Ruju'

MAKALAH

RUJU’

Mata Kuliah: Fikih Munakahat B

Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH


Disusun Oleh:

ADRIKNY JANNATIKA (2019110699)

RINI (2019110724)


PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

 FAKULTAS SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

 DARUL ULUM KANDANGAN 

1442H/2020M

 


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT. karena atas limpahan dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah sederhana ini meskipun sangat jauh dari kata sempurna. Shalawat serta salam tak lupa pula kami haturkan keharibaan junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta para pengikut-pengikut beliau sampai akhir zaman. 

Tujuan dalam pembuatan makalah ini antara lain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fikih Munakahat B. Selain itu juga untuk menambahkan wawasan pembaca sekalian tentang Ruju’.

Makalah ini memang jauh dari kata kesempurnaan, baik dalam isi, susunan, maupun penyajiannya. Untuk itu segala kritik dan saran dari Ibu/Bapak Dosen dan teman-teman semuanya agar bisa mengambil pelajaran dari makalah ini. Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan khususnya bagi para mahasiswa sekalian.


Kandangan, 3 Maret  2021


KELOMPOK 6



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Ruju’

B. Macam-macam Ruju’

C. Syarat dan Rukun Ruju’

D. Pendapat Ulama dan Dali-dalil tentang Ruju’

E. Analisis Penalaran Hukum dan Hikmah Ruju’

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Di dalam syari’at islam menetapkan bahwa akad perkawinan antara suami istri adalah selamanya, yaitu sekali menikah untuk seumur hidup. Agar didalam ikatan pernikahan suami istri bisa hidup bersama menjalin kasih sayang untuk mewujudkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup (Sakinah), dapat mendidik anak dan memeliharanya dengan baik. Dalam kehidupan berumah tangga tidak terlepas pula dengan berbagai permasalahan yang menjadi sebab terjadinya perceraian. Namun, perceraian bukanlah solusi akhir dari sebuah permasalahan. Bila permasalahan itu sangat merugikan bagi kedua belah pihak yaitu suami istri maka wajib hukumnya talak. Begitu pula sebaliknya.

Seorang suami yang terlanjur mentalak istrinya maka boleh merujuk kembali dengan beberapa syarat dan seorang suami juga harus tahu tatacaranya. Maka dipembahasan yang akan kami bahas nanti kami akan memaparkan mengenai pengertian rujuk, macam-maca, syarat dan rukun rujuk. 


B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian dari Ruju’ ?

2. Apa saja Macam-macam Ruju’ ?

3. Apa saja Syarat dan Rukun Ruju’ ?

4. Pendapat Ulama dan Dalil-dalil tentang Ruju’ ?

5. Apa saja Analisis Penalaran Hukum dan Hikmah Ruju’ ?


C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui Pengertian Ruju’ !

2. Untuk mengetahui Macam-macam Ruju’ !

3. Untuk mengetahui Syarat dan Rukun Ruju’ !

4. Untuk mengetahui pendapat ulama dan Dalil-dalil tentang Ruju’ !

5. Untuk mengetahui AnalisisnPenalaran Hukum dan Hikmah Ruju’ !



BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ruju’

Yang dimaksud dengan rujuk adalah mengembalikan istri yang telah ditalak pada pernikahan yang asal sebelum diceraikan.  Sedangkan rujuk (ruju’) dalam istilah para mazhab, adalah menarik kembali wanita yang ditalak dan mempertahankan (ikatan) perkawinannya. Hukumnya, menurut kesepakatan para mazhab, adalah boleh. Rujuk tidak membutuhkan wali, maskawin, dan tidak pula kesediaan dari istri yang ditalak.  


B. Macam-macam Ruju’

1. Hukum rujuk pada talak raj'i

Kaum muslimin telah sependapat bahwa suami mempunyai hak rujuk istri pada talak raji selama masih berada dalam masa iddah tanpa mempertimbangkan persetujuan istri, Fuqoha juga sependapat bahwa syariat talak raji ini harus terjadi setelah dukhul (pergaulan) dan rujuk dapat terjadi dengan kata-kata dan saksi.

Adapun batas-batas tubuh bekas istri yang boleh dilihat oleh fuqoha berselisih pendapat nengenai batas-batas yang boleh dilihat oleh suami dari istrinya yang dijatuhi talak raj i selama ia berada dalam masa iddah.

Malik berpendapat bahwa suami tidak boleh bersepi-sepi dengan istri tersebut, tidak boleh masuk kekamarnya kecuali atas persetujuan istri, dan tidak boleh melihat  rambutnya.

Abu Hanifah berpendapat bahwasanya tidak mengapa (tidak berdosa) istri tersebut berhias diri untuk suaminya, memakai wangi-wangian, serta menampakan jari -jemari dan celak. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Isauri, Abu Yusuf, dan Auza 'i.  

2. Hukum Rujuk pada Talak Bain

Adapun rujuk terhadap wanita yang ditalak Ba’in menurut Imamiyah, Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambaliyah dalam Mughniyah, berpendapat rujuk terhadap wanita yang di talak ba’in terbatas hanya terhadap wanita yang ditalak memalui khulu (tebusan), melainkan dengan syarat sudah dicampuri. Hendaknya talaknya itu bukan talak tiga. Para mazhab tersebut sepakat hukum wanita itu sama dengan wanita lain (bukan istri) yang untuk mengawininya disyaratkan adanya akad, mahar, wali, dan kesediaan si wanita. Dalam hal ini selesainua iddah tidak dianggap sebagai syarat.  

Jadi, mazhab sepakat tentang orang yang telah menalak istrinya dengan talak tiga. Ia tidak boleh menikahinya lagi hingga istrinya yang telah ditalaknya dinikahi oleh orang lain dan disetubuhi dalam pernikahan yang sah. Adapun, yang dimaksud pernikahan dalam masalah ini adalah termasuk persetububannya. Hal ini merupakan sayarat diperbolehkannya menikahi Iagi bagi suami pertama mantan istrinya tersebut bercerai dengan suami yang baru. 


C. Syarat dan Rukun Ruju’

Syarat-syarat rujuk yaitu:

1. Mantan istri yang ditalak itu sudah pernah dicampuri.

2. Harus dilakukan dalam masa iddah.

3. Harus dilakukan oleh dua orang saksi.

4. Talak yang dijatuhkan oleh suami tidak disertai ‘iwadh ( tebusan) dari istri.

5. Persetujuan istri yang akan dirujuk 

Rukun rujuk yaitu:

1. Istri. Keadaan istri disyaratkan:

a. Sudah dicampuri, karena istri yang belum dicampuri apabila ditalak, terus putus pertalian antara keduanya, si istri tidak mempunyai iddah sebagaiman yang telah dijelaskan.

b. Istri yang tertentu. Kalau suamu menalak beberapa istrinya, kemudian iya rujuk kepada salah seorang di antara mereka dengan tidak ditentukan siapa yang dirujuknya, maka rujuknya itu tidak sah.

c. Talaknya adalah talak raj’I. jika ia ditalak dengan talak tebus atau talak tiga, maka iya tidak dapat dirujuk lagi.

d. Rujuk itu terjadi sewaktu istri masih dalam iddah

2. Suami. Rujuk ini dilakukan oleh suami atas kehendaknya sendiri, artinya bukan dipaksa.

3. Saksi. Dalam hal ini para ulama berselisih paham, apakah saksi itu wajib menjadi rukun atau sunnat. Sebagian menjadi wajib, sedangkan yang lain mengatakan tidak wajib melainkan hanya sunnat.

4. Sigat (lafaz). Sigat ada 2 yaitu:

a. Terangan-terangan, misalnya dikatakan, “Saya kembali kepada istri saya,” atau “Saya rujuk kepadamu.”

b. Melalui sindiran, misalnya “Saya pegang engkau,” atau “Saya kawin engkau,” dan sebagainya, yaitu dengan kalimat yang boleh dipakai untuk rujuk atau untuk lainnya.

Sigat itu sebaiknya merupakan perkataan tunai, derarti tidak digantungkan dengan sesuatu. Umpamanya dikatakan, “Saya kembali kepadamu jika engkau suka,” atau “Kembali kepadamu kalu si Anu datang.” Rujuk yang digantungkan pada kalimat seperti ini tidak sah. 


D. Pendapat Ulama dan Dalil-dalil tentang Ruju’

1. Pendapat Ulama tentang Ruju’

Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang terjadinya rujuk melalui perbuatan, misalnya mencampuri dan pendahuluan-pendahuluan ke arah percampuran tanpa diawali dengan ucapan.

Imam Syafi’I mengatakan: Rujuk harus dilakukan dengan ucapan atau tulisan. Karena itu, rujuk tidak sah bila dilakukan dengan mencampurinya sungguhpun hal itu diniatkan sebagai rujuk. Suami haram mencampurinya dalam iddah. Kalau dia melakukan hal itu, ia harus membayar mahar mitsil ( mahar yang tidak disebutkan besarnya), sebab percampuran tersebut tergolong pada percampuran syubhat (keadaaan yang samar tentang kehalalan dan keharamnya).

Imam Maliki mengatakan: Rujuk boleh (sah) dilakukan melalui perbuatan yang disertai niat untuk rujuk. Akan tetapi bila suami mencampuri istrinya tersebut tanpa niat rujuk, maka wanita tersebut tidak bisa kembali (menjadi istrinya) kepadanya. Namun percampuran itu tidak mengakibatkan adanya had (hukuman) maupun keharusan membayar mahar. Anak yang lahir dari percampuran tersebut dikaitkan nasabnya kepada laki-laki yang mencampuri itu. Wanita tersebut harus menyucikan dirinya dengan haid manakala dia tidak hamil.

Imam Hambali mengatakan: Rujuk hanya terjadi melalui percampuran. Begitu terjadi percampuran, maka rujuk pun terjadi, sekalipun laki-laki tersebut tidak berniat rujuk. Sedangkan bila tindakan itu bukan percampuran, misalnya sentuhan atau ciuman yang biserti birahidan lain sebagainya, sama sekali tidak mengakibatkan terjadinya rujuk.

Imam Hanafi mengatkan: Rujuk bisa terjadi melalui percampuran, sentuhan, dan ciuman, dan hal-hal sejenis itu, yang bilakukan oleh laki-laki yang menalak dan wanita yang ditalaknya, dengan syarat semuanya itu diertai dengan birahi. Rujuk juga bisa terjadi melalui tindakan (perbuatan) yang dilakukan oleh orang tidur, lupa, dipaksa, dan gila. Misalnya seorang laki-laki menalak istrinya, kemudian ia diserang penyakit gila, lalu istrinya itu dicampurinya sebelum ia habis masa iddahnya.

Imamiyah mengatakan:  Rujuk bisa terjadi melalui percampuran, berciuman dan sentuhan, yang disertai syahwat atau tidak dan lain sebagainya yang tidak halal dilakukan kecuali oleh suami. Rujuk tidak membutuhkan pendahuluan berupa ucapan. Sebab wanita tersebut adalah istrinya, sepanjang dia masih dalam iddah, dan bahkan perbuatan tersebut tidak perlu disertai niat rujuk. 


2. Dalil-dalil tentang Ruju’

Q.S Al-Baqarah ayat 228

وَٱلْمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِىٓ أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوٓا۟ إِصْلَٰحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Artinya :

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. 

Tafsir :

Dan wanita-wanita merdeka yang telah diceraikan yang masih dalam masa subur, maka mereka wajib menunggu sebelum menikah pasca perceraian selama 3 kali suci atau 3 kali haid untuk memenuhi masa iddah. tujuannya, agar mereka dapat memastikan kosongnya rahim mereka dari mengandung janin. Dan tidak boleh bagi mereka untuk menikahi lelaki lain dalam masa iddah ini, sampai selesai masanya. dan tidak boleh bagi mereka untuk menyembunyikan apa yang Allah ciptakan di dalam rahim rahim mereka, berupa adanya kandungan janin atau terjadinya haid, apabila wanita-wanita yang diceraikan itu wanita-wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir dengan sebenarnya. Dan suami-suami wanita-wanita yang diceraikan itu lebih berhak merujuk mereka dalam masa iddah. dan sepatutnya rujuk itu diniatkan untuk memperbaiki keadaan dan menggapai kebaikan, bukan diniatkan untuk mencelakai(waniata) demi menyiksanya dengan bertambahnya masa iddah. Dan bagi istri-istri ada hak-hak yang menjadi kewajiban suami suami untuk memenuhinya, seperti yang menjadi kewajiban istri istri dengan cara-cara yang ma'ruf. Dan bagi suami suami ada kedudukan yang lebih tinggi dihadapan istri-istri, berupa mendampingi dengan baik, mempergauli dengan ma'ruf, dan memimpin urusan rumah tangga, dan memilki hak talaq. Dan Allah maha perkasa, Ia memiliki sifat keperkasaan yang mengalahkan semua, Maha bijaksana, meletakkan segala sesuatu pada tempatnya yang tepat. 

Q.S Al-Baqarah ayat 229


ٱلطَّلَٰقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌۢ بِإِحْسَٰنٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُوا۟ مِمَّآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْـًٔا إِلَّآ أَن يَخَافَآ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا ٱفْتَدَتْ بِهِۦ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

Artinya :

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim. 

Tafsir :

Talak yang masih terjadi padanya kesempatan merujuk hanya ada dua kali, yang pertama dan sesudahnya. Dan ketetapan dari Allah setelah jatuhnya tiap talak adalah menahan istri dengan cara-cara yang baik dan mempergauli nya dengan baik setelah merujuknya, atau melepasnya dengan perlakuan yang baik pula dengan cara memenuhi hak-haknya, dan suami yang menceraikannya tidak menyebut-nyebut keburukan wanita itu. Dan tidak halal bagi kalian (wahai para suami), untuk mengambil sedikitpun dari mahar dan pemberian lain yang telah kalian serahkan kepada mereka, kecuali kedua belah pihak takut tidak dapat menjalankan hak suami istri. maka saat itu, mereka berdua menyandarkan perkara mereka kepada para wali. Lalu apabila para wali mengkhawatirkan suami-istri tidak dapat menjalankan rambu-rambu aturan Allah, maka tidak ada kesalahan atas mereka berdua tentang sesuatu yang diserahkan kepada suami sebagai pengganti untuk rela menceraikannya. Hukum-hukum itu adalah rambu-rambu batasan dari Allah yang membedakan antara perkara halal dan perkara haram, maka janganlah kalian melanggarnya. Barangsiapa melampaui batas-batas Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang telah berbuat kezaliman terhadap diri mereka sendiri lantaran menjerumuskannya kepada siksaan Allah. 

QS. Al-Baqarah ayat 231

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ۚ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِّتَعْتَدُوا۟ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُۥ ۚ وَلَا تَتَّخِذُوٓا۟ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ هُزُوًا ۚ وَٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَآ أَنزَلَ عَلَيْكُم مِّنَ ٱلْكِتَٰبِ وَٱلْحِكْمَةِ يَعِظُكُم بِهِۦ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Artinya : 

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula).  Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Tafsir :

Dan apabila kalian menceraikan istri-istri kalian lalu mereka telah mendekati akhir masa iddah, maka  rujuklah dengan mereka, dengan niat untuk memenuhi hak-hak mereka itu dengan cara yang baik-baik menurut perspektif syariah dan kebiasaan setempat, atau lepaskan mereka sampai selesai masa iddah mereka. Dan hindarilah sikap menjadikan rujuknya kalian dengan niat menyakiti mereka atau guna merampas hak-hak mereka. Dan barangsiapa telah melakukannya, sesungguhnya dia telah mendzolimi diri sendiri lantaran dia berhak menerima hukumannya. Dan janganlah kalian menjadikan ayat-ayat Allah dan hukum-hukum Nya sebagai bahan mainan dan senda gurau, dan ingatlah nikmat Allah yang tercurah kepada kalian dengan masuk islam dan perincian hukum-hukum. Dan ingatlah apa-apa yang Allah turunkan kepada kalian yaitu al-qur'an dan as-sunnah. Dan bersyukurlah kepada Allah ta'ala atas nikmat-nikmat yang agung ini. Allah mengingatkan kalian dengan ini, dan membuat kalian takut dari tindakan pelanggaran. Maka takutlah kepada Allah tanamkanlah perasaan selalu dilihat oleh Allah. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari Nya, dan Dia akan memberikan balasan dari masing-masing pihak sesuai dengan apa yang berhak dia dapatkan. 

QS. Al-Baqarah ayat 234

وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَٰجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِىٓ أَنفُسِهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Artinya :

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

Tafsir :

Dan orang-orang yang meninggal diantara kalian, sedangkan mereka meninggalkan istri-istri sepeninggal mereka, maka menjadi kewajiban istri-istri tersebut untuk menunggu dengan diri mereka melewati masa indah selama empat bulan sepuluh hari, mereka tidak boleh keluar dari rumah suami, tidak berdandan, dan tidak menikah. Maka  apabila masa iddah itu telah berakhir, maka tidak ada dosa atas kalian wahai para wali wanita-wanita itu terkait apa yang mereka perbuat sendiri dari keluar rumah, berdandan, serta menikah dengan cara yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Dan Allah ta'ala Maha Mengetahui perbuatan-perbuatan kalian yang lahir maupun batin, dan akan memberikan balasan kepada kalian sesuai dengan perbuatan-perbuatan tersebut. 


E. Analisis Penalaran Hukum dan Hikmah Ruju’

1. Analisis Penalaran Hukum

Dilihat dari dasara hukum, baik Al-Qur’an atau Hadits, tidak disebutkan secara tegas terkait adanya syarat izin istri dalam rujuk suami. Di sisi lain, juga tidak ditemukan pelarangan atau perintah untuk merujuk istri meskipun tidak ada kerelaan dari pihak istri.

a. Wajib, apabila terhadap suami yang menalak salah seorang istrinya sebelum disempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang ditalak.

b. Haram, apabila rujuknya itu menyakiti si istri.

c. Makruh, kalau perceraian itu lebih baikdan berfaedah bagi keduanya (suami dan istri)

d. Jaiz (boleh), ini adalah hukum rujuk yang asli.

e. Sunat, jika maksud suami adalah Untuk memperbaiki keadaaan istrinya, atau rujuk itu lebih berfaedah bagi kebuanya (suami dan istri).


Jadi pada intinya rujuk hukumnya menurut kesepakatan para ulamam mazhab adalah boleh (Jaiz). 

3. Hikmah Ruju’

a. Menghindarkan murka Allah, karena perceraian itu sesuatu yang sangat dibenci. 

b. Bertobat menyesali kesalahan-kesalahan yang alu untuk bertekad memperbaikinya. 

c. Untuk menjaga keutuhan keluarga, dan menghindari perpecahan keluarga. Terlebih lagi adalah untuk menyelamatkan masa depan anak, bagi pasangan yang telah mempunyai keturunan. Telah diketahui bahwa perceraian yang terjadi dengan alasan apapun tetap saja menimbulkan efek negatif pada anak.

d. Mewujudkan ialah atau perdamaian. Meski hakikatnya hubungan perkawinan suami istri bersifat antar pribadi, namun hal ini sering melibatkan keluarga besar masing-masing. 



BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

  Yang dimaksud dengan rujuk adalah mengembalikan istri yang telah ditalak pada pernikahan yang asal sebelum diceraikan. Hukumnya, menurut kesepakatan para mazhab, adalah boleh. Rujuk tidak membutuhkan wali, maskawin, dan tidak pula kesediaan dari istri yang ditalak. Ruju’ ada beberapa macam yaitu, hukum rujuk pada talak raj’i dan hukum rujuk pada bain. 

Syarat-syarat untuk melakukan rujuk yaitu: Mantan istri yang ditalak itu sudah pernah dicampuri, harus dilakukan dalam masa iddah, harus dilakukan oleh dua orang saksi, talak yang dijatuhkan oleh suami tidak disertai ‘iwadh dari istri dan persetujuan istri yang akan dirujuk. Selain mempunyai syarat, rujuk juga mempunyai rukun, rukun rujuk yaitu: adanya istri, suami, saksi, dan sigat (lafaz). Hikmah dari adanya rujuk ini ialah untuk adanya perdamaian, karena kita harus menghindari murka Allah karena adanya perceraian. Selain itu, rujuk juga bisa menghindari adanya perpecahan keluarga untuk menyelamatkan masa depan anak.

B. Saran 

Demikian makalah ini yang dapat kami buat. Kami sangat menyadari bahwa makalah yang kami buat ini jauh dari kata sempurna karana dari itu kami minta kritik dan sarannya dari pembaca untuk lebih baik lagi kami menulis makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua.



DAFTAR PUSTAKA 

Rasjid Sulaiman, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994.          Cet.27)

Mughniyah Muhammad Jawad, FIQIH Lima Mazhab (Jakarta: Lentera, 2007. Cet .6)

Ghozali Rahman Abdul, Fiqh Munakahat (Jakarta: kencana 2003) 

Rusyd Ibnu, Bidayatul Mujtahid

Ad-Dimasyqi Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung: Hasyimi, 2013)

Soemiyati, Hukum Perkawinan

Tafsirweb, “Quran surat Al-Baqarah ayat 228,”  https://tafsirweb.com/869-quran-surat-al-baqarah-ayat-228.html

Nuruddin Amir, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006. Cet. 3)


Tidak ada komentar:

Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia

 MAKALAH “Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia ” Mata Kuliah: Hukum Perdata Islam di Indonesia B  Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH ...

Diberdayakan oleh Blogger.