Hadhanah

MAKALAH

HADHANAH

Mata Kuliah : Fiqih Munakahat B

Dosen Pengajar : Noor Efendy, S.H.I., M.H

 

Nama Kelompok 8 :

Ataillah Al Maki (2019110702)

Rina (2019110723)


PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

DARUL ULUM KANDANGAN

TAHUN 2020 M / 1442 H

 


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Fiqih Munakahat B dengan judul “Hadhanah”.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Kami berharap semoga ilmu dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi kami pribadi yang membuat makalah ini dan juga para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.


Kandangan, 5 Maret  2021



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadhanah dan apa saja syarat-syarat bagi orang yang melakukan Hadhanah

B. Kedudukan Hukum beserta Dalil-dalil mengenai Hadhanah

C. Batas waktu Hadhanah menurut pendapat para Mazhab

D. Yang berwenang dalam menetapkan Hadhanah

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA



BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah seorang yang wajib untuk dilindungi dari segala yang dapat menyulitkan dirinya, untuk dapat memberikan suatu kebaikan yang dilaksanakan oleh kedua orang tuanya, dan dengan adanya Hadhanah sangatlah penting kiranya Hadhanah ini diserahkan kepada pihak ibu, karena hadhanah ini merupakan pekerjaan yang membutuhkan sangat tanggung jawab dan ketelatenan dalam melakukannya.

Dalam syariat Islam telah ditetapkan mengenai hukum mengasuh (Hadhanah) seorang anak, menyanyangi mereka, mnjaga dan memenuhi kebutuhan mereka, serta berbuat baik kepada mereka. Karena, jika mereka ditinggalkan begitu saja tanpa ada yang memperhatikannya mak mereka akan tersesat dan mendapat bahaya. Padahal agama kita adalah agama yang mengajarkan kasih sayang, saling memikul beban dan mengajarkan sebuah persamaan.

Islama adalah agama yang melarang kita untuk menyia-nyiakan anak dan  wajib menanggung kehidupan mereka serta kewajiban ini sudah menjadi hak anak asuh yang harus didapatkan dari keluarganya. Yakni hak untuk diasuh, dipelihara, diberika pendidikan, mendapat perlindungan, serta mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. 


B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Hadhanah dan apa saja syarat-syarat bagi orang yang melakukan Hadhanah?

2. Bagaimana kedudukan hukum  beserta Dalil-dalil mengenai Hadhanah?

3. Kapan batas waktu Hadhanah menurut pendapat para Mazhab?

4. Siapakah yang berwenang dalam menetapkan Hadhanah?


C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui apa pengertian Hadhanah dan apa saja syarat-syarat bagi orang yang melakukan Hadhanah!

2. Untuk mengetahui Bagaimna kedudukan hukum beserta Dalil-dalil mengenai Hadhanah!

3. Untuk mengetahui Kapan batas waktu Hadhanah menurut pendapat para Mazhab!

4. Untuk mengetahui Siapakah yang berwenang dalam menetapkan Hadhanah!



BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadhanah dan Syarat-syarat bagi yang melakukan Hadhanah

1. Pengertian Hadhanah

Hadhanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendung, atau meletakkan sesuatau dalam pangkuan. Seorang ibu waktu menyusukan, meletakkan anak dipangkuannya, dan melindunginya dari segala yang menyakiti. Jadi erat hubungannya dengan pengertian tersebut, sedangkan hadhanah menurut istilah ialah tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir sampai mampu menjaga dan mengatur dirinya sendiri. 

Jadi seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu memerlukan orang lain dalam hidupnya, baik dalam mengatur fisiknya, maupun dalam pembentukan akhlaknya. Seseorang yang melakukan tugas hadhanah sangat berperan penting dalam hal tersebut. oleh sebab itu masalah hadhanah mendapatkan perhatian khusus dalam ajaran islam karena diatas pundak kedua orang tuanya lah terletak kewajiban untuk melakukan tugas tersebut. 

Para ulama fiqih mendefinisikan hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak- anak yang masih kecil, baik laki-laki atau perempuan atau yang sudah besar tetapi belum mumayiz, menjauhkan sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab. 

Sedangkan Menurut Wahbah Al-Zuhaili, hadhanah merupakan hak bersama antara kedua orang tua serta anak-anak, sehingga apabila nantinya timbul permasalahan dalam hadhanah maka yang di utamakan adalah hak anak.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadhanah adalah mengasuh atau memelihara anak yang masih kecil atau dibawah umur dari segala fisik, mental, maupun moralnya yang dapat berpengaruh buruk terhadap anak yang belum bisa mengurus dirinya sendiri, agar menjadi manusia yang bertanggung jawab dalam hidupnya.

Jadi pada dasarnya pemeliharaan anak menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya, yang mana meliputi berbagai bidang seperti masalah ekonomi, perhatian, kasih sayang, maupun pendidikan yang mencakup penddidikan agama atau pun pendidikan umum.  

2. Syarat-syarat bagi yang melakukan Hadhanah

Untuk kepentingan anak dan pemeliharaannya diperlukan beberapa syarat bagi yang melakukan Hadhanah yakni sebagai berikut:

1) Yang melakukan Hadhanah hendaklah sudah balig berakal, tidak terganggu ingatannya, sebab hadhanah itu merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab. Oleh sebab itu seorang ibu yang mendapat gangguan jiwa atau gangguan ingatan tidak layak melakukan tugas hadhanah. Ahmad bin Hambal menambahkan agar yang melakukan hadhanah tidak mengidap penyakit menular.

2) Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik mahdun (anak yang diasuh), dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar.

3) Seorang yang melakukan hadhanah hendaklah dapat dipercaya memegang hadhanah, sehingga dengan itu dapat lebih menjamin pemeliharaan anak. Orang yang rusak akhlaknya tidak dapat memberikan contoh yang baik kepada anak yang diasuhnya, oleh karena itu ia tidak layak melakukan tugas ini.

4) Jika yang akan melakukan hadhanah itu ibu kandung dari anak yang akan diasuh disyaratkan tidak kawin dengan laki-laki lain. dasarnya adalah penjelasan Rasulullah bahwa seorang ibu hanya mempunyai hak hadhanah bagi anaknya selama ia belum menikah dengan lelaki lain (HR Abu Daud). Adanya persyaratan tersebut disebabkan kekhawatiran suami kedua tidak merelakan istrinya disibukkan mengasuh anaknya dari suami pertama. Oleh karena itu, seperti disimpulkan ahli-ahli fiqh, hak hadhanah nya tidak menjadi gugur jika ia menikah dengan kerabat dekat si anak yang memperhatikan kasih sayang dan tanggung jawabnya. Demikian pula hak hadhanah tidak gugur jika ia menikah dengan lelaki yang rela menerima kenyataan hal itu terjadi pada diri Ummu Salamah, ketika ia menikah dengan Rasulullah, anaknya dengan suami pertama selanjutnya tetap dalam asuhannya (HR Ahmad). Berdasarkan kenyataan ini Ibnu Hazmin berpendapat tidak gugur hak hadhanah seorang ibu dengan menikahnya dia dengan lelaki lain kecuali jika suami kedua itu jelas menolaknya.

5) Seseorang yang melakukan hadhanah haruslah beragama islam. Seorang non muslim tidak berhak dan tidak boleh ditunjuk sebagai pengasuh. Tugas mengasuh termasuk kedalamnya usaha mendidik anak menjadi muslim yang baik, dan hal itu menjadi kewajiban mutlak atas kedua orang tua. Para ahli fiqh mendasarkan kesimpulan tersebut pada ayat 6 sutah At-Tahrim yang mengajarkan agar memelihara diri dan keluarga dari siksa neraka. Untuk tujuan itu perlu pendidikan dan pengarahan dari waktu kecil. Tujuan tersebut akan sulit terwujud bila mana yang mendampingi atau yang mengasuhnya bukan seorang muslim  


B. Kedudukan Hukum beserta Dalil-dalil mengenai Hadhanah

Hadhanah yang disepakati oleh ulama fiqih menyatakan bahwa prinsipnya hukum merawat dan mendidik anak adalah kewajiban bagi kedua orang tuanya. Karena apabila anak yang masih kecil atau belum mumayiz yang tidak dirawat dan di didik dengan baik maka akan berakibat buruk pada diri dan masa depan anak tersebut bahkan dapat mengancam eksistensi jiwa mereka. Oleh sebab itu anak-anak tersebut wajib dipelihara dan dirawat serta di didik dengan baik oleh orang tuanya.  

Sebagaimana yang terdapat didalam firman Allah SWT.

يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْۤا اَنْفُسَكُمْ وَاَ هْلِيْكُمْ نَا رًا وَّقُوْدُهَا النَّا سُ وَا لْحِجَا رَةُ عَلَيْهَا مَلٰٓئِكَةٌ غِلَا ظٌ شِدَا دٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَاۤ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."(QS. At-Tahrim 66: Ayat 6)

Jadi Ayat di atas menjelaskan bahwa setiap manusia muslim mempunyai beban atau kewajiban dan tanggung jawab untuk memelihara diri dan keluarganya dalam bentuk apapun dari api neraka. Karena api neraka yang dapat membuat diri dan jiwa manusia menderita atau sengsara dan yang bertanggung jawab atas semuanya adalah manusia itu sendiri untuk memelihara dirinya dan keluarganya (anak-anak dan istrinya) dari siksa api neraka dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan segala sesuatu yang dilarangan oleh Allah. Jadi mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya adalah wajib sebab mengabaikannya berarti  menghadapkan anak-anak yang masih kecil pada bahaya kebinasaan. Jadi sudah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil untuk mendapatkan pengawasan atau penjagaan dalam pelaksanaan urusannya dari orang yang mendidiknya terutama ibunya. 

Selain itu kewajiban bagi orang tua (pengasuh) untuk memelihara hak anak tersebut, termasuk terhadap hartanya suatu keharusan bagi orang tua untuk memberikan wasiat kepada orang yang dapat dipercaya dalam hal pengasuhan anak agar ada kemaslahatan bagi anak-anaknya sehingga tidak tersia-siakan. Sebagaimana  Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَا فُوْا عَلَيْهِمْ  ۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوا قَوْلًا سَدِيْدًا

"Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar."(QS. An-Nisa' 4: Ayat 9)

Ayat di atas menjelaskan mengenai tanggung jawab sebagai orang tua agar cerdas bila meninggalkan keturunannya yang lemah dalam segala hal baik itu dalam arti lahiriyah maupun rohaniahnya. Jadi artinya orang tua mempunyai kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya agar nantinya tumbuh dan berkembang secara normal. Selain itu Ayat di atas juga dapat ditafsirkan dalam proses pelaksanaan fungsi pendidikan setiap keluarga harus benar-benar mempersiapkan masa depan keturunannya dengan sebaik-baiknya 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga berfirman:

وَأْمُرْ اَهْلَكَ بِا لصَّلٰوةِ وَا صْطَبِرْ عَلَيْهَا  ۗ لَا نَسْــئَلُكَ رِزْقًا  ۗ نَحْنُ نَرْزُقُكَ  ۗ وَا لْعَا قِبَةُ لِلتَّقْوٰى

"Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan sholat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa."(QS. Ta-Ha 20: Ayat 132)

Dan dalam QS. Lukman ayat 17 Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


يٰبُنَيَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ بِا لْمَعْرُوْفِ وَا نْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَا صْبِرْ عَلٰى مَاۤ اَصَا بَكَ  ۗ اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُ مُوْرِ  ۚ  

"Wahai anakku! Laksanakanlah sholat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting."(QS. Luqman 31: Ayat 17)

 Jadi dari kedua surah yang ada diatas sama-sama menjelaskan kepada kita tentang kewajiban orang tua dalam memelihara dan mendidik anak-anaknya yang mana bersifat mutlak. Karena itulah Rasulullah telah tegas mengingatkan kepada kita agar hendaklah anak-anak mulai didik untuk mengerjakan salat sejak ia berumur 7 tahun, dan jika ia sampai berusia 10 tahun tetapi ia belum juga melaksanakan salat maka orang tua wajib memukulnya. Perintah dari rasulullah tersebut menyatakan bahwa pendidikan seorang anak yang belum dewasa haruslah seimbang, yang mana pendidikan keduniaan ditunjukkan untuk mempersiapkan masa depan si anak sehingga suatu saat setelah dewasa ia bisa mandiri dalam artian mampu memelihara dan mencukupi kebutuhan ekonominya sendiri. Dan  pendidikan agama dimaksudkan agar anak setelah dewasa tetap tunduk dan patuh terhadap perintah dan juga larangan Allah subhanahu Wa ta'ala. 


C. Batas Waktu Hadhanah

Mengenai penetapan batas waktu atau umur hadhanah daik anak laki-laki atau perempun para ulama berbeda pendapat:

Ulama Hanafi berpendapat bahwa masa asuhan atau hadhanah adalah tujuh tahun untuk laki-laki dan Sembilan tahun untuk perempuan. Hadhanah anak laki-laki berakhir pada saat anak itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan dapat mengurus keperluannya sehari-hari sendiri seperti makan, minum dan sebagainya.sedangkan masa hadhanah anak perempuan berakhir apabila ia telah baligh atau telah datang masa haid pertamanya.

Kemudian menurut Ulama Syafi’I mengatakan tidak ada batasan tertentu bagi asuhan (hadhanah). Yakni anak tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan apakah ia ingin tinggal bersama ayah atau ibunya. Maka kalau seorang anak laki-laki memilih tinggal bersama ibunya, maka dia boleh tinggal bersama ibunya pada malam hari dan dengan ayahnya disiang harinya agar si ayah bisa mendidiknya. Sedangkan bila ia seorang anak perempuan dan memilih tinggal bersama ibunya maka dia boleh tinggal bersama ibunya siang dan malam. Tetapi apabila anak itu memilih tinggal bersama ibu dan ayahnya maka di lakukan undian bila si anak diam tidak memberikan pilihan dia ikut bersama ibunya.

Menurut mazhab Maliki masa asuh (Hadhanah) bagi seorang anak laki-laki adalah sejak dilahirkan hingga ia balig. Sedangkan bagi seorang anak perempuan sampai ia menikah.

Sedangkan menurut iman Hambali masa asuh (Hadhanah) seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan adalah tujuh tahun dan sesuadah itu maka anak disuruh memilih apakah ia ingin tinggal bersama ibu atau ayahnya, lalu sianak itu pun tinggal bersama orang yang dipilihnya.

Sedangkan menurut Ulama Hanabilah ia sepakat dengan pendapat mazhab Syafi’I yaitu apabila seorang anak laki-laki yang sudah berumun tujuh tahun dan telah mencapai usia tersebut maka dia dipersilahkan untuk memilih diantara kedua orang tuanya  adapun jika dia seorang anak perempuan dan sudah mencapai umur tujuh tahun atau lebih maka sang ayah lebih berhak sampai ia balig dan untuk mengurusnya tanpa diberi kesempatan untuk memilih. 


D. Kewenangan Menetapkan Hadhanah

Jadi yang berwenag menetapkan hak Hadhanah adalah putusan pengadilan agama apabila terjadi perceraian diantara suami dan istri yang mana suatu gugatan perceraian bisa mengundang berbagai permasalahan, disamping gugatan cerai itu sendiri muncul pula masalah-masalah lain seperti masalah pembagian harta bersama, dan juga masalah Hadhanah (pemeliharaan) terhadap anak sebagai contohnya seperti yang terjadi di beberapa kasus dibawah ini yakni:

Dalam kasus yang pertama hak Hadhanah oleh ibu yang murtad pindah kepada ayah, karena ibu tidak memenuhi persyaratan sebagai hadhin yakni tidak beragama islam berdasarkan (QS. An-Nisa 141) ini pendapat Syafi’iyah. Dan dalam suatu perkara ini telah ditetapkan oleh pengadilan agama bahwa gugatan hadhanah terhadap seorang anak yang lahir dari perkawinan secara islam, kemudian perkawinan itu menjadi terputus dengan kembalinya tergugat (istri) kepada agama aslinya, Kristen Protestan. Penggugat (bekas suami) mengajukan gugatan agar ia ditetapkan sebagai orang yang lebih berhak melakukan hadhanah terhadap anak tersebut. Alasannya adalah karena ia khawatir anaknya yang baru berumur tujuh tahun itu terpengaruh menjadi pemeluk Kristen Protestan bila ia dalam pemeliharaan ibunya. 

Dalam kasus yang kedua hak hadhanah oleh seorang ibu pindah kepada seorang ayah bila ibu sebagai hadhin sibuk dengan aktivitas diluar rumah, artinya ibu tidak focus dan banyak waktu memberikan pengasuhan kepada anaknya, sementara anaknya sangat dekat dengan ayahnya. Maka alasan hakim dalam perkara ini menetapkan ayah sebagai hadhin karena telah mengasuh anaknya dengan baik, hal ini mengutamakan kemaslahatan untuk anak dan mengabaikan hak hadhanah oleh ibunya.

Dalam kasus yang ketiga hak hadhanah pindah kepada ayah karena dia punya kemampuan atau kopentesi dalam pengasuhan anak, seperti berakhlak mulia, punya kopentinsi dalam ilmu pendidikan, dan kopetensi sosial serta dapat memberikan waktu yang cukup untuk pengasuhan anaknya karena dalam perkara ini disaat terjadi perselisihan istri meninggalkan rumah dan anak-anak nya sehingga yang mengasuh anak adalah ayahnya.  

Jadi pada intinya hakim lebih mementingkan kemaslahatan anak dari pada berpedoman kepada kompilasi hukum islam pasal 105 yang menyebutkan pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau berumur 12 tahun adalah ibunya. Karena hakim dalam memutuskan suatu perkara tidak hanya sebagai corong undang-undang, tetapi hakim boleh berijtihad dan menyampingkan pasal undang-undang tertentu dan menetapkan putusan berdasarkan ijtihan nya sendiri dengan syarat hakim mampu mengemukakan dasar-dasar pertimbangan yang rasional dan mewujudkan kemaslahatan, bahwa pasal yang disingkirkan benar-benar bertentangan dengan kepentingan umum, kepatutan, peradaban dan kemanusiaan, sehingga bila pasal itu diterapkan akan menimbulkan keresahan dan ketidak patutan. 



BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Jadi dapat disimpulkan bahwa hadhanah adalah mengasuh atau memelihara anak yang masih kecil atau dibawah umur dari segala fisik, mental, maupun moralnya yang dapat berpengaruh buruk terhadap anak yang belum bisa mengurus dirinya sendiri, agar menjadi manusia yang bertanggung jawab dalam hidupnya. Dan pada dasarnya pemeliharaan anak menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya, yang mana meliputi berbagai bidang seperti masalah ekonomi, perhatian, kasih sayang, maupun pendidikan yang mencakup penddidikan agama atau pun pendidikan umum.

Mengenai penetapan batas waktu atau umur hadhanah daik anak laki-laki atau perempun para ulama yakni Ulama Hanafi berpendapat bahwa masa asuhan atau hadhanah adalah tujuh tahun untuk laki-laki dan Sembilan tahun untuk perempuan. Kemudian menurut Ulama Syafi’I mengatakan tidak ada batasan tertentu bagi asuhan (hadhanah). Yakni anak tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan apakah ia ingin tinggal bersama ayah atau ibunya. Menurut mazhab Maliki masa asuh (Hadhanah) bagi seorang anak laki-laki adalah sejak dilahirkan hingga ia balig. Sedangkan bagi seorang anak perempuan sampai ia menikah. Sedangkan menurut iman Hambali masa asuh (Hadhanah) seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan adalah tujuh tahun dan sesuadah itu maka anak disuruh memilih apakah ia ingin tinggal bersama ibu atau ayahnya. Sedangkan menurut Ulama Hanabilah ia sepakat dengan pendapat mazhab Syafi’I yaitu apabila seorang anak laki-laki yang sudah berumun tujuh tahun dan telah mencapai usia tersebut maka dia dipersilahkan untuk memilih diantara kedua orang tuanya.

B. Saran 

Saran dari kami agar pembaca dapat menjadikan makalah ini sebagai pengetahuan dasar untuk mencari pengetahuan yang lebih jauh tentang Hadhanah (mengasuh atau mendidik anak). Dan Kami  masih menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kata kesempurnaan, untuk itu kami membutuhkan saran dan kritik dari kalian semua yang bersifat membangun, agar dapat tercipta makalah yang lebih baik lagi untuk ke depannya.



DAFTAR PUSTAKA

Effendi Satria, PROBLEMATIKA HUKUM KELUARGA ISLAM KONTEMPORER, (Rawamangun Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2004), cet. ke-2.

Abidin Slamet, Fiqih Munakahat II, (Bandung: Pustaka Setia, 1999).

Zuhaili Wahbah, Al-Fiqhu Al-Islami Wa Adillztuhu Juz VII, (Damaskus: Daar Al Fikr, 1984).

Alam Andi Samsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Prespektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. Ke-1.

Ghazaly Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Pranada Media Group, 2003), cet. Ke-3.

Talhah Ali bin Abu, Tafsir Ibnu Abbas, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hal. 178

Mughniyah Muhammad Jawab, Fiqih Lima Mazhab,(Jakarta: Lentera, 1996).

Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997).


Tidak ada komentar:

Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia

 MAKALAH “Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia ” Mata Kuliah: Hukum Perdata Islam di Indonesia B  Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH ...

Diberdayakan oleh Blogger.