Fasakh

 Fasakh: Pengertian, Pelaksanaan, dan Akibat Hukumnya


Mata Kuliah: Fiqh Munakahat B

Dosen Pengampu: Noor Efendy, SHI, MH


 


Disusun oleh:

Kelompok 3

Norlatifah (2019110721)

Sa’adatul Munawwarah (2019110735)


PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

DARUL ULUM KANDANGAN

1442 H/ 2021 M

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan salah satu kebutuhan manusia dalam kehidupan sehari-hari, dan juga merupakan awal untuk menuju kehidupan sosial di lingkungan masyarakat dengan satu tujuan perkawinan, yaitu menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Perkawinan tidak hanya mengikat antara satu orang laki-laki dengan seorang perempuan melainkan perkawinan juga melibatkan dua keluarga bahkan lebih, karena itu jika ada permasalahan yang timbul maka penyelesaian yang harus dilakukan ialah mempertimbangkan kelangsungan baik dengan keluarga yang bersangkutan.

Dalam hal lain perceraian masih tetap menduduki perkara tertinggi di lingkungan Peradilan Agama. Hal ini dikarenakan Islam telah memberikan hak kepada suami isteri untuk membubarkan perkawinan dengan berbagai cara yang telah diatur dengan berbagai syarat yang harus terpenuhi, pembubaran ini dapat dilakukan dengan cara khulu’, talak dan fasakh.

Apabila akad nikah telah berlangsung dan memenuhi syarat rukunnya, maka akan menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian, akad tersebut menimbulkan hak dan kewajiban suami istri dalam keluarga yang meliputi: hak atas suami istri, hak istri terhadap suami. Termasuk di dalamnya adab suami terhadap istri yang telah dicontohkan Rasulullah SAW.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang fasakh nikah yang kemudian pembahasannya diawali dengan pengertian fasakh, pelaksanaannya, akibat hukum dari fasakh, dan akibat fasakh nikah. Dalam makalah ini juga ada penjelasan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI).

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu fasakh?

2. Bagaimana pelaksanaan fasakh?

3. Apa akibat hukumnya dari fasakh?

4. Apa akibat fasakh nikah?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui maksud dari fasakh.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan fasakh.

3. Untuk mengetahui akibat hukumnya dari fasakh.

4. Untuk mengetahui akibat fasakh nikah.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Fasakh

1. Pengertian Fasakh

Secara bahasa, fasakh berarti pengurangan atau pemisahan (النقص أو (التفريق. Adapun secara istilah, fasakh berarti melepaskan kaitan akad atau menghilangkan hukum akad dari asalnya menjadi kembali seperti sediakala (حل ارتباط العقد، أو هو ارتفاع حكم العقد من الأصل). Adakalanya istilah fasakh digunakan untuk menunjuk pada makna mengangkat/menghapus akad dari asalnya, adakalanya digunakan untuk menunjuk makna penghilangan akad dinisbatkan pada masa mendatang. 

Fasakh disebut juga dengan batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan. Yang dimaksud dengan menfasakh nikah adalah membatalkan atau memutuskan ikatan hubungan antara suami isteri. 

Hasballah Thaib menyatakan bahwa fasakh ialah perceraian dengan merusak atau merombak hubungan nikah antara suami dengan isteri, perombakan ini dilakukan oleh petugas atau hakim dengan syarat-syarat tertentu tanpa ucapan talak. Perceraian dengan fasakh ini membawa konsekuensi bahwa hubungan perkawinan tidak dapat dirujuk kembali dalam hal suami hendak kembali dengan isterinya, namun untuk dapat melanjutkan harus dilakukan dengan akad nikah yang baru.

Pendapat lain terkait dengan fasakh diungkapkan oleh Sayyid Sabiq bahwa fasakh bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak dipenuhi pada akad nikah atau karena hal-hal lain datang kemudian yang membatalkan kelangsungan perkawinan. Berdasarkan pandangan ini dapat diketahui bahwa fasakh sebagai salah satu bentuk perceraian bertujuan untuk mengubah atau membatalkan hubungan suami isteri melalui putusan hakim, dikarenakan setelah berlangsungnya perkawinan diketahui dan ditemukan adanya syarat-syarat yang tidak dipenuhi dalam perkawinan tersebut. 

2. Fasakh Menurut Ulama Empat Mazhab

Golongan Hanafiyyah berpendapat bahwa yang namanya kerusakan pernikahan itu datangnya adalah dari suami dan tidak ada tanda-tanda kerusakan itu datang dari pihak isteri, oleh karena semua yang datang dari pihak isteri disebut fasakh. 

Mazhab Hanafi berpendapat terkait tuntutan melakukan fasakh adalah sepenuhnya diberikan kepada isteri karena hanya dengan cara inilah isteri bisa melepaskan diri dari kemudharatan yang ia terima, sedangkan suami bisa menghilangkan mudharat yang ia terima dari pasangannya melalui jalan talak, dan isteri tidak mempunyai hak talak, talak sepenuhnya adalah hak suami. Kemudian dijelaskan oleh Mazhab Maliki, Hambali, Syafi’i hak untuk melakukan tuntutan fasakh adalah hak suami dan isteri disebabkan karena yang menerima mudharat akibat dari uyub (penyakit dan cacat) tersebut adalah kedua pasangan suami dan isteri. 

Menurut Imam Asy-Syafi’i pemutusan hubungan pernikahan (fasakh) adalah semua pemutusan ikatan suami isteri yang tidak disertai dengan talak, baik talak satu, dua, ataupun tiga. 

3. Fasakh Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Fasakh itu disama-artikan dengan pengertian batalnya perkawinan sebagaimana diatur pada pasal 70 dan pasal 71 Kompilasi Hukum Islam. Mengingat pemaknaan dari fasakh itu sendiri adalah batal atau rusak (pembatalan perkawinan). Kompilasi Hukum Islam pasal 70 mengatur tentang batalnya perkawinan apabila:

a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj’i

b. Seseorang dengan bekas isterinya yang telah dili’annya

c. Seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi talak tiga kali olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba’daal dukhul dan pria tersebut telah habis masa iddahnya

d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu:

1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas

2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya

3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau ayah tiri.

4) Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.

e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau keponakan dan isteri atau isteri-isterinya.

Dikuatkan pada pasal selanjutnya yaitu pasal 71 yang mengatur bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila:

a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama 

b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud

c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain

d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak

f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. 

4. Dasar Hukum Fasakh

Pada dasarnya hukum fasakh adalah mubah atau boleh, tidak disuruh dan tidak pula dilarang.  Dasar pokok dari hukum fasakh ialah seorang atau kedua suami isteri merasa dirugikan oleh pihak yang lain dalam perkawinannya karena ia tidak memperoleh hak-hak yang telah ditentukan oleh syara’ sebagai seorang suami atau sebagai seorang isteri. Akibatnya salah seorang atau kedua suami isteri tidak sanggup lagi melanjutkan perkawinannya atau kalaupun perkawinan itu dilanjutkan juga keadaan kehidupan rumah tangga diduga akan bertambah buruk, pihak yang dirugikan bertambah buruk keadaannya, sedang Allah tidak menginginkan terjadinya keadaan yang demikian. 

Firman Allah SWT Surat Al-Baqarah ayat 231 menyatakan:

فَامْسِكُوْ هُنَّ بِمَعْرُوْفٍ اَوْسَرِّحُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍۗ وَلاَتُمْسِكُو هُنَّ ضِرَارًا لِّتَعْتَدُوْا 

(البقرة: ۲۳۱)

“Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan” (QS. Al-Baqarah: 231). 

Hukum Islam tidak menghendaki adanya kemadharatan dan melarang saling menimbulkan kemudharatan. Dalam hadits dinyatakan bahwa:

عن عمر وبن يحى الما زنيي عن ابيه ان رسول االلّٰه صلى اللّٰه عليه وسلم قآل: لاضررولاضرار (اخرجه مالك)

“Dari Amr bin Yahya Al-Maziny dari bapaknya sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada kemudharatan dan tidak boleh saling menimbulkan kemudharatan” (HR. Malik). 

Menurut qaidah Islam, bahwa setiap kemudharatan itu wajib dihilangkan, sebagaimana qaidah:

الضريزال

“Mudharat itu dapat dihapus” 

Berdasarkan firman Allah SWT, hadits dan qaidah tersebut para fuqaha menetapkan bahwa, jika dalam kehidupan suami isteri terjadi keadaan, sifat atau sikap yang menimbulkan kemudharatan pada salah satu pihak, maka pihak yang menderita mudharat dapat mengambil prakarsa untuk putusnya pernikahan kemudian hakim memfasakhkan pernikahan atas dasar pengaduan pihak yang menderita tersebut. 

5. Sebab Terjadinya Fasakh

Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhi syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan. 

a. Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah:

1) Apabila akad sudah sempurna dan selesai, kemudian diketahui bahwa sang isteri yang dinikahinya ternyata saudara susuannya, maka akadnya harus difasakh

2) Suami isteri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain ayahnya. Kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan perkawinannya dahulu atau mengakhirinya. Khiyar ini dinamakan khiyar baligh. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami isteri, maka hal ini disebut fasakh.

b. Fasakh yang datang setelah akad:

1) Bila salah seorang suami isteri murtad dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan.

2) Jika suami yang tadinya masuk Islam, tetapi isteri masih tetap dalam kekafiran yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau isteri orang ahli kitab, maka akadnya tetap sah seperti semula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semulanya dipandang sah.

c. Fasakh disebabkan karena hal-hal:

1) Syiqaq yaitu adanya pertengkaran antara suami isteri yang tidak mungkin didamaikan 

2) Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya. Misalnya pernikahan budak dengan merdeka, penzina dengan orang terpelihara dan sebagainya

3) Jika isteri disetubuhi oleh ayah atau kakeknya karena faktor ketidaksengajaan maupun menzinahinya

4) Jika kedua pihak saling berli’an 

5) Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya oleh beberapa orang saksi yang dapat dipercaya sehingga tidak sanggup lagi memberi nafkah, baik pakaian, tempat tinggal maupun maskawinnya belum dibayarkan sebelum campur.

B. Pelaksanaan Fasakh

Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh itu jelas, dan dibenarkan syara’, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan putusan pengadilan. Misalnya, terbukti bahwa suami isteri saudara kandung, saudara sesusuan, dan sebagainya.

Akan tetapi bila terjadi hal-hal seperti berikut, maka pelaksanaannya adalah:

1. Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya sedang hakim telah memaksa dia untuk itu. Dalam hal ini hendaklah diadukan lebih dahulu kepada pihak yang berwenang, yakni qadi nikah di pengadilan agama, supaya yang berwenang dapat menyelesaikannya sebagaimana mestinya.

2. Setelah hakim memberi janji kepadanya sekurang-kurangnya tiga hari mulai dari hari isteri itu mengadu. Bila masa perjanjian itu telah habis, sedangkan suami tidak juga dapat menyelesaikannya, barulah hakim memfasakhkan nikahnya, atau dia sendiri yang memfasakhkan di muka hakim setelah diizinkan olehnya. 

Untuk masa pelaksanaan fasakh, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Imam Syafi’i berkata: “istri harus menunggu suaminya yang pergi selama tiga hari,” sedangkan menurut Imam Maliki mengatakan: “istri harus menunggu suaminya yang hilang selama satu bulan.” Dan Imam Hambali mengatakan: “istri harus menunggu suaminya yang hilang selama satu tahun.”

Semua pendapat itu maknanya adalah selama masa tenggat waktu tersebut, memberikan kesempatan kepada laki-laki untuk memberikan keputusan kepada istrinya, akan menceraikan istrinya atau memberikan nafkah apabila si istri tidak rela lagi. Kalau istri mau menunggu dan ia rela dengan ada belanja dari suaminya, maka tidak perlu di fasakh sebab nafkah itu adalah haknya. 

C. Akibat Hukum Fasakh

Pisahnya suami isteri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh talak. Fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka hal ini mengakhiri ikatan pernikahan seketika itu.

Selain itu, pisahnya suami isteri yang diakibatkan talak dapat mengurangi bilangan talak itu sendiri. Jika suami menalak isterinya talak raj’i kemudian kembali pada masa iddahnya atau akad lagi setelah habis masa iddahnya dengan akad baru, maka perubahan terhitung satu talak, dengan demikian maka hak talak ada dua kali lagi. Kemudian apabila pisahnya suami isteri disebabkan karena proses fasakh, hal ini tidak berpengaruh dengan hitungan talak, meskipun terjadinya fasakh karena khiyar baligh, maka suami isteri tersebut harus menikah dengan akad yang baru lagi, artinya suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali untuk menjatuhkan talak.

Bunyi lafal fasakh itu umpamanya: “aku fasakh-kan nikahmu dari suami yang bernama ...... dan ...... pada hari ini.” Kalau fasakh itu dilakukan oleh isteri sendiri dengan mengangkat perkaranya didepan hakim, maka isteri tersebut berkata: “aku fasakh-kan nikahku dari suamiku yang bernama ...... bin ...... pada hari ini.” Setelah fasakh itu dilakukan, maka perceraian itu dinamakan talak ba’in. Kalau hendak kembali kepadanya, maka harus dengan akad baru, sedangkan iddahnya sebagaimana iddah talak biasa. 

D. Akibat Fasakh Nikah

Fasakh yang semula dapat membatalkan akad, maka disini timbul beberapa ketentuan hukum misalnya: tidak ada kewajiban, mahar, haram kawin untuk selama-lamanya, bila fasakh itu terjadi dengan mahram. Disamping itu tidak mesti menunggu keputusan hakim. Namun dalam kasus-kasus lain biasanya lebih banyak harus diputuskan oleh hakim. Disini juga, perceraian tidak dihubungkan dengan masa iddah. Akan tetapi, pada fasakh karena sebab yang datang setelah akad, maka jika itu dari isteri sebelum ditentukan mahar, maka mahar itu gugur seluruhnya. Akan tetapi, jika fasakh itu dari suami maka ia wajib membayar setengah dari mahar itu. Disini perceraian itu sifatnya sementara dan dihubungkan dengan masa iddah.  Adapun masa iddahnya berlaku seperti iddah talak.  Disamping itu, baik bentuk fasakh yang pertama atau kedua, menyebabkan perceraian, umumnya terdapat pada saat itu juga. Ketentuan hukum yang lain ialah bahwa perceraian dengan jalan fasakh tidak mengurangi jumlah talak.  Dan bekas isteri tidak boleh dirujuk oleh bekas suaminya. Jika suami mau mengambil isterinya itu kembali, maka suami tersebut harus nikah lagi. 


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Fasakh berarti melepaskan kaitan akad atau menghilangkan hukum akad dari asalnya menjadi kembali seperti sediakala. Fasakh nikah yaitu pembatalan perkawinan oleh isteri karena antara suami isteri terdapat cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau si suami tidak dapat memberi belanja atau nafkah, menganiaya, murtad dan sebagainya. Sebagai contoh terjadi ketidak jujuran pada pernikahan suami isteri, misalnya disebabkan oleh suatu penyakit yang diderita oleh salah seorang dari suami isteri dan salah satunya itu tidak mau jujur akan tetapi setelah berlangsungnya pernikahan antara keduanya baru diketahui semuanya dan merasa dibohongi oleh pasangannya.

Untuk masa pelaksanaan fasakh terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Imam Syafi’i berkata: “isteri harus menunggu suaminya yang pergi selama tiga hari,” sedangkan menurut Imam Maliki mengatakan: “isteri harus menunggu suaminya yang hilang selama satu bulan,” dan Imam Hambali mengatakan: “isteri harus menunggu suaminya yang hilang selama satu tahun.”

Pisahnya suami isteri akibat fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka hal ini mengakhiri ikatan pernikahan seketika itu. Apabila pisahnya suami isteri disebabkan karena proses fasakh, hal ini tidak berpengaruh dengan hitungan talak, meskipun terjadinya fasakh khiyar baligh maka suami isteri tersebut harus menikah dengan akad yang baru lagi, artinya suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali untuk menjatuhkan talak.


DAFTAR PUSTAKA

Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana. 2008

Muzammil, Iffah. Fiqh Munakahat (Hukun Pernikahan dalam Islam). Tanggerang: Tira Smart. 2019

Jamaluddin dan Nanda Amalia. Buku Ajar Hukum Perkawinan. Lhokseumawe: UNIMAL PRESS. 2016

Tihami. Fiqih Munakahat. Jakarta: Rajawali Pers. 2009

Al-Khin, Mustofa dkk. Kitab Fiqih Mazhab Syafi’i. Kuala Lumpur: Pustaka Salam. 2009

Syafie, Imam. Ringkasan Kitab Al Umm. Jakarta: Pustaka Azzam. 2007

Sanjaya, Umar Haris dan Aunur Rahim Faqih. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: GAMA MEDIA. 2017

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2006

Muchtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang. 1993

Depag RI. Al-Quran dan Terjemahannya. Surabaya: Surya Cipta Aksara. 1993

Anas, Imam Malik. Al-Muwatto. Beirut: Dar. Al-Fikir. 1989

Ad-Din, Jalal. Assuyuthi, Al-Asybah wa an-nadair fi Al-Furu’. t.t.: Dar. Al-Fikr. t.th.

Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN Pusat. Ilmu Fiqih. t.t.: t.p. 1984/1985

Abidin, Slamet. Fikih Munakahat II. Bandung: Pustaka Setia.1989

Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. Fiqih Wanita. Jakarta: Pustaka Kauthar. 1998

Sudarsono. Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta: Rineka Cipta. t.th.

Depag RI. Ensiklopedi Islam di Indonesia. Jakarta: Arda Utama.1992/1993

Rofiqoh, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1995

Siddik, Abdullah. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Tintamas. 1968

Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqih Munakahat. Bandung: CV Pustaka Setia. 1999


Tidak ada komentar:

Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia

 MAKALAH “Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia ” Mata Kuliah: Hukum Perdata Islam di Indonesia B  Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH ...

Diberdayakan oleh Blogger.