Nashab dan Hak Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak
MAKALAH
NASHAB DAN HAK KEWAJIBAN ORANG TUA TERHADAP ANAK
Mata Kuliah : Fikih Munakahat B
Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH
Disusun oleh :
Kelompok 7
Muhammad Ilham Maulana Ash-Shidiq (2019110739)
Lina (2019110743)
Prodi Hukum Keluarga Islam (Ahwal Al-Syakhshiyah)
Fakultas Syariah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM KANDANGAN
TAHUN 2021/2022
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembelajaran
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Nashab
B. Sebab-sebab Terjadinya Hubungan Nasab
C. Cara menetapkan nasab
D. Hak dan Kewajiban Orang Tua Tehadap Anak
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anak memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Anak merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut. Ia dianggap sebagai modal untuk meninggkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status social orang tua.
Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua masih hidup, anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal, anak adalahlambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk, tinggi, maupun rendah.
Anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya[1]. Begitu pentingnya eksistensi anak dalam kehidupan manusia, maka Allah SWT mensyari’atkan adanya perkawinan. Pensyari’atan perkawinan memiliki tujuan antara lain untuk berketurunan (memiliki anak) yang baik, memelihara nasab, menghindarkan diri dari penyakit dan menciptakan kaluarga yang sakinah.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT adalah tempatnya salah dan lupa. Banyak orang tua yang lupa akan kewajibannya terhadap sang anak karena lebih mementingkan urusan duniawi dan menelantarkan anak mereka sehingga sang anak menjadi kurang kasih sayang dan kebanyakan terpengaruh oleh pergaulan negatif dari lingkungan sekitarnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan nasab?
2. Apa saja sebab-sebab hubungan nasab?
3. Bagaimana cara menetapkan nasab?
4. Apa saja hak dan kewajiban orang tua terhadap anak?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa itu nasab
2. Untuk mengetahui apa saja sebab-sebab hubungan nasab
3. Untuk mengetahui bagaimana cara menetapkan nasab
4. Untuk mengetahui apa saja hak dan kewajiban orang tua terhadap anak
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nasab
Secara etimologis istilah nasab berasal dari bahasa arab “an-nasab” yang berarti ”keturunan kerabat”, memberikan ciri dan menyebutkan keturunannya. Nasab juga dipahami sebagai pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah. Ulama Fiqih mengatakan bahwa nasab merupakan salah satu pondasi yang kokoh dalam membina suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat antar pribadi berdasarkan kesatuan darah.
Sedangkan secara terminologis, nasab diartikan sebagai keturunan atau ikatan keluarga sebagai hubungan darah, baik karena hubungan darah ke atas (bapak, kakek, ibu, nenek, dan seterusnya), kebawah (anak, cucu dan seterusnya), maupun ke samping (saudara, paman, bibi dan lain-lain).
B. Sebab-sebab Terjadinya Hubungan Nasab
Nikah merupakan jalan untuk menentukan dan menjaga asal usul (nasab) seseorang. Dalam pengertian nasab seseorang bisa dinisbahkan kepada kedua orang tuanya kalau ia dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Sedangkan nasab anak yang lahir dari perempuan yang dinikahi pada waktu hamil sebagai akibat dari zina, maka nasab anak tersebut hanya dihubungkan dengan ibu yang melahirkan nya dan dengan orang-orang yang hubungan nasab dengan ibunya. Nasabnya tidak dihubungkan dengan laki-laki yang menghamili ibunya karena tidak terjadi al-firasy (perkawinan yang sah)
Dalam perpekstif hukum islam nasab anak terhadap ayah bisa terjadi karena tiga hal :
1. Melalui perkawinan yang sah
Para Sarjana Hukum Islam (ulama fikih) sepakat bahwa anak yang lahir dari seorang wanita dalam suatu perkawinan yang sah, di nasabkan kepada suami wanita tersebut. Hal ini sejalan dengan bunyi hadis:
Artinya :
“Diriwayatkan dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: “anak itu bagi siapa yang menggauli ibunya (dalam nikah yang sah)’ (HR. Muslim).
Hadis diatas menegaskan bahwa nasab anak yang lahir dalam dan karena perkawinan yang sah adalah dihubungkan kepada ayah kandungnya. Ketentuan ini tidak berlaku disebabkan kehamilan yang dilakukan karena perzinaan antara seorang laki-laki dan perempuan. Dalam konteks ini nasab anak hanya dihubungkan kepada ibu dan keluarganya saja.
2. Melalui perkawinan yang fasid
Pernikahan fasid adalah pernikahan yang dilangsungkan dalam keadaan kekurangan syarat, baik keseluruhan maupun sebagian, seperti tidak ada wali (bagi Mazhab Hanafi wali tidak menjadi syarat sahnya perkawinan)dan tidak ada saksi atau saksinya itu adalah saksi palsu. Menurut kesepakatan ulama Fiqih penetapan nasab anak yang lahir dalam pernikahan fasid sama dengan penetapan anak dalam pernikahan sah, akan tetapi ulama Fiqih mengemukakan tiga syarat dalam penetapan nasab anak dalam pernikahan fasid tersebut yaitu :
a. Suami mempunyai kemampuan menjadikan istrinya hamil yaitu seorang yang baligh dan tidak mempunyai penyakit yang dapat menyebabkan istrinya tidak bisa hamil
b. Hubungan seksual benar-benar bisa dilaksanakan
c. Anak yang dilahirkan dalam waktu enam bulan atau lebih setelah terjadi akad nikah fasid tersebut (menurut jumhur ulama) dan sejak hubungan senggama (menurut ulama mazhab Hanafi). Apabila anak itu lahir dalam waktu sebelum enam bulan setelah akad nikah atau melakukan hubungan sesama maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita tersebut.
3. Melalaui hubungan senggama karena adanya syubhah an-nikah (nikah syubhat)
Kata as-syubhat berarti kemiripan, keserupaan, persamaan dan ketidakjelasan. Dalam kaitannya dengan kajian hukum, istilah syubhat dapat diinterpretasikan sebagai suatu situasi dan kondisi adanya ketidakjelasan dalam sebuah peristiwa hukum, karenanya ketentuan hukumnya tidak dapat diketahui secara pasti, apakah berada dalam wilayah halal dan haram. Dalam pengertian lain, syubhat adalah sesuatu yang tidak jelas apakah benar atau tidak, atau masih mengandung probabilitas antara benar dan salah, sekaligus tidak bisa ditarjihkan mana yang validitas hukumnya lebih kuat.
Dalam konteks hubungan senggama secara syubhat, maka yang dimaksud dengan senggama syubhat (wath’i al-syubhat) adalah hubungan yang terjadi bukan dalam perkawinan yang sah atau fasid dan bukan pula dari perbuatan zina. Senggama syubhat bisa terjadi akibat kesalahpahaman atau kesalahan informasi, misalnya seorang pria sebelumnya tidak dikenalnya, pada malam pengantin ia menemukan seorang wanita dikamarnya lalu disenggamainya, akan tetapi terbukti kemudian bahwa wanita itu bukan istri telah dinikahinya.
C. Cara Menetapkan Nasab
Ulama fikih sepakat bahwa nasab seorang anak dapat ditetapkan melalui tiga cara, yaitu :
1. Melalui nikah sahih atau fasid. Ulama sepakat bahwa nikah yang sah dan fasid merupakan salah satu cara dalam menetapkan nasab seorang anak kepada ayahnya, sekalipun pernikahan dan kelahiran anak tidak didaftarkan secara resmi pada instansi terkait.
2. Melalui pengakuan atau gugatan terhadap anak. Ulama fikih membedakan antara pengakuan terhadap anak dan pengakuan terhadap selain anak, seperti saudara, paman, atau kakek. Jika seorang lelaki mengakui bahwa seorang anak kecil adalah anaknya atau sebaliknya seorang anak kecil yang telah baligh (menurut jumhur ulama) atau mumayyiz ( menurut ulama mazhab Hanafi) mengakui seorang lelaki adalah ayahnya, maka pengakuan itu dapat dibenarkan dan anak dinasabkan kepada lelaki tersebut.
3. Melalui bukti, dalam konteks ini ulama fikih sepakat bahwa saksi harus benar-benar mengetahui keadaan dan sejarah anak yang di nasabkan. Hal ini sejalan dengan Sabda Rasulullah SAW. Ketika itu mengatakan : “Apakah engkau melihat matahari?” Lelaki itu menjawab : “Benar, saya lihat”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : “Apabila sejelas matahari itu, maka silahkan kemukakan kesaksianmu. Tetapi apabila tidak (demikian), maka jangan menjadi saksi” (HR. Al-Baihaki dan al-Hakim).
D. Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak
1. Hak Orang Tua Terhadap Anak
Abu Laist Samarqandi menyebutkan dalam kitab Tanbihul Ghafilin, setidaknya terdapat 10 hak orang tua yang harus dipenuhi oleh anak selama orang tua masih hidup.
Pertama, jika orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan untuk makan dan minum, maka anak wajib menyediakannya.
Kedua, jika orang tua membutuhkan pakaian untuk menutupi aurat tubuhnya atau sekadar melindungi tubuhnya dari cuaca dingin, maka anak wajib memenuhinya.
Ketiga, jika orang tua butuh dilayani karena sudah renta atau tidak mampu melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, maka anak wajib melayaninya.
Keempat, jika orang tua memanggilnya, maka anak wajib menjawabnya dengan baik dan menghampirinya.
Kelima, jika orang tua menyuruh sesuatu, hendaknya lakukan perintahnya selama itu untuk kebaikan.
Enam, hendaknya berbicara dengan lembut kepada orang tua, jangan berbicara kasar, dan keras yang dapat melukai perasaan mereka.
Tujuh, jangan memanggil orang tua dengan menyebut namanya secara langsung. Panggil dengan panggilan yang mengandung kasih sayang dan penghormatan, seperti “ayah” dan “ibu”.
Delapan, hendaknya sang anak berjalan di belakang orang tua, serta tidak mendahului mereka.
Sembilan, melakukan sesuatu yang mereka ridai serta menghindari hal- hal yang membuat mereka murka.
Sepuluh, senantiasa memohonkan ampunan untuk kedua orang tua sebagaimana memohon untuk diri sendiri.
2. Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak
Kewajiban orang tua ketika seorang anak lahir terdapat beberapa akhlak, di antaranya:
Pertama, membacakan azan dan ikamah di telinga bayi. Tindakan ini sebagai pendidikan awal bagi anak begitu lahir di dunia. Menurut ilmu kedokteran, bayi yang baru dilahirkan sebenarnya sudah bisa mendengar. Jadi, sangat patut jika kalimat yang didengarnya adalah seruan Yang Maha Agung. Caranya, azan dikumandangkan di telinga kanan dan disusul ikamah di telinga kiri.
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang anaknya baru dilahirkan, kemudian dikumandangkan azan di telinga kanannya, dan ikamah di telinga kirinya, anak yang baru lahir itu kelak akan diselamatkan dari gangguan jin”.
Kedua, melakukan tahnik, yaitu menggosok langit-langit bayi dengan kurma. Caranya, kurma yang telah dikunyah diletakan di atas jari, kemudian jari dimasukan ke mulut bayi, digerak-gerakan ke kanan dan ke kiri dengan lembut hingga merata. Jika sukar mendapat kurma, bisa dengan makanan manis lainnya.
Hal yang lebih utama, tahnik dilakukan oleh seseorang yang saleh dan bertakwa. Ini merupakan upaya agar anak di kemudian hari menjadi pribadi yang saleh pula.
Ketiga, memberinya nama yang baik. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya pada hari kiamat kelak, kalian akan dipanggil dengan nama- nama kalian, dan nama-nama bapak kalian. Oleh karena itu, berikanlah nama yang baik pada anak- anak kalian.” (H.R. Abu Dawud).
Para ulama berbeda pendapat mengenai waktu pemberian nama. Ada yang mengatakan sejak hari pertama dan ada pula yang berpendapat pada hari ketujuh. Akan tetapi, semua ulama sepakat bahwa Islam memberikan kelonggaran terhadap waktu pemberian nama anak. Boleh pada hari pertama, boleh pada hari ketiga, dan boleh pada hari ketujuh.
Nama bukan tidak penting, ia mengandung unsur doa, harapan, sekaligus pendidikan. Nama juga dapat memengaruhi psikologi anak dalam kehidupannya. Bila ia diberi nama Saleh, maka ia akan terbebani jika tidak melakukan perbuatan yang saleh. Dengan kata lain, nama setidaknya menjadi benteng bagi sang anak dalam mengarungi samudra kehidupan.
Keempat, melakukan akikah bagi orang tua yang mampu. Hukum menunaikannya adalah sunah. Akikah adalah ritual menyembelih kambing yang dagingnya disedekahkan kepada fakir miskin. Untuk anak perempuan, kambing yang disembelih 1 ekor, sedangkan bagi anak laki- laki yang disembelih 2 ekor.
Kelima, mencukur rambut anak dan bersedekah. Di antara perkara sunah dalam menyambut kelahiran anak adalah mencukur rambut sang anak pada hari ketujuh kelahirannya. Praktik pencukuran rambut ini berlaku secara menyeluruh. Artinya, seluruh rambut pada kulit kepala digunduli. Tidak boleh hanya memotong sebagian rambut dan meninggalkan sebagian yang lain.
Larangan ini mengandung hikmah tersendiri, yakni menggambarkan sifat keadilan. Artinya, manusia diperintahkan berlaku adil walaupun terhadap diri sendiri. Tindakan mencukur sebagian kepala dan meninggalkan sebagian lainya merupakan suatu tindakan zalim, karena hal itu menyebabkan sebagian kepala ditutupi dan sebagian lain terbuka tanpa rambut.
Keenam, memberikan ucapan selamat dan mendoakan kesejahteraan anak, serta turut bergembira dengan kelahirannya. Sunah ini berlaku bagi orang lain yang menyaksikan kelahiran sang anak.
Kemudian, mendidik anak dengan baik. Sebagai amanat Allah yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan-Nya, anak memerlukan pendidikan yang baik dan memadai dari orang tua. Pendidikan ini bermakna luas, baik berupa akidah, etika, maupun hukum Islam. Selain itu, pendidikan tidak hanya dapat dijalankan di sekolah, tetapi juga di rumah.
Seperti Hadis yang diriwayatkan dari Abu Dawud yang artinya: “Dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata,„Rasulullah SAW bersabda, “Suruhlah anak-anakmu melaksanakan salat ketika mereka berumur 7 tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkan salat itu jika berumur 10 tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka". (HR. Abu Dawud).
Pendidikan di sekolah hanya dilakukan jika anak sudah cukup umur. Sedang pendidikan di rumah dimulai sejak masih kecil sampai beranjak dewasa. Rasulullah mengajarkan bahwa jika anak sudah mendekati masa balig, hendaknya dipisahkan antara tempat tidur anak laki-laki dengan anak perempuan. Begitu pula dengan tempat tidur dengan orang tuanya.
Setelah anak berusia 7 tahun, hendaknya orang tua memerintahkan untuk salat dan puasa sebagai wahana pemberdayaan. Orang tua diperkenankan menghukum pada umur 10 tahun, kalau ia lalai menunaikan kewajiban.
Hukuman bagi anak tidak boleh bersifat menyakiti atau menimbulkan cacat. Jika orang tua memerintahkan sesuatu kepada anak, maka mereka juga melaksanakan perintah tersebut. Perintah orang tua yang tidak disertai teladan, sulit untuk dipatuhi anak. Sebab kecenderungan anak akan meniru orang tua.
Seterusnya mengawinkan ketika menginjak dewasa. Orang tua berkewajiban menikahkan anaknya jika sudah tiba waktunya untuk menikah. Kewajiban orang tua dalam hal ini menyangkut pencarian calon untuk anak apabila ia belum memperoleh pasangan.
Dalam pernikahan, peran orang tua, terutama bapak, sangat vital bagi anak perempuan. Dalam tuntunan Islam, setiap perempuan yang hendak menikah harus disertai dengan kehadiran walinya. Ia tidak bisa menikahkan dirinya sendiri. Berbeda dengan anak laki-laki yang pernikahanya bisa sah meski tanpa kehadiran wali.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa definisi tentang nasab di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Hukum Islam menetapkan nasab sebagai legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan hubungan darah, sebagai akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau senngama subhat. Nasab merupakan pengakauan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya, notabenenya anak tersebut berhak mendapatkan hak dan kewajibannya dari ayahnya, selanjutnya mempunyai hak dan kewajiban pula dari keturunan ayahnya. Status anak di luar nikah yakni anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar perkawinan yang sah, menurut Hukum Islam disamakan dengan anak zina dan anak li’an. Dalam hukum perkawinan di Indonesia pengaturan tentang nasab anak di luar nikah, hanya secara implisit di pahami bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, ini berarti anak tersebut tidak mendapatkan hak dan kewajiban dari bapak biologisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ariefaie. “Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak”. 2014. http://ariefaie.blogspot.com/2014/07/kewajiban-orang-tua-terhadap- anak.html?m=1. Diakses pada 10 maret 2021 pukul 19.00
Maghfiro, Neneng. “10 Hak Orang Tua yang Harus Dipenuhi Anak”. 2019. https://bincangsyariah.com/kalam/10-hak-orang-tua-yang-harus- dipenuhi-anak/. Diakses pada 9 maret 2021 pukul 17.00
M.Abdul Mujieb, Mabruri, Syafi’I AM, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus,1994)
Drs. H. Syamsu Andi Alam, SH., MH. dan Drs. H. M. Fauzan, SH., MM., MH., HUKUM PENGANGKATAN ANAK PERSPEKTIF ISLAM ,(Jakarta: PRENADA MEDIA GROUP, 2008)
Dr. Moh. Wafa Ali, S.Ag,.M.Ag., Hukum Perkawinan di Indonesia Sebuah Kajian dalam Hukum Islam dan Hukum Materil (Tangerang Selatan: YASMI, 2018)
Tidak ada komentar: