Li'an dan Zihar

MAKALAH

LI’AN DAN ZIHAR

Mata Kuliah: Fikih Munakahat B

Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH


Disusun Oleh:

Kelompok 5

SAIDAH (2019110736)

HAFADAH (2019110705)


PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

DARUL ULUM KANDANGAN

1442H/2021M



DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

A. Li’an

B. Zihar

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA



BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan merupakan suatu akad yang menjadikan hukum asalnya haram menjadi halal, yaitu kebolehan bergaul antara seorang laki-laki denganseorang wanita dan saling tolong menolong diantara keduanya serta menentukan batas hak dan kewajiban diantara keduanya. Selama didalam ikatan pernikahan antara suami dan isteri banyak hukum yang menghalangi suami untuk tidak menggauli isterinya, bahkan akan menjadi talaq seperti dalam Li’an dan Zihar. Li’an adalah ucapan tertentu yang digunakan untuk menuduh isteri telah melakukan perbuatan yang mengotoi dirinya atau zina yang kemudian menjadi alasan suami untuk menolak anak dan Zihar adalah ungkapan suami yang menyamakan isteri dengan ibu kandung atau mahramnya seperti adik atau kakak perempuannya, dan ini juga yang menjadi penghalang bagi suami untuk menggauli isterinya tersebut. 

Untuk lebih jelasnya masalah Li’an dan Zihar ini akan kami paparkan didalam makalah kami ini, dengan harapan Mahasiswa/Mahasiswi mampu memahami dan dapat mengaplikasikan dalam masyarakat dan bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat sehingga konsep-konsep terkait ajaran-ajaran Islam mengenai perkawinan bisa teraplikasikan secara benar sehingga bisa tercipta kehiupan yang harmonis di masyarakat.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian, ayat, rukun, syarat dan hikmah Li’an

2. Apa pengertian, dasar, akibat dan hikmah Zihar

C. Tujuan Penulisan

1.   Untuk mengetahui pengertian, ayat, rukun, syarat dan hikmah Li’an

2. Untuk mengetahui pengertian, dasar, akibat dan hikmah Zihar



BAB II

PEMBAHASAN

A. Li’an

1. Pengertian Li’an

Kata “Li’an” terambil dari kata al-la’nu, yang artinya jauh dan laknat atau kutukan. Disebut demikian karena suami yang saling berli’an itu berakibat saling dijatuhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk selama-lamanya, atau karena yang bersumpah li’an itu dalam kesaksiannya yang kelima menyatakan bersedia menerima laknat (kutuk) Allah jika pernyataannya tidak benar.

Menurut istilah hukum islam, li’an ialah sumpah yang di ucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu.  

Pengertian Li’an menurut pada mazhab sebagaimana dikutip oleh Wahbah Az-Zuhaili yakni :

Mazhab Hanafi dan Hambali mendefinisikan li’an yaitu sebagai kesaksian yang dikuatkan dengan sumpah yang diiringi dengan laknat dari pihak suami dan dengan kemarahan dari pihak isteri, yang menempati posisi hukuman had pada hak suami dan menempati posisi hukuman had zina pada hak isteri. 

Mazhab Maliki mendefinisikan li’an yaitu sumpah suamu yang Muslim yang telah akil baligh bahwa ia melihat perbuatan zina yang dilakukan oleh isterinya, atau penolakan terhada kehamilan isterinya darinya.

Mazhab Maliki mendefinisikan li’an yakni: Sebagai kalimat yang diketahui, yang dijadikan alasan bagi orang yang terpaksa untuk menuduh orang yang telah mencermati tempat tidurnya dan mendatangkan rasa malu kepadanya, atau menolak anak yang ia kandung.  

Li’an sebagai salah satu bentuk perceraian karena suami menuduh isteri telah berbuat zina. Adapun li’an dilakukan suami terhadap isterinya dalam bentuk tuduhan-tuduhan sebagai berikut: 

1) Suami menuduh isterinya berbuat zina, sedang suami tidak mempunyai empat orang saksi untuk tuduhannya itu. Dalam hal ini terdapat dua kemungkinan yaitu: Suami menyaksikan sendiri perbuatan zina yang dilakukan isterinya; Suami menuduh isterinya berbuat zina berdasarkan tandatanda atau gejala-gejala yang meyakinkannya. 

2) Suami mengingkari atau menafikkan kehamilan isterinya dari hasil hubungannya dengan suami. Dalam hal ini juga memuat dua kemungkinan: Suami semata-mata mengingkari kehamilan isterinya dari hasil hubungannya dengan suami; Suami mengingkari anak yang dilahirkan oleh isterinya dengan menuduh bahwa isterinya itu melahirkan anaknya kurang dari enam bulan sejak persetubuhan pertama mereka, atau isteri melahirkan anaknya setelah setahun sejak suami terakhir menggaulinya.  

2. Dasar Hukum tentang Li’an

a. Ayat Alquran tentang lian

وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ ازْ وَاجَهُمْوَلَمْ يَكُن لَّهُمْ شُهَدَآءُالَّآاَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُاَحَدِهِمْ اَرْبَعُ شَهٰدٰتٍ بِالّٰلهِۙ اِنَّهُ لَمِنَ الصّٰدِقِيْنَ ۝۶ وَالْخَامِسَةُ اَنَّ لَعْنَتَ الّٰلهِ عَلَيْهِ اِنْ كَانَ مِنَ الْكٰذِبِيْنُ۝۷  

Artinya:

“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah,  

sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta”. (QS. An-Nur ayat 6-7)

Apabila seseorang menuduh orang lain berzina, sedangkan saksi yang cukup tidak ada, maka yang menuduh itu harus atau wajib disiksa (didera) 80 kali. Tetapi kalau yang menuduh itu suaminya sendiri, dia boleh lepas dari siksaan tersebut dengan jalan li’an. 

b. Kompilasi Hukum tentang li’an

Perbuatan yang dapat memutus perkawinan selain talak yang tatacaranya diatur didalam Kompilasi Hukum Islam adalah li’an. Li’an diatur  pada Kompilasi Hukum Islam mulai dari pasal 125 hingga 128  yang berbunyi li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya.  

Berdasarkan pasal 126 KHI, Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau anak yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut. Inti dari tuduhan li’an adalah baik suami (penuduh) dan istri (yang dituduh) mereka semua sama-sama bersumpah terhadap apa yang dituduhkan sebanyak lima kali. Empat kali adalah sumpah bahwa sang suami menuduh, ataupun sebaliknya istri bersumpah empat kali untuk mengingkari tuduhan dengan dibarengi sumpah yang kelima yaitu sama-sama siap menerima laknat atau murka dari Allah apabila tuduhan itu salah atau tidak terbukti. Pasal 127 menjelaskan tentang tata cara li’an : 

1) Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”. 

2) Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar, diikuti sumpah kelimah dengan kata-kata murka Allah atas dirinya tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”. 

3) Tata cara pada nomor 1 dan nomor 2 tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan; 

4) Apabila tata cara nomor 1 tidak diikuti dengan tata cara nomor 2, maka dianggap tidak terjadi li’an.

5) Li’an hanya sah apabila dilakukan dihadapan sidang pengadilan agama. 

3. Rukun dan Syarat Li’an

Rukun merupakan sesuatu yang harus ada atau yang harus dilakukan untuk sahnya perbuatan atau pekerjaan yang kita lakukan.. Para jumhur ulama mengemukakan empat rukun li’an, yaitu:

1. Suami yang melakukan li’an

2. Istri yang dili’an

3. Sebab li’an

4. Lafal li’an

Dalam prakteknya di pengadilan, lafal li’an yang sering digunakan adalah sebagai berikut :

Suami terlebih dahulu mengucapkan sumpah li’an di muka sidang,

“bismillahirrahmanirrahim, wallahi, wabillahi, watallahi., demi allah saya bersumpah bahwa isterisaya telah berbuat zina dan anak yang dilahirkan isteri saya adalah bukan anak saya.” (Empat kali).

“saya bersedia menerima laknat allah bila saya berdusta”. (Satu kali).

Lalu dilanjutkan dengan sumpah li’an (sumpah balasan) dari istri,

“bismillahirrahmanirrahim, wallahi, wabillahi, watallahi, demi allahsaya bersumpah bahwa saya tidak berbuat zina dan anak yang saya lahirkan adalah anak suami saya” (empat kali).

“saya bersedia menerima murka allah, bila saya berdusta”. (Satu kali).

Mengenai syarat li’an, para ulama membaginya menjadi dua bentuk, yaitu syarat wajibnya li’an dan syarat sahnya melakukan li’an.  

Berdasarkan pendapat para ulama, syarat wajibnya li’an dapat diuraikan menjadi : Pasangan tersebut masih berstatus suami istri, sekalipun istri belum digauli atau istri masih dalam masa idah talak raj’i. Akan tetapi, jumhur ulama menyatakan bahwa li’an tetap sah terhadap istri yang dalam talak ba’in. Status perkawinan mereka adalah nikah yang sah. Tetapi menurut pendapat beberapa kalangan jumhur ulama li’an juga sah dilakukan dalam nikah fasid karena adanya masalah nasab (keturunan) dalam nikah fasid tersebut.

1. Suami adalah seorang muslim yang cakap memberikan kesaksian secara lisan. Kalangan Ulama Mazhab Maliki mensyaratkan bahwa suami adalah harus seorang muslim, tetapi tidak bagi Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali, yang menjadi patokan bagi mereka adalah bahwa suami adalah orang yang cakap menjatuhkan talak kepada istrinya.

2. Adanya tuduhan berbuat zina dari suami terhadap istri

3. Istri mengingkari tuduhan tersebut sampai berakhirnya proses dan hukum li’an. 


4. Hikmah Li’an

Menurut Al-Jurjawi, Dalam sumpah li’an terkandung beberapa hikmah antara lain:

a. Suatu pernikahan dan fungsi wanita sebagai istri bagi suami tidak akan sempurna kecuali dengan adanya keserasian dan saling menyayangi antara keduanya. Tetapi apabila sudah terdapat tuduhan zina dan melukai istri dengan kekejian, maka dada mereka akan sempit dan hilanglah kepercayaan dari istri sehingga mereka berdua hidup dalam kedengkian yang tentu akan membawa akibat jelek.

b. Melarang dan memperingatkan suami-istri agar jangan melakukan perlakuan buruk yang akan mengurangi kemulian itu.

c. Menjaga kehormatan dari kehinaan pelacuran yang tidak pernah hilang pengaruhnya siang dan malam.  

B. Zihar

1. Pengertian Zihar

Menurut bahasa Arab, kata zihar diambil dari kata zhahrun yang bermakna punggung. Dalam kaitannya dengan hubungan suami istri Zihar adalah ucapan suami kepada istrinya yang berisi menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu suami, seperti ucapan suami kepada istrinya: “Engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku”.

Ucapan Zihar di Masa Jahiliyah dipergunakan oleh suami yang bermaksud mengharamkan menyetubuhi istri dan berakibat menjadi haramnya istri itu bagi suami dan laki-laki selainnya untuk selama-lamanya. 

Abd. Rahman Ghozaly menyatakan bahwa Zihar menurut bahasa arab berasal dari kata zharum yang bermakna punggung. Dalam kaitannya dengan hubungan suami isteri Zihar adalah ucapan suami kepada isterinya yang berisi menyerupakan punggung isteri dengan punggung ibu suami, seperti ucapan suami kepada istrerinya “Engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku”.

Menurut Aliy As’ad Fatul Muin menyatakan Zihar adalah perkataaan suami kepada isterinya “Engkau seperti punggung ibuku” sekalipun dengan “Kata bagiku”, ucapan engkau seperti ibuku adalah kinayah zihar, seperti halnya ibu, yaitu mahram yang kemahramannya bukan tidak telah ada semula.

Zahri Hamid menyaatakan menurut istilah hukum Islam Zihar adalah ucapan suami terhadap isterinya yang berisi menyamaakan punggung isterinya dengan punggung ibunya atau menyamakan tubuh atau bagian tubuh isterinya dengan orang lain yang haram bagi suaminya itu. Dengan demikian zihar mempunyai akibat hukum bagi pasangan suami isteri, pertama akibat hukum yang bersifat duniawi ialah menjadi haramnya suami menggauli isterinya yang dizihar sampai suami melaksanakan kafarat zihar sebagai pendidikan baginya agar tidak mengulangi perkataan dan sikapnya yang buruk itu. Kedua yang bersifat ukhrawi ialah bahwa zihar itu perbuatan dosa, orang yang mengucapkan berarti berbuat dosa dan untuk membersihkannya wajib bertaubat dan memohon ampun kepada Allah SWT. 

Syariat Islam datang untuk memperbaiki masyarakat, mendidiknya dan mensterilkannya menuju kemaslahatan hidup. Hukum Islam menjadikan ucapan zihar itu berakibat hukum yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Akibat hukum zihar yang bersifat duniawi ialah menjadi haramnya suami menggauli istrinya yang zihar sampai suami melaksanakan kaffarah zihar sebagai pendidikan baginya agar tidak mengulangi perkataan dan sikapnya yang buruk itu. Sedangkan yang bersifat ukhrawi ialah bahwa zihar itu perbuatan dosa, orang yang mengucapkannya berarti berbuat dosa, dan untuk membersihkannya wajib bertaubat dan memohon ampunan Allah. 

2. Hukum dan Dasar Hukum Zihar

Ulama sudah sepakat menyatakan bahwa hukum zihar adalah haram. Adapun yang menjadi dasar dari haram itu dapat dilihat dari dua segi:

Pertama, Kebencian dan celaan Allah terhadap orang yang menyamakaan istrinya dengan ibunya yang terdapat dalam surah Al-Mujadilah ayat 2, yaitu:


مُنكَرًا لَيَقُولُونَ وَإِنَّهُمْ  ۚ وَلَدْنَهُمْ ٱلَّٰٓـِٔى إِلَّا أُمَّهَٰتُهُمْ إِنْ ۖ أُمَّهَٰتِهِمْ هُنَّ مَّا نِّسَآئِهِم مِّن مِنكُم يُظَٰهِرُونَ ٱلَّذِينَ

. غَفُورٌ لَعَفُوٌّ ٱللَّهَ وَإِنَّ ۚ وَزُورًا ٱلْقَوْلِ مِّنَ 


Artinya: “Orang-orang yang menzihar istrinya diantara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucakan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”.

Kedua, dari segi sanksi dan ancaman Allah dengan memberatkan kaffarah terhadap pelakunya yang melanggar apa yang dilakukannya itu terhadap sebagaimana terdapat dalam surah Al-Mujadilah ayat 3, yaitu: 


وَٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا۟ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَآسَّا ۚ ذَٰلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِۦ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ


Artinya: “Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan. Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. 

Adapun akibat zihar yaitu, apabila terjadi zihar maka hukumnya ialah: Pertama, suami haram mencampuri istrinya sampai ia membayar kaffarat zihar itu, bahkan Jumhur Ulama memandang haram juga mukaddimah dari pada pekerjaan mencampuri itu. Kedua, suami harus membayar kafarat apabila ingin kembali kepada istrinya.  

Menurut istilah hukum Islam zihar, zihar dapat dirumuskan dengan, “Ucapan kasar yang dilontarkan oleh suami kepada istrinya dengan menyerupakan istri itu, dengan ibu ataau mahram suami sehingga dengan ucapan itu diamksudkan untuk mengharamkan istri bagi suaminya. 

3. Akibat Zihar

Apabila terjadi zihar maka akibat hukumnya ialah:

1) Suami haram mencampuri istrinya sampai ia membayar kaffarat zihar itu, bahkan Jumhur Ulama memandang haram juga Mukaddimah dari pada pekerjaan mencampuri itu

2) Suami harus membayar kaffarat apabila ingin kembali kepada istrinya.  


4. Hikmah Zihar

Dalam masalah Zihar ada dua hikmah yang terkandung, yaitu:

1) Hikmah Sebagai Hukuman, yaitu karena dia mewajibkan atas dirinya sendiri suatu yang tidak berlaku pada orang lain, dan membawa kepada dosa dari peninggalan kaum Jahiliyah tanpa ada ketentuan hukum yang mewajibkan. 

2) Hikmah Kafarat (Denda), sanksi itu ada dua bentuk, bisa jadi sanksi berupa harta dan bisa jadi berupa sanksi badan. Memerdekakan budak dan memberi makan 60 orang miskin adalah sanksi harta yang didalamnya mengandung kesengsaraan pada jiwa hingga akhirnya enggan untuk mengulangi perbuatan lagi. Sementara itu, puasa 2 bulan 60 hari berturut-turut tanpa berhenti adalah mengandung kesengsaraan juga yaitu sanksi badani pada satu sisi dan ibadah pada sisi lain. 



BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Li’an ialah sumpah yang di ucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu. Ayat yang mengatur tentang Li’an ini ialah QS. An-Nur ayat 6-7. Salah satu dari hikmah dari sumpah li’an adalah melarang dan memperingatkan suami-istri agar jangan melakukan perlakuan buruk yang akan mengurangi kemulian itu.

Zihar menurut istilah hukum Islam adalah ucapan suami terhadap isterinya yang berisi menyamaakan punggung isterinya dengan punggung ibunya atau menyamakan tubuh atau bagian tubuh isterinya dengan orang lain yang haram bagi suaminya itu. Dalam masalah Zihar ada dua hikmah yang terkandung, yaitu: Hikmah Sebagai Hukuman, yaitu karena dia mewajibkan atas dirinya sendiri suatu yang tidak berlaku pada orang lain, dan membawa kepada dosa dari peninggalan kaum Jahiliyah tanpa ada ketentuan hukum yang mewajibkan; Hikmah Kafarat (Denda), sanksi itu ada dua bentuk, bisa jadi sanksi berupa harta dan bisa jadi berupa sanksi badan.

B. Saran

Terima kasih telah membaca selembar makalah yang kami buat. Tapi tidak ada gading yang tidak retak, didalam makalah ini tentu kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, baik dari penulisan makalah ini dan sebagainya, untuk itu kami selaku pemakalah memohon kritikan dan saran dari teman-teman semua.



DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Nanda dan Jamaluddin. Buku Ajar Hukum Perkawinan. Sulawesi: Unimal Press. 2016. Cet.1.

Ghazaly, Abd. Rahman. Fikih munakahat. Bogor: Kencana, 2003.

Mathlub, Abdul Majid Mahmud. Panduan Hukum Keluarga Sakinah. Surakarta: Era Intermedia. 2005.

Nurudin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:Kencana, 2004

Nur, Djamaan. Fiqih Munakahat. Semarang: Dina Utama Semarang. 1993.

Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2016.

Sya’rawi, Muhammad Mutawwali. Fiqih Wanita. Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2006.

Wafa, Moh. Ali. Hukum Perkawinan Di Indonesia sebuah Kajian Dalam Hukum Islam Dan Hukum Materil. Tangerang Selatan: Yayasan Asy-Syari’ah Modern Indonesia.  2018. 



Tidak ada komentar:

Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia

 MAKALAH “Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia ” Mata Kuliah: Hukum Perdata Islam di Indonesia B  Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH ...

Diberdayakan oleh Blogger.