jumlah istri
Pembatasan kapada empat orang istri adalah suatu keadilan dan moderat serta melindungi para istrinya dari kezahaliman yang dapat terjadi kepada mereka akibat melebihinya jumlah istri dari empat orang. Ini berbeda dengan adat orang Arab pada masa jahiliyyah serta bangsa-bangsa dimasa yang lampau yang tidak membatasi jumlah istri, serta pengecualian terhadap sebagian mereka.
Pembolehan ini menjelaskan perkara pengecualian yang jarang. Oleh sebab itu, pembolehan ini tidak berarti setiap orang muslim harus kawin lebih dari satu perempuan. Bahkan prinsip satu istri merupakan prinsip mayoritas yang mayoritas dan paling banyak.
Akan tetapi sebagian golongan Syiah berpendapat bahwa maksimum beristri banyak itu dengan menjumlahkan angka dua tambah tiga tambah empat sehingga menjadi Sembilan orang, padahal hal itu tidak dibenarkan.
Petunjuk pembatasan tersebut disimpulkan dalam QS. An-Nisa : 3 dan juga ditegaskan dengan sebuah hadits Rasul. Rasul menyuruh Gailan bin Salamah al-Tsaqafy yang baru masuk islam dulunya ia seorang musyrik mekah yang mempunyai istri sepuluh orang. Lalu Nabi Muhammad menyuruh untuk menceraikan istri-istrinya dan hanya meneruskan hubungan perkawinannya dengan empat orang saja.
Dan Rasulullah Saw bersabda, Artinya : “Barang siapa yang mempunyai dua istri, lalu ia cenderung kepada salah seorang diantaranya dan tidak berlaku adil antara mereka berdua, maka kelak dihari kiamat ia akan datang keadaan pinggangnya miring hampir jatuh sebelah”. (HR. Ahmad Ibn Hanbal).
b. Jangan ada hubungan saudara antara istri yang telah ada dengan calon istri yang akan dikawini lagi.
Islam menetapkan poligami untuk memelihara keluarga muslim dan memelihara kaum wanita, oleh sebab itu agama islam melarang seorang laki-laki mengumpulkan dua orang wanita yang kakak-beradik, atau ibu dan anaknya, atau seorang wanita dengan saudara ayahnya atau dengan saudara ibunya. Itu semuanya adalah agar supaya keluarga muslim itu dapat memelihara berlangsungnya kasih sayang didalamnya, dan mempersempit pengaruh perasaan cemburu agar tidak ada sampai melewati wanita-wanita yang bermadu itu.
E. Prosedur poligami
Prosedur poligami menurut pasal 40 peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1974, menyebutkan bahwa suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Hal ini lebih lanjut dalam pasal 56, 57, dan 58 kompilasi Hukum Islam sebagai berikut :
- Pasal 56 KHI
a. Suami yang hendak beristri lebih dari satu harus mendapat izin dari pengadilan agama.
b. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII peraturan pemerintah No 9 Tahun 1975
c. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum. [6]
- Pasal 57 KHI
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang, apabila :
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
- Pasal 58 HKI
a. Selain syarat yang disebut dalam pasal 55 ayat (2) maka untuk memperolah izin dari pengadilan agama, harus pula ditentukan syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu :
1) Adanya persetujuan istri
2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka
b. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 hurup B peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istrinya dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada siding dipengadilan.
c. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) hurup A, tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
- Pasal 59 KHI
Dalam hal ini isteri tidak mau memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diaturs yang didalam pasal 55 ayat (2) dan 57, pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan dipersidangan pengadilan Agama terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian poligami
poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri atau seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang.
2. Alasan
a. Apabila ada seorang benar-benar ingin mempunyai anak (keturunan), padahal istrinya ternyata mandul, apakah suami itu harus mengorbankan keinginannya untuk berketurunan
b. Apabila ada istri yang menderita sakit hingga tidak mampu melayani suaminya, apakah suami harus menahan saja tanpa tuntutan biologisnya
c. Apabila suatu ketika terjadi dalam suatu masyarakat, jumlah perempuan lebih besar dari jumlah laki-laki, apakah akan dipertahankan laki-laki hanya boleh kawin dengan seorang istri saja
d. Apabila ada orang laki-laki yang kuat syahwatnya, baginya seorang istri belum memadai, apakah ia dipaksa harus hanya beristri satu orang, dan untuk mencukupkan kebutuhannya dibiarkan berhubungan dengan orang lain diluar perkawinan
e. Apabila rasa benci seseorang laki-laki terhadap istrinya pada beberapa waktu
3. Syarat
a. Mampu berbuat adil diantara istri-istrinya
b. Mampu menjaga diri dari pesona fitnah mereka dan menyia-yiakan hak-hak Allah demi mengurusi mereka.
c. Mampu menjaga kehormatan dan citra diri mereka
d. Mampu menafkahi mereka
4. Pembatasan
a. Pembatasan jumlah istri
Pembatasan kapada empat orang istri adalah suatu keadilan dan moderat serta melindungi para istrinya dari kezahaliman yang dapat terjadi kepada mereka akibat melebihinya jumlah istri dari empat orang.
b. Jangan ada hubungan saudara antara istri yang telah ada dengan calon istri yang akan dikawini lagi.
Islam menetapkan poligami untuk memelihara keluarga muslim dan memelihara kaum wanita, oleh sebab itu agama islam melarang seorang laki-laki mengumpulkan dua orang wanita yang kakak-beradik, atau ibu dan anaknya, atau seorang wanita dengan saudara ayahnya atau dengan saudara ibunya.
5. Prosedur poligami
Prosedur poligami menurut pasal 40 peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1974, menyebutkan bahwa suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Hal ini lebih lanjut dalam pasal 56, 57, dan 58 kompilasi Hukum Islam
B. Saran
Didalam makalah ini tentu kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, baik dari penulisan makalah ini dan sebagainya, untuk itu kami selaku pemakalah memohon kritikan dan saran dari teman-teman semua.
DAFTAR PUSTAKA
Azhar, H.Basyir Ahmad, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta : UUI Press, 1999
Kamal, Abu Malik, bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah lengkap jilid 3, Jakarta : Pustaka Azzam, 2007
Abdullah, Boedi dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim, Bandung: Pustaka Setia, 2013
Taufiq Al’Atthar, abdul Nasir, Poligami itinjau Dari Segi Agama, Sosial, Dan Perundang-Undangan, Jakarta : Bulan Bintang, 2010
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003
Az Zuhaili, Wahbah, Fiqih islam wa adillatuhu jilid 9, Jakarta : Gema Insani, 2011
Tihami, dan Sohari Sahrani., Fikh Munakahat : Kajian Fiqh Nikah Lengkap, Jakarta : Rajawali Pers, 2011
H.S.A. Al-Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 6, Bandung : Al-Ma’arif, 1997
Twien Nugroho, “makalah poligami” 14 maret 2014 ,http://twiennugroho.blogspot.com/2014/05/makalah-poligami.html?m=1, diakses pada tanggal 03 maret jam 21. 38
Tidak ada komentar: