Khulu dan 'Ila

MAKALAH

Khulu dan ‘Ila

Mata Kuliah : Fiqh Munakahat B

Dosen Pengajar : Noor Efendy, S.H.I., M.H

 

Kelompok 4 :

Oleh

Nor Aida Santi (2019110719)

Siti Maulida (2019110728)


PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

DARUL ULUM KANDANGAN

TAHUN 2021 M  



DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

BABI PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Khulu

B. Syarat dan Rukun Khulu

C. Dasar Hukum Khulu

D. Akibat Hukumnya

E. Pengertian ‘Ila

F. Syarat dan Rukun ‘Ila

G. Akibat Hukumnya

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA



BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Syariat Islam menjadikan Al-Khulu’ (gugatan cerai) sebagai satu alternative penyelesaian konflik rumah tangga jika konflik itu tidak dapat diselesaikan dengan baik-baik. Oleh karena itu jika istri bermasalah maka solusinya dengan thalaq dan jika suami yang bermasalah maka solusinya dengan khulu’.

Khuluk adalah bagian dari putusan perkawinan karena perceraian. 

Sekalipun talak berada di tangan suami dan merupkan hak suami, namun istri juga dapat mengajukan gugatan putus nikah. Tetapi untuk melakukan pemutusan hubungan perkawinan dengan khulu’ dibutuhkan kesepakatan antara suami dan isteri. Menurut para jumhur ulama hukumnya boleh atau mubah.

Dalam berumah tangga, terkadang ada kasus yang menimpa antara suami dengan isterinya. Salah satu kasus yang terjadi adalah ucapan sumpah dari lisan suami untuk tidak menyetubuhi isterinya dalam jangka waktu tertentu. Hal ini dapat terjadi karena suami marah terhadap isterinya, dan ia tidak bisa menjaga emosinya sehingga lisannya terlalu mudah mengucapkan ila’ namun terkadang ila’ yang dilakukan suami untu mendidik isteri juga sebagai salah satu alternatif bentuk hukuman di saat melihat kesalahan isteri.

Dengan dijatuhkan ilaa’ isteri akan merasakan beban psikis karena kebutuhan biologisnya tidak terpenuhi, sehingga diharapkan isteri akan menyadari kesalahannya kepada suami dan meminta maaf. Sedangkan si suamipun terhindar dari pemberian hukuman yang dzalim, seperti memukul keras yang menimbulkan bekas atau menampar wajah.

Meskipun demikian, efektif tidaknya ila’ sebagai bentuk didikan, harus disertai dengan pemahaman yang baik suami terhadap kondisi rumah tangganya dan sifat-sifat isterinya. Hal ini karena sifat wanita satu terkadang berbeda dengan sifat wanita yang lain. Konsekuensinya, jenis hukuman pun hendaknya disesuaikan dengan sifat-sifat wanita, sebagaimana yang dapat kita ketahui dalam buku-buku fiqih.


B. Rumusan Masalah

1. Apa Yang di Maksud dengan Khulu’?

2. Bagaimana Kedudukan Hukum Khulu’?

3. Apa Yang di Maksud dengan Ila’?

4. Bagaimana Kedudukan Hukum Ila’?


C. Tujuan 

1. Untuk Mengetahui dan Memahami Apa Yang di Maksud dengan Khulu’.

2. Untuk Mengetahui dan Memahami Kedudukan Hukum Khulu’.

3. Untuk Mengetahui dan Memahami Apa Yang di Maksud dengan Ila’.

4. Untuk Mengetahui dan Memahani Kedudukan Hukum Ila’.

BAB II 

PEMBAHASAN

A. Pengertian Khulu’

Khulu dalam bahasa arab berarti menghilangkan atau menanggalkan. Dalam makna syariat, khulu’ diartikan perpisahan wanita dengan ganti dan dengan kata-kata khusus. Khulu hukumnya diperbolehkan jika diperlukan. Dasar hukumnya terkait dengan khulu’ terdapat pada Qs. Al-Baqarah Ayat 229.   

Ahli fiqh mendifinisikan khulu’dengan فراق الر جل زوجته ببذل يحصل له  (Cerai yang dijatuhkan seorang suami terhadap istrinya dengan mendapat imbalan). Khulu’ dibenarkan karena untuk menghilangkan madarat pada istri. Khulu’ dapat diajukan jika suami berbuat zina, mabuk, judi, dan lain-lain atau karena istri tidak menyukai sifat-sifat suami yang dapat menghalanginya membangun rumah tangga yang baik. Khulu’ terhitung sebagai talak sehingga megurangi bilangan talak. Berbeda dengan talak, khulu’ dapat dijatuhkan ketika isteri sedang haid, atau suci yang sudah dicampuri. 

Wanita yang berpisah dengan suaminya akibat khulu’,tetap berkewajiban menjalani masa ‘iddah secara normal. Berbeda dengan talak raj’I, wanita yang bercerai akiba khulu’ dapat menolak ajkan suaminya untuk rujuk. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak ada rujuk dalam khulu’. Oleh sebab itu, jika ingin kembali, harus melalui nikah baru. Namun demikian, sekalipun khulu’ diperbolehkan, Nabi berpesan agar wanita memanfaatkan  jalan ini hanya dalam keadaan darurat saja. 

Menurut para madzhab pengertian khulu’ ada beberapa makna yakni, Madzhab syafi’I khulu’ adalah perpisahan antara suami dan isteri dengan iwad dengan lafazh thalak atau lhulu’. Adapun menurut Maliki khulu’ yaitu mencakup perpisahan yang terjadi dengan iwadh atau tanpa iwadh. Sedangkan menurut Madzhab Hanafi khulu’ adalah penghilangan kepemilikan ikatan pernikahan yang bergantung kepada penerimaan isteri dengan lafadz khulu. 

B. Syarat dan Rukun Khulu’  

Di dalam khulu’ terdapat beberapa unsur yang merupakan rukun yang menjadi karakteristik dari khulu itu dan di dalam setiap rukun terdapat beberapa syarat yang hampir keseluruhannya menjadi perbincangan dikalangan ulama. Adapun yang menjadi syarat khulu itu adalah:

1. Suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan

2. Istri yang meminta cerai dari suaminya dengan uang tebusan

3. Uang tebusan atau iwadh, danAlasan untuk terjadinya khulu’

a. Suami. Syarat suami yang menceraikan istrinya dalam bentuk khulu sebagaimana yang berlaku dalam thalaq adalah seseorang yang ucapannya telah dapat diperhitungkan secara syara, yaitu akil, baligh, dan bertindak atas kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan.

b. Istri yang di khulu. Istri yang mengajukan khulu kepada suaminya disyaratkan hal-hal sebagai berikut:

1) Ia adalah seseorang yang berada dalam wilayah si suami

dalam arti, istrinya atau yang telah diceraikan, namun masih berada dalam iddah rajiy.

2) Ia adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta, karena untuk pengajuan khulu ini ia harus menyerahkan harta. Untuk syarat ini ia harus seorang wanita yang telah baligh, berakal, tidak berada di dalam pengampuan, dan sudah cerdas dalam bertindak atas harta.

3) Khulu boleh terjadi dari pihak ketiga, seperti walinya dengan persetujuan istri. Khulu ini disebut khulu ajnabi. Pembayaran iwadh dalam khulu seperti ini ditanggung oleh pihak ajnabi tersebut.

a) Adanya uang tebusan, atau ganti rugi atau iwadh

b) Shighat atau ucapan cerai yang disampaikan oleh suami yang dalam ungkapan tersebut dinyatakan uang ganti atau iwadh. Menurut ulama ucapan khulu terdapat dua macam. Pertama, menggunakan lafadz yang jelas dan terang atau shahih. Kedua, menggunakan lafadz kinayah yaitu lafadz lain yang tidak langsung berarti perceraian tapi dapat digunakan untuk itu.

c) Adanya alasan untuk  terjadinya khulu’. 

Para ulama mazhab sepakat bahwa syarat istri yang mengajukan khulu’ kepada suaminya itu wajib sudah baligh dan berakal sehat. Mereka juga sepakat bahwa istri yang safih (idiot) tidak boleh mengajukan khulu’ tanpa izin walinya, dan mereka berbeda pendapat tentang keabsahan khulu’nya manakala diizinkan oleh walinya. 

C. Dasar Hukum Khulu’

Surah Al-Baqarah ayat 229


اَلطَّلَاقُ مَرَّتٰنِ‌ ۖ فَاِمۡسَاكٌ ۢ بِمَعۡرُوۡفٍ اَوۡ تَسۡرِيۡحٌ ۢ بِاِحۡسَانٍ‌ ؕوَلَا يَحِلُّ لَـکُمۡ اَنۡ تَاۡخُذُوۡا مِمَّآ اٰتَيۡتُمُوۡهُنَّ 

شَيۡـــًٔا اِلَّاۤ اَنۡ يَّخَافَآ اَ لَّا يُقِيۡمَا حُدُوۡدَ اللّٰهِ‌ؕ فَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَ لَّا يُقِيۡمَا حُدُوۡدَ اللّٰهِۙ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَا فِيۡمَا افۡتَدَتۡ بِهٖؕ‌ تِلۡكَ حُدُوۡدُ اللّٰهِ فَلَا تَعۡتَدُوۡهَا ‌ۚ‌ وَمَنۡ يَّتَعَدَّ حُدُوۡدَاللّٰهِ فَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوۡنَ

Artinya: 

Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zhalim. 

Adapun hadist sebagai argumentasi hukum Khulu’ merujuk kepada hadist yang berbunyi:

Dari Ibnu Abbas, Bahwasanya Jamilah binti Salul mendatangi Nabi Saw. dan berkata, “ Demi allah! Aku tidak menyalahkannya pada sesuatu yang telah tetap dalam hal agama ataupun akhlak, akan tetapi aku membenci (perilaku0 kekufuran dalam Islam, aku tidak dapat menahan kebencian. “ Maka Rasulullah Saw Bersabda, “ Apakah kau mau mengembalikan kebunnya?” ia menjawab, “ Ya.” Maka Rasulullah Saw. menyuruhnya (suaminya) agar mengembalikan kebunnya darinya dan tidak melebihkan. (Hr. Ibnu Majah). 

1. Khulu’ Menurut KHI

Hukum Positif pada prosedur hukum yang berlaku di Indonesia

mengenai khulu’ dapat dilihat pada Kompilasi Hukum Islam pada pasal 148 yang ketentuannya berbunyi:

a. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyampaikan permohonannya kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.

b. Pengadilan agama selambat-lambatnya satu bulang memanggil isteri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing.

c. Dalam persidangan tersebut pengadilan agama memberikan penjelasan tentangakibat khuluk, dan memberikan nasehat-nasehatnya.

d. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadh atau tebusan maka pengadilan memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya didepan sidang pengadilan agama. Terhadap pene-tapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.

e. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana diatur dalam pasal 131ayat (5).

f. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau iwadhpengadilan agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa.

g. Ditambahkan pada Kompilasi Hukum Islam Pasal 161 bahwa khuluk tidak dapat dirujuk. 

D. Akibat Hukum Khulu’

Perceraian yang dilakukan dengan putusnya Pengadilan Agama adalah perceraian yang dilakukan berdasarkan suatu gugatan perceraian oleh istri. Tatacara perceraian yang berhubungan dengan gugatan, dilakukan sebagaimana pasal 28 PMA Nomor 3 Tahun 1975. Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk.

1. Khulu’ Tanpa Alasan

Khulu’ hanya  di bolehkan kalau ada alasan yang benar . seperti: suami cacat badan, buruk akhlaqnya, tidak memberi nafkah lahir batin, dan tidak memenuhi kewajiban terhadap istrinya,  sedangkan istri khawatir akan melanggar hukum Allah. Dalam keadaan seperti ini maka istri tidak wajib memenuhi hak suami. Maka jika tidak ada alasan yang benar, maka tidak di perbolehkan oleh syariah.

Sebagaimana hadis yang di riwayatkan oleh Ibnu Majah dan Tirmidzi:  Dari Tsauban ra. bahwa Rasulullah saw bersabda:  Setiap wanita yang minta Thalaq kepada suaminya tanpa alasan yang di benarkan agama, maka haram baginya mencium semerbak (wanginya) surga. (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi).

Dari tsauban ra. dari Rasulullah saw bersabda: 

Wanita-wanita yang melakukan khulu adalah wanita-wanita munafiq”(HR. Tirmidzi). 

a. Iddah perempuan yang di khulu’

Menurut pendapat Utsman, Ibnu Abbas dan riwayat yang paling shahih dari Ahmad bin Hambal, dan juga pendapat Ishaq bin Rahawaih, bahwa perempuan yang di Khulu iddah-Nya satu kali Haid. Sebagaimana hadis Tsabit, beliau bersabda kepadanya:

“menjawab: Baik, lalu Rasulullah saw menyuruh istri Tsabit beriddah dengan satu kali haid dan di Ambillah miliknya  (Istri Tsabit) untuk mu (tsabit) dan mudahkanlah urusannya, lalu ia kembalikan kepada keluarganya (HR. Nasai). 

2. Sighat khulu’

Shigat Khulu' maksudnya adalah kata-kata yang harus diucapkan sehingga terjadinya akad Khulu'. Shigat ini mencakup dua hal, Ijab dari salah satu pihak dan Qabul dari pihak lainnya. Dengan demikian, Shigat Khulu' ini adalah kata-kata yang dapat digunakan sebagai Ijab-Qabul dalam Khulu'. Pada dasarnya, shigat ini harus dengan kata-kata. Namun, untuk kondisi yang tidak memungkinkan, seperti karena bisu misalnya, maka shigatnya boleh dengan isyarat yang dapat dipahami.

Jumhur ulama membolehkan sighah khulu di ucapkan dengan kata jelas atau kiasan, seperti khulu atau fasakh sepertiبارئتك  (Aku melepaskan- Mu) dan suami berkata kepada istrinya بعتك نفسي بكذا  “Aku menjual diri-Ku dengan sekian”  lalu istri berkata اشتريت  “ Aku membeli-Mu” Atau suami berkata demikian  اشتريت طلاقك بكذا   “Belilah thalaq-Mu dengan sekian”  lalu Istri berkata  قبلت  “Aku terima”

Khulu tidak syah bila di lakukan secara Mu’athah (serah terima), yaitu dengan cara istri memberikan tebusan kepada suami dan berpisah tanpa keduanya mengucapkan sighat apapun.

Imammiyah berpendapat bahwa khulu’ tidak syah bila menggunakan kata kiasan. Mereka hanya mensyahkan sighat dengan kata khulu’ dan thalaq, keduanya bisa di ucapkan sekaligus atau salah satu dari keduanya. Misalnya: Istri berkata بذلت كذا لتطلقني  “Aku serahkan sekian demi engkau menthalaq-Ku” lalu suami berkata:  خعلتك على ذلك  فأنت طالق ”aku mengkhulu’-Mu atas hal itu maka kamu tercerai” 

 

E. Pengertian ‘Ila

Ila’ menurut bahasa adalah bersumpah atau terlarang dengan sumpah. Menurut syariat, ila’ adalah sumpah suami yang sah talaknya, bahwa dirinya tidak akan mencampuri isterinya tanpa batas waktu atau lebih dari empat bulan. 

Dalam sejarahnya, ila’ adalah praktik yang dilakukan oleh orang Arab masa jahiliyah untuk menghukum isterinya karena anggapan bahwa posisi perempuan (isteri) adalah lebih rendah dari posisi laki-laki. Praktik ini dilakukan oleh suami tanpa batas waktu yang mengakibatkan timbulnya penderitaan berkepanjangan dan tidak berkesudahan bagi isteri. Bahwa dianya bersuami namun tidak diberikan hak-hak nya sebagai isteri khususnya hak nafkah untuk digauli dengan baik.  

Dengan demikian status wanita menjadi menggantung, bukan isteri, tapi juga tidak ditalak. Kemudian Islam datang dan mengaturnya dengan memberi batas waktu 4 bulan, berdasarkan QS. al-Baqarah [2] 226-227:


لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ ۖ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya :

Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah (2) : 226 – 227).

Sebuah qiraat dari Ibnu Abbās dan Ubay, berdasarkan ayat di atas, menurut jumhur, sumpah yang dilakukan suami untuk waktu 4 bulan atau kurang, tidak disebut īlā’, sebab perintah ayat untuk menunggu selama 4 bulan menjadi tidak ada artinya karena masa tunggu berakhir sebelum 4 bulan atau persis 4 bulan. 

F. Syarat dan Rukun ‘Ila

1. Syarat ‘Ila

Seorang suami yang akan melakukan ila’ kepada isteri haruslah memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam syariat Islam. Syarat- syarat untuk melakukan ila’ menurut ulama Hanafi adalah:  

a. Kedudukan perempuan itu hendaklah sebagai isteri dari si suami

b. Suami memiliki kelayakan untuk menjatuhkan talak

c. Hendaknya sumpah ini tidak dikaitkan dengan sesuatu tempat tertentu karena ia tentunya boleh menghampiri isterinya di tempat yang lain

d. Hendaklah tidak digabungkan antara isteri dengan orang ajrabi, karena dengan gabungan demikian suami mungkin boleh mendekati isterinya sendirian tanpa dikenakan apa-apa kewajiban

e. Hendaklah yang enggan dilakukan itu hanya persetubuhan saja

f. Tidak kembali (fay) melakukan jima’ dengan isteri berkenan dalam tempo yang telah ditentukan yaitu empat bulan, karena Allah SWT telah menjadikan keazaman untuk menceraikannya sebagai satu syarat untuk terlaksananya.  

2. Rukun ‘Ila

Menurut jumhur fuqaha,  ila’ memiliki empat rukun, yaitu :

a) Al-haalif (orang yang bersumpah atau al-mauli)

Menurut madzhab Hanafi orang yang melakukan ilaa’ adalah setiap suami yang memiliki kemampuan untuk menjatuhkan talak. Yaitu semua orang yang aqil baligh yang memiliki pernikahan dan disandarkannya kepada kepemilikian pernikahan. Atau orang yang tidak dapat mendekati isterinya kecuali dengan ssuatu yang berat yang harus dia penuhi.

Menurut madzhab Syafii, orang yang melakukan ila’ adalah suami yang sah talaknya atau semua suami yang aqil baligh yang mampu untuk melakukan persetubuhan. tidak sah ilaa’ yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, orang yang dipaksa dan orang yang lumpuh.

Menurut madzhab Hambali orang yang melakukan ila’ adalah setiap suami yang dapat melakukan persetubuhan, yang bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan salah satu sifatnya untuk tidak menyetubuhi isterinya yang dapatdisetubuhi dalam masa yang melebihi empat bulan. 

b) Al-mahluuf bihi (yang dijadikan sebagai sumpah)

Yang dijadikan sebagai sumpah adalah dengan menyebut nama Allah atau juga dengan menyebut sifat-sifatnya menurut kesepakatan para fuqaha. Menurut madzhab Hambali dan Maliki orang yang tidak melakukan persetubuhan dengan tanpa sumpah dilazimkan hukum ila’ jika dia bertujuan untuk menciptakan kemudharatan. Oleh sebab itu ditetapkan masa selama empat bulan. 

c) Al-mahluuf’alaih (objek sumpah)

Objek sumpah adalah persetubuhan, dengan semua lafal yang mengandung pengertian persetubuhan. Misalnya: aku tidak setubuhi kamu dan aku tidak junub darimu, aku tidak dekati kamu.

d) Masa

Menurut pendapat jumhur fuqaha selain madzhab Hanafi yaitu si suami bersumpah untuk tidak menyetubuhi isterinya selama lebih dari empat bulan. Sedangkan menurut madzhab Hanafi masa yang paling minimal adalah lebih dari empat bulan, oleh karena itu, jika si suami bersumpah selama tiga bulan atau empat bulan maka menurut jumhur fuqaha dia tidak melakukan ilaa’.

Sebab perselisihan pendapat diantara mereka adalah kembali kepada mereka mengenai al-fay yang merupakan tindakan kembali mendekati isteri. Apakah dilakukan sebelum lewat masaempat bulan ataukah setelah masa empat bulan. 

G. Akibat Hukumnya

Atas dasar Surat Al-Baqarah ayat 226 – 227 ini pelaksanaan illa’ menjadi 4 bulan sebagai jangka waktu untuk tidak menggauli istri. Bila kurang dari 4 bulan lamanya, maka perbuatan itu tidak dapat dikatakan sebagai illa’. Apabila masa tempo 4 bulan telah dilalui seorang suami yang ber-illa’ harus memilih untuk mencabut sumpahnya atau menceraikannya. 

Apakah sumpah illa’ ini otomatis menjatuhkan sebuah talak atau otomatis bercerai?. illa’ ini hanya sebatas sumpah untuk tidak menggauli, secara hukum hal ini belum menimbulkan dampak terhadap hubungan perkawinan. illa’ masih sebatas sumpah dengan maksud untuk menenangkan hati dan perasaan seorang suami terhadap istrinya. 

Oleh karena itu dalam illa’ ini belum menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum terjadi bila illa’ ini berakhir bila suami setelah habis jangka waktunya dan memilih untuk menceraikan /mentalak istrinya.  

Menurut jumhur, suami dapat kembali kepada isteri sebelum berakhirnya ‘masa tunggu’ 4 bulan, atau setelah melewati masa 4 bulan. Namun demikian, ia harus membayar kifarat (denda) karena telah melanggar sumpah.

Setelah melewati 4 bulan dan suami tidak Kembali pad istrinya maka, dalam hal ini isteri dapat menuntutnya ke pengadilan untuk meneruskan pernikahan, atau talak. Jika suami tidak bersedia menjatuhkan talak, menurut Malik, hakim dapat memaksa suami untuk menjatuhkan talak untuk menghindarkan isteri dari madarat akibat kondisi tersebut. Berbeda dengan pandangan Mālik tersebut, Imam Shāfi’i, Ḥanbalī, dan ulama Ẓāhirī berpendapat bahwa hakim tidak dapat memaksa suami untuk menceraikan, tapi memenjarakan sang suami dan membiarkannya menjatuhkan talak sendiri.  

Ulama Ḥanafī berpendapat, jika masa empat bulan sudah berlalu, maka secara otomatis jatuh talak dengan status talak bā’in, sehingga suami tidak dapat rujuk (hilang haknya). Menurut mereka, īla’ itu pada hakikatnya adalah talak yang ditunda, kemudian shara’ memberi batas waktu empat bulan. Jika di-illustrasikan, īla’ itu adalah ucapan suami kepada isteri, ‘jika sudah lewat waktu empat bulan aku belum menyetubuhimu, maka engkau tertalak’.

Berbeda dengan Ḥanafiyah, jumhur ulama antara lain Mālik, Shāfi’ī, Sa’īd b. Musayyab, dan beberapa ulama lain berpendapat bahwa talak akibat īlā’ adalah talak raj’ī, karena tidak ada dalil yang menyatakan bahwa talak akibat īlā’ adalah talak bā’in. 

Di samping itu, talak tersebut merupakan talak yang dijatuhkan pada wanita yang sudah disetubuhi dan diceraikan tanpa uang tebusan. Dalam pandangan jumhur, pada dasarnya setiap talak adalah talak raj’ī, kecuali ada dalil yang menyatakan bahwa talak tersebut adalah kategori bā’in.  

Adapun kafarat sumpah yang harus diindahkan oleh suami bila kembali menggauli isterinya adalah: 

1. Memerdekakan seorang hamba

2. Memberi makan 10 orang miskin, tiap-tiap seseorang satu cupak makanan yang mengenyangkan

3. Memberi pakaian kepada 10 orang miskin, tiap-tiap seorang sepasang pakaian

4. Puasa 3 hari.  

Jadi kesimpulannya, akibat hukum yang di timbulkan apabia pasangan suami istri melakukan illa’, karena yang bertindak sebagai eksekutor atau yang bersumpah untuk tidak meniduri istri adalah suami, maka akibat hukumannya adalah yang pertama tersiksanya seorang istri karena tidak ditiduri dan tidak pula diceraikan, kemudian yang kedua adalah selama 4 bulan suami tidak boleh meniduri istri atau membayar kafarat sumpah atau dengan menceraikannya sang istri.   

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Khulu’ adalah perpisahan wanita dengan ganti dan dengan kata-kata khusus. Khulu hukumnya diperbolehkan jika diperluka. Dasar hukumnya terkait dengan khulu’ terdapat pada Qs. Al-Baqarah Ayat 229. Ada beberapa syarat khulu’ yaitu, Suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan, Istri yang meminta cerai dari suaminya dengan uang tebusan dan Uang tebusan atau iwadh, danAlasan untuk terjadinya khulu’. Diadalm rukun ini terdapat syarat khulu’ yaitu suami dan isteri.

ila’ adalah praktik yang dilakukan oleh orang Arab masa jahiliyah untuk menghukum isterinya karena anggapan bahwa posisi perempuan (isteri) adalah lebih rendah dari posisi laki-laki. Praktik ini dilakukan oleh suami tanpa batas waktu yang mengakibatkan timbulnya penderitaan berkepanjangan dan tidak berkesudahan bagi isteri. Bahwa dianya bersuami namun tidak diberikan hak-hak nya sebagai isteri khususnya hak nafkah untuk digauli dengan bai. Kemudian Islam datang dan mengaturnya dengan memberi batas waktu 4 bulan, berdasarkan QS. al-Baqarah [2] 226-227.

Rukun ila’ yaitu, kedudukan perempuan itu hendaklah sebagai isteri dari si suami, suami memiliki kelayakan untuk menjatuhkan talak, hendaknya sumpah ini tidak dikaitkan dengan sesuatu tempat tertentu karena ia tentunya boleh menghampiri isterinya di tempat yang lain, hendaklah tidak digabungkan antara isteri dengan orang ajrabi, karena dengan gabungan demikian suami mungkin boleh mendekati isterinya sendirian tanpa dikenakan apa-apa kewajiban ,hendaklah yang enggan dilakukan itu hanya persetubuhan saja, tidak kembali (fay) melakukan jima’ dengan isteri berkenan dalam tempo yang telah ditentukan yaitu empat bulan, karena Allah SWT telah menjadikan keazaman untuk menceraikannya sebagai satu syarat untuk terlaksananya.

Dan syarat ila’ ada tiga yaitu adalah Al-haalif (orang yang bersumpah atau al-mauli), Al-mahluuf bihi (yang dijadikan sebagai sumpah), Al-mahluuf’alaih (objek sumpah), dan masa.


DAFTAR PUSTAKA

Jamaluddin dan Nanda Amalia. “Buku Ajar Hukum Perkawinan”. Lhokseumawe: Unimal Press. 2016

Muzammil, Muzammil. “Fiqh Munakahat (Hukum Pernikahan dalam Islam)”. Tangerang: Tira Smart. 2019

Lisdianti. “Makalah ‘Ila”. 2014. http://iyandeeh.blogspot.com/2014/01/makalah-ila.html (Diakses Jumat, 19 Maret 2021, Pukul 22.35 WITA)

Sanjaya, Umar Haris dan Aunur Rahim Faqih. “Hukum Perkawinan Islam”. Yogyakarta: Gama Media. 2017

Hanafi. “’Ila dan Sumpah Li’an (Nakalah Ekonomi Syariah)”. 2016. http://makalahekonomiku.blogspot.com/2016/10/ila-dan-sumpah-lian-makalah-ekonomi.html (Diakses Jumat, 19 Maret 2021, Pukul 23.10 WITA)

Ramulyo. “Hukum Perkawinan Islam”. PT Bumi Aksara: Jakarta, 2004.

Mughniyah, Muhammad Jawad. “Fikih Lima Mazhab”. Penerbit Latera: Jakarka, 2007.

Wafa, Moh. Ali. ”Hukum Perkawinan Di Indonesia”.  Jakarta: YASMI, 2018

Al-Khalafi


Tidak ada komentar:

Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia

 MAKALAH “Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia ” Mata Kuliah: Hukum Perdata Islam di Indonesia B  Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH ...

Diberdayakan oleh Blogger.