Kedudukan Harta dalam Perkawinam

MAKALAH

KEDUDUKAN HARTA DALAM PERKAWINAN

Mata Kuliah: Fikih Munakahat B

Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH


Disusun Oleh:

NORLATIPAH (2019110733)

MUHAMMAD IHSAN (2019110745)


PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

 FAKULTAS SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

 DARUL ULUM KANDANGAN 

1442 H/2021 M



KATA PENGANTAR


Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. karena atas limpahan dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah sederhana ini meskipun sangat jauh dari kata sempurna. Shalawat serta salam tak lupa pula kami haturkan keharibaan junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta para pengikut-pengikut beliau sampai akhir zaman.

Tujuan dalam pembuatan makalah ini antara lain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fikih Munakahat B. Selain itu juga untuk menambahkan wawasan pembaca sekalian tentangKedudukan Harta Dalam Perkawinan.

Makalah ini memang jauh dari kata kesempurnaan, baik dalam isi, susunan, maupun penyajiannya. Untuk itu segala kritik dan saran dari Ibu/Bapa Dosen dan teman-teman semuanya agar bisa mengambil pelajaran dari makalah ini. Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan khususnya bagi para mahasiswa sekalian.


Kandangan, 12 Maret  2021


KELOMPOK 9



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

A. Kedudukan harta bersama menurut fikih

B. Kedudukan harta bersama menurut hukum positif

C. Dasar hukum harta bersama

D. Macam-macam harta bersama

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA



BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam perkawinan, harta sangat penting untuk di pahami oleh setiap pasangan. Baik itu yang akan melangsungkan perkawinan ataupun yang sudah menjalani perkawinan. Suami maupun istri harus mengetahui dan mengerti bagaimana hukum atau kedudukan harta dalam rumah tangga atau dalam keluarga. Dalam perkawinan kedudukan harta benda disamping sarana untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas, juga berfungsi sebagai pengikat perkawinan. Tetapi banyak juga ditemukan keluarga yang memiliki banyak harta benda dalam perkawinan menjadi sumber masalah dan penyebab terjadinya perselisihan dan perceraian suami isteri. Oleh sebab itu perlu ditinjau dari beberapa segi agar hal yang tidak baik dapat dihindari. 

Harta benda dapat memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan penunjang manusia. Dengan adanya harta benda berbagai kebutuhan hidup seperti makanan, pakaian,tempat tinggal, transportasi, rekreasi, penunjang beribadah dan sebagainya dapat dipenuhi. Dalam perkawinan kedudukan harta benda disamping sarana untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas, juga berfungsi sebagai pengikat perkawinan. Tetapi banyak juga ditemukan keluarga yang memiliki banyak harta benda dalam perkawinan menjadi sumber masalah dan penyebab terjadinya perselisihan dan perceraian suami isteri. Oleh sebab itu perlu ditinjau dari beberapa segi agar hal yang tidak baik dapat dihindari.

Dalam kitab-kitab fiqih tidak di kenal adanya pembauran harta suami istri setelah berlangsungnya perkawinan. Suami memiliki hartanya sendiri dan istri memiliki hartanya sendiri. selagi kewajibannya suami memberikan sebagian hartanya itu kepada istrinya atas nama nafkah, yang untuk selanjutnya di gunakan istri bagi keperluan rumah tangganya. Tidak ada penggabungan harta kecuali dalam bentuk  syirkah, yng untuk itu di lakukan dalam suatu akad khusus untuk syirkah. Tanpa akad tersbut harta tetap terpisah.


B. Rumusan Masalah

a. Bagaimana kedudukan harta bersama menurut fikih ?

b. Bagaimana kedudukan harta bersama menurut hukum positif ?

c. Apa Dasar hukum harta bersama ?

d. Apa Macam-Macam Harta Bersama ?


C. Tujuan 

a. Untuk mengetahui kedudukan harta bersama menurut fikih

b. Untuk mengetahuikedudukan harta bersama menurut hukum positif

c. Untuk mengetahui Dasar hukum harta bersama

d. Untuk mengetahui Macam-Macam Harta Bersama



BAB II

PEMBAHASAN

Kedudukan Harta Dalam Perkawinan

A. Kedudukan Harta Bersama Menurut Fikih

Dalam Al-Qur’an dan hadits serta kitab-kitab fiqih, khususnya kitab fiqih perkawinan yang disusun oleh para ulama terdahulu, tidak ada yang membicarakan harta bersama dalam rumah tangga. Permasalahan harta dalam perkawinan yang dikenal dan dibahas panjang adalah kewajiban suami untuk memberikan mahar dan nafkah kepada istrinya. Permasalahan mengenai harta bersama mulai muncul belakangan di sebagian dunia Islam selepas penjajahan barat. Sedangkan di sebagian dunia Islam lainnya hal ini tetap tidak dikenal dan tidak berlaku. 

Di dalam Al Qur’an maupun Hadist tidak memberikan ketentuan dengan tegas   bahwa   harta   benda   yang   diperoleh   suami   selama   perkawinan berlangsung  sepenuhnya menjadi hak suami, dan hak istri hanya terbatas atas nafkah yang diberikan suami. Dalam waktu yang sama Al Qur’an dan Hadits  juga  tidak  menegaskan  bahwa  harta  benda  yang  diperoleh  suami dalam perkawinan,  secara langsung  istri juga ikut berhak atasnya. Dalam menentukan apakah   harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung menjadi harta bersama atau tidak, termasuk masalah ijtihadiah, masalah yang termasuk dalam daerah wewenang manusia untuk menentukannya, bersumber kepada jiwa ajaran Islam. 

Dalam kitab-kitab fiqih tradisional, harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang di hasilkan oleh suami istri selama mereka diikati oleh tali perkawinan, atau dengan perkataan lain disebutkan bahwa harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan syirkah antara suami dan istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat di beda-bedakan lagi. 

Tentang harta bersama dalam Islam menurut Ismail Muhammad Syah, sebagaimana dikutip oleh Yahya Harahap, beliau mengatakan bahwa pencaharian bersama suami istri mestinya masuk dalam rubu’ul mu’amalah, tetapi ternyata secara khusus tidak dibicarakan. Lebih lanjut beliau mengatakan, mungkin hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya pengarang dari kitab-kitab tersebut adalah orang Arab, sedangkan adat Arab tidak mengenal adanya pencaharian bersama suami istri itu.  Tetapi di sana ada dibicarakan tentang masalah perkongsian yang dalam bahasa Arab disebut syarikah atau syirkah. Mungkin perkataan syarikah dalam bahasa Indonesia sekarang itu juga berasal dari bahasa Arab. Selanjutnya beliau mengatakan, oleh karena masalah pencaharian bersama suami istri ini adalah termasuk perkongsian atau syirkah. Dalam hal syirkah, beliau katakan bahwa harta bersama masuk pada pembahasan syirkah muwafadah dan abdan. 

Harta bersama didefinisikan sebagai harta yang dihasilkan pasangan suami istri selama perkawinan berlangsung. Maka harta bersama dikategorikan sebagai syirkah muwafadlah karena perkongsian suami istri dalam harta bersama  itu bersifat tidak terbatas, semua harta yang dihasilkan selama dalam perkawinan menjadi harta bersama, kecuali warisan dan pemberian atau hadiah. Sedangkan harta bersama disebut sebagai syirkah abdaan dikarenakan sebagian besar dari suami istri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja untuk nafkah hidup keluarganya. Para perumus Kompilasi Hukum Islam melakukan pendekatan dari jalur syirkah abdan dengan hukum adat. Cara pendekatan ini tidak bertentangan dengan kebolehan menjadikan urf sebagai sumber hukum dan sejiwa dengan kaidah al ‘adatu al muhakkamah. 

Adanya Harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri. Harta bersama tersebut dapat berupa benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga, sedang yang tidak berwujud bisa berupa hak dan kewajiban. Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan dari pihak lainnya. Suami istri, tanpa persetujuan dari salah satu pihak, tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama tersebut. Dalam hali ini, baik suami istri, mempunyai pertanggung jawaban untuk menjaga harta bersama. 

Dalam Hukum Islam, harta bersama suami istri pada dasarnya tidak dikenal, karena hal ini tidak dibicarakan secara khusus dalam kitab fikih. Hal ini sejalan dengan asas pemilikan harta secara individual (pribadi). Atas dasar ini, suami wajib memberikan nafkah dalam bentuk biaya hidup dengan segala kelengkapannya untuk anak dari istrinya dari harta suami sendiri Harta Bersama dalam Islam lebih identik diqiyaskan dengan Syirkah abdan mufawwadhahyang berarti perkongsian tenaga dan perkongsian tak terbatas. 

Pencaharian bersama itu termasuk kedalam kategori syirkah mufawwadhah karena perkongsingan suami istri itu tidak terbatas. Apa saja yang mereka hasilkan selama dalam masa perkawinan menjadi harta bersama, kecuali yang mereka terima sebagai harta warisan atau pemberi secara khusus kepada suami istri tersebut.       Harta bersama adalah harta yang diperoleh suami atau istri karena usahanya dalam masa perkawinan, baik mereka bekerja besama-samauntuk mendapatkan harta ataupun hanya sang suami saja yang bekerja sedangkan istri hanya berada dirumah untuk mengurus rumah tangga beserta anak-anak di rumah. 

B. Kedudukan harta bersama menurut hukum positif

Salah satu akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah adalah terciptanya harta benda perkawinan. Harta atau kekayaan perkawinan diperlukan guna memenuhi segala keperluan yang dibutuhkan dalam kehidupan berkeluarga. Harta tersebut ada yang diperoleh sebelum perkawinan dan sesudah dilangsungkannya perkawinan. Mengenai harta kekayaan dalam perkawinan telah diatur dalam hukum positif Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam. Namun dalam tulisan ini hanya akan membahas pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

Ketentuan tentang harta kekayaan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur pada bab VII dengan judul “harta benda dalam perkawinan” yang terdiri dari tiga pasal yaitu pasal 35, 36 dan 37. Dalam ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa harta dalam perkawinan itu terdiri atas harta bersama, harta bawaan dan harta perolehan. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan olehkarena itu ia menjadi milik bersama suami dan istri. Karena demikian sifatnya, maka terhadap harta bersama suami istri dapat bertindak hanya atas persetujuan bersama. Harta bawaan adalah harta yang dimiliki oleh masing-masing suami atau istri sebelum perkawinan sedangkan harta perolehan adalah harta yang diperoleh masing-masing suami istri berupa hibah atau warisan selama dalam ikatan perkawinan. Terhadap harta bawaan dan harta perolehan menjadi  hak dan dikuasai sepenuhnya oleh masing-masing suami atau istri. 

Berdasarkan bunyi Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 pada dasarnya menyatakan bahwa harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung antara suami istri. Dalam Pasal 35 ayat (1) tersebut tidak disebutkan secara jelas tentang atas jerih payah atau hasil kerja siapa harta bersama itu diperoleh, apakah hasil kerja suami atau istri. Dalam pasal tersebut yang jelas adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama yang dimiliki bersama oleh suami istri tanpa memperhitungkan siapa yang bekerja menghasilkan harta benda tersebut. 

Dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah ditegaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama, ini berarti bahwa harta bersama itu terbentuk sejak tanggal terjadinya perkawinan atau sejak akad nikah dilangsungkan sampai perkawinan itu putus baik putus karena kematian atau perceraian. Ketentuan tentang suatu barang atau benda termasuk harta bersama atau tidak ditentukan oleh faktor selama perkawinan antara suami dan istri berlangsung, semua barang atau harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung menjadi harta bersama kecuali harta yang didapatkan oleh masingmasing suami istri berupa warisan, wasiat dan hibah oleh satu pihak, harta ini menjadi harta pribadi yang menerimanya. 

Berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, suami ataupun istri dapat bertindak terhadap harta benda milik bersama berdasarkan atas persetujuan kedua belah pihak. Dengan demikian, jika salah satu pihak, baik suami atau istri tidak setuju dengan suatu tindakan terhadap harta bersama, maka tindakan atau perbuatan hukum tersebut tidak dapat dilakukan. Hal ini berarti bahwa persetujuan kedua belah pihak yaitu suami dan istri menjadi syarat dapat dilakukannya suatu tindakan terhadap harta benda milik bersama. Keadaan harta milik bersama yang demikian itu dapat dijadikan sebagai barang jaminan (agunan) oleh suami atau istri atas persetujuan pihak lainnya. Persetujuan tersebut tidak harus dinyatakan dengan tegas, tapi dapat saja diberikan secara diam-diam. 

Harta bersama antara suami istri dapat dibagi ketika hubungan perkawinan telah berakhir atau telah terputus. Hubungan perkawinan tersebut dapat terputus karena kematian, perceraian  dan juga putusan pengadilan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 37 mengatakan : “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing dijelaskan dalam penjelasan Pasal 37 yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. 

C. Dasar hukum harta bersama

Dalam Al-Qur‟an dan Sunnah serta berbagai kitab-kitab hukum fiqh harta bersama tidak diatur dan tidak ada pembahasannya secara rinci. Harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka diikat oleh tali perkawinan, atau dengan perkataan lain disebut bahwa harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara suami dan istri sehingga terjadi percampuran harta satu dengan harta yang lain dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi. 

Sebagaimana Firman Allah S.W.T dalam surat An-Nisa ayat 32 :


وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا


Artinya : Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. 

Berdasarkan ayat di atas bahwa setiap laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan semua wanita dari apa yang mereka usahakan pula. Ayat tersebut menjelaskan adanya persamaan antara kaum pria dan wanita. Kaum wanita di syariatkan untuk mendapat mata pencaharian sebagaimana kamu pria. Keduanya dibimbing kepada karunia dan kebaikan yang berupa harta dengan jalan beramal dan tidak merasa iri hati 

D. Macam-Macam Harta Bersama

Ada beberapa harta yang berkenaan dengan harta bersama yang lazim dikenal di Indonesia antara lain :

e. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan oleh para pihak karena usaha mereka masing-masing, harta jerih ini adalah hak dan dikuasai masingmasih pihak suami atau istri. 

f. Harta yang pada saat mereka menikah diberikan kepada kedua mempelai mungkin berupa modal usaha atau perabotan rumah tanggaatau tempat tinggal, apabila terjadi perceraian maka harta tersebut kembali kepada orang tua atau keluarga yang memberikan semula. 

g. Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung tetapi karena hibah atau warisan dari orang tua mereka atau keluarga terdekat. 

h. Harta yang diperoleh sesudah mereka dalam hubungan perkawinan berlangsung atau usaha mereka berdua atau salah seorang dari mereka disebut juga harta matapencaharian, dan harta jenis ini menjadi harta bersama. 


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan makalah diatas tadi, dapat diambil kesimpulan bahwa Dalam Al-Qur’an dan hadits serta kitab-kitab fiqih, khususnya kitab fiqih perkawinan yang disusun oleh para ulama terdahulu, tidak ada yang membicarakan harta bersama dalam rumah tangga. Permasalahan harta dalam perkawinan yang dikenal dan dibahas panjang adalah kewajiban suami untuk memberikan mahar dan nafkah kepada istrinya. Permasalahan mengenai harta bersama mulai muncul belakangan di sebagian dunia Islam selepas penjajahan barat. Sedangkan di sebagian dunia Islam lainnya hal ini tetap tidak dikenal dan tidak berlaku.

Di dalam Al Qur’an maupun Hadist tidak memberikan ketentuan dengan tegas   bahwa   harta   benda   yang   diperoleh   suami   selama   perkawinan berlangsung  sepenuhnya menjadi hak suami, dan hak istri hanya terbatas atas nafkah yang diberikan suami. Dalam waktu yang sama Al Qur’an dan Hadits  juga  tidak  menegaskan  bahwa  harta  benda  yang  diperoleh  suami dalam perkawinan,  secara langsung  istri juga ikut berhak atasnya. Dalam menentukan apakah   harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung menjadi harta bersama atau tidak, termasuk masalah ijtihadiah, masalah yang termasuk dalam daerah wewenang manusia untuk menentukannya, bersumber kepada jiwa ajaran Islam.

Sedangkan menurut hukum positif, dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah ditegaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama, ini berarti bahwa harta bersama itu terbentuk sejak tanggal terjadinya perkawinan atau sejak akad nikah dilangsungkan sampai perkawinan itu putus baik putus karena kematian atau perceraian. Ketentuan tentang suatu barang atau benda termasuk harta bersama atau tidak ditentukan oleh faktor selama perkawinan antara suami dan istri berlangsung, semua barang atau harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung menjadi harta bersama kecuali harta yang didapatkan oleh masingmasing suami istri berupa warisan, wasiat dan hibah oleh satu pihak, harta ini menjadi harta pribadi yang menerimanya.

B. Kritik dan Saran

Demikian makalah ini yang dapat kami buat. Kami sangat menyadari bahwa makalah yang kami buat ini jauh dari kata sempurna karana dari itu kami minta kritik dan sarannya dari pembaca untuk lebih baik lagi kami meneulis makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua. Aamiin



DAFTAR PUSTAKA

Sutanto, Dedi 2011, Kupas Tuntas Harta Gana Gini, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 129  

Azhar Basyir, Ahmad M.A, 2000,  Hukum Perkawinan Islam, UII Pres, Yogyakarta, h.66

Manan, Abdul Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta, Kencana, 2006) h. 109

Harahap, Yahya 2009, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7          Tahun 1989, Cet 5, Sinar Grafika, Jakarta, h. 270-271

Sobari Sahrani, Tihami Fikih Munakahat Kajian Fikih Lengkap, Ct. 3 (Jakarta,  Rajawali Pers, 2013, h. 179

Ramulyo, Mohammad Idris Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2000) h. 34

Dewi Judiasih, Sonny 2015, Kajian Terhadap Kesetaraan Hak dan Kedudukan Suami dan Istri atas Kepemilikan Harta Dalam Perkawinan, PT.Refika Aditama, Bandung,  h. 23

Aminuddin, Slamet Abidin  1999, Fiqh Munakahat I, Pustaka Setia, Bandung, h. 182

Syahrani, Abdurrahman dan Riduan 1978, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni, Bandung

Usman, Rachmadi 2006, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di   Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta

Ramulyo, Moh. Idris Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum acara Peradilan Agama dan Zakat, op.cit, h. 35

UU No. 1 Tahun 1974, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Direktorat 

Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI tahun 2001


Tidak ada komentar:

Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia

 MAKALAH “Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia ” Mata Kuliah: Hukum Perdata Islam di Indonesia B  Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH ...

Diberdayakan oleh Blogger.