pernikahan yang Bertentangan dengan Islam
MAKALAH
PERNIKAHAN
YANG BERTENTANGAN DENGAN ISLAM
Mata
Kuliah: Fiqih Munakahat A
Dosen Pengampu: Noor Efendy, SHI, MA
Oleh
:
Yulia
Qamariyati (2019110729)
Khalidah
Mardha (2019110763)
PRODI
HUKUM KELUARGA ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM KANDANGAN
Tahun 2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Agama Islam adalah agama fitrah.
Salah satu fitrahnya adalah disyariatkannya pernikahan yang bertujuan untuk
mewujudkan hubungan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan dibawah
naungan syariat Islam dan batas-batas hubungan antar mereka. Selaras dengan
ajaran Al Qur’an,nabi Muhammad yang menjadi suri tauladan bagi seluru humat
manusia mempunyai kehidupan pernikahan yang sukses. Beliau menyatakan bahwa pernikahan
merupakan bagian dari sunnahnya, dan barang siapa yang membencinya maka tidak
termasuk golongan/pengikutnya.
Seorang laki-laki maupun perempuan,
ketika belum menikah mereka mempunyai hak dankewajiban yang utuh. Hak dan
kewajiban yang berkaitan dengan kehidupannya, hak dan kewajibanyang berkaitan
dengan harta miliknya dan sebagainya. Kemudian setelah mereka mengikatkan
diridalam ikatan perkawinan dengan segala ritualitasnya, maka mulai saat itulah
hak dan kewajibanmereka menjadi satu saling berhubungan. Menjadi satu di sini
maksudnya bukan berarti hak dankewajiban masing-masing pihak akan meleburkan
diri, melainkan karena hidup berdampingansehingga terikat pula hak dan
kewajibannya sebagai istri maupun suami. Hak dan kewajiban merekatetap utuh
walaupun mereka telah bersatu dalam kehidupannya.
Dengan demikian, pernikahan
merupakan perbuatan mulia yang dianjurkan oleh syariat Islam guna mendapatkan ridha
dari Allah Swt dalam membina hubungan dengan lawan jenis serta terdapat akibat
hukum darinya. Atas dasar itu pula, maka Allah melarang
bentuk-bentuk pernikahan yang dalam pelaksanaan maupun tujuannya tidak
sesuai dengan syariat Islam. Bentuk-bentuk pernikahan yang bertentangan dengan
Islam seperti Nikah Mut’ah, Nikah Syighor, Nikah Muhallil dan masih banyak
lagi.
Selanjutnya, dalam makalah ini
mencoba menyajikan pembahasan terkait apa saja pernikahan-pernikahan yang
bertentangan dengan Islam beserta dalil dan beberapa pendapat para fuqaha yang
turut memberikan penjelasan terhadapnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa saja pernikahan yang bertentangan dengan Islam?
2. Apa yang dimaksud dengan pernikahan mut’ah?
3. Apa yang dimaksud dengan pernikahan syigar?
4. Apa yang dimaksud dengan pernikahan tahlil?
5. Apa yang dimaksud dengan beda agama?
C.
Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui tentang pernikahan yang bertentangan
dengan Islam.
2. Untuk mengetahui tentang pernikahan mut’ah.
3. Untuk mengetahui tentang pernikahan syigar.
4. Untuk mengetahui tentang pernikahan tahlil.
5. Untuk mengetahui tentang pernikahan beda agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pernikahan
Yang Bertentangan Dengan Islam
Pernikahan dalam Islam adalah
suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan di atas
landasan niat untuk bergaul antara suami istri dengan abadi supaya dapat
memetik buah kejiwaan yang telah digariskan Allah dalam Al-Qur’an yaitu
ketentraman, kecintaan, dan kasih sayang, sedangkan tujuannya adalah bersifat
duniawi yaitu demi berkembangnya keturunan dan kelangsungan jenis manusia.
Adapun dari
sisi istilah, yang juga terkenal dengan sebutan dari sisi syari’ah, pernikahan
didefinisikan sebagai ikatan batin antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, seperti digambarkan
UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan karena itu, definisi yang menyatakan
bahwa pernikahan sebagai transaksi atau akad kepemilikan (aqd al-tamlik) atau
sebagai ganti kepemilikan (aqd mu’awadah) perlu ditinjau ulang. [1]
Tujuan
Nikah pada umumnya bergantung pada masing-masing individu yang akan
melaksanakannya, karena lebih bersifat subyektif. Namun demikian ada tujuan
umum disyari'atkannya pernikahan yaitu seperti halnya yang diinginkan oleh
semua orang yang akan melakukan pernikahan yaitu untuk memperoleh kebahagiaan
dan kesejahteraan lahir batin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan
akhirat
Adapun juga
pernikahan yang bertengan dengan Islam adalah pernikahan yang tidak sesuai
dengan syari’at Islam. Pernikahan-pernikahan yang
dimaksudkan disini secara umum adalah peernikahan-pernikahan yang dapat
menimbulkan kerugian dan kerusakan baik bagi salah satu pihak istri atau suami maupun bagi
keturunan yang dihasilkan,
seperti nikah mut’ah, nikah syigar, nikah tahlil, nikah beda agama. Pernikahan
yang bertentangan dengan Islam ini tidak akan menghasilkan keluarga yang
Sakinah Mawadah Warohmah. Dan yang tercipta hanya kesedihan dan tidak akan tercipta
suasana damai bahkan pernikahan ini hanya sebagai kesenangan semata bukan untuk
mencari Ridha Allah SWT. [2]
B.
Pernikahan
Mut’ah
Nikah mut’ah adalah ikatan
seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam batas waktu tertentu dengan
upah tertentu pula atau yang sering kita jumpai sekarang disebut dengan nikah kontrak. Jika waktu yang
ditentukan sudah habis maka siwanita atau istri dinyatakan terlepas dari ikatan
pernikahannya. Oleh karena itu, tidak
mungkin pernikahan semacam ini dapat menghaslkan arti yang kami sebutkan di
atas. Nikah mut’ah ini pernah diperkenankan oleh Rasulullah SAW. sebelum
stabilnya syari’ah Islamiah yaitu diperkenankannya ketika dalam bepergian dan
peperangan dan diharamkannya untuk selama-lamanya. Rahasia dibolehkannya nikah mut’ah waktu itu ialah karena
masyarakat Islam waktu itu masih dalam
suatu perjalanan yang kita stilahkan dengan masa transisi, masa perlihan daru
jahiliyah kepada Islam, sedang perzinaan dimasa jahiliyah merupakan satu hal
yang biasa terjadi dimana-mana. Maka, setelah Islam datang dan menyerukan
kepada pengikutnya untuk pergi berperang dan jauhnya mereka dari istri
merepukan suatu penderitaan yang cukup berat. Sebagian mereka ada yang imannya
kuat da nada pula yang lemah. Yang imannya lemah akan mudah untuk berbuat zina
sebagai suatu perbuatan yang keji dan cara yang tidak baik.
“Kami pernah berperang bersama Rasulullah SAW. sedangkan istri kami
tidak turut serta bersama kami kemudian kami bertanya kepada Rasulullah, apakah
boleh kami berkebiri? Maka, Rasulullah SAW. melarang kami berbuat demikian dan
memberikan rukhsah supaya kami kawin dengan perempuan dengan maskawin baju
untuk satu waktu tertentu”. (H.R. Bukhari Muslim). [3]
Dengan demikian,
dibolehkannya nikah mut’ah adalah sebagai suatu jalan untuk mengatasi problema
yang dihadapi oleh kedua golongan tersebut dan merupakan jenjang menuju
diundangkannya hukum perkawinan yang sempurna, yakni dengan hukum tersebut akan
tercapilah seluruh ujuan perkawinan seperti terpeliharanya diri, ketenangan
jiwa, berlangsungnya keturuan,kecintaan, kasih sayang, dan luasnya daerah
pergaulan kekeluargaan karena perkawinan itu.
Sebagaimana Al-Qur’an telah
mengharamkan arak dan riba dengan bertahap karena kedua hal tersebut telah
terbiasa dan tersebar luas di zaman jahiliyah, maka begitu juga halnya dalam
masalah haramnya kemaluan, Rasulullah tempuh dengan jalan bertahap juga.
Misalnya, tentang mut’ah dibolehkannya ketika terpaksa, setelah itu
diharamkannya.
وٓ
أٓنّٓ اللهٓ حٓرّٓمٓ ذٓلِكٓ إِلٓى يٓوْمِ الْقِيٓامٓةِ
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat.” (H.R.
Muslim)
Menurut kebanyakan pendapat
sahabat, haramnya mut’ah itu berlaku selama-lamanya, tidak ada sedikitpun
rukhsah, sesudah hukum tersebut diundangkan. Tetapi Ibnu Abbas berpendapat lain,
ia berpendapat boleh ketika terpaksa yaitu, “Ada seorang bertanya tentang nikah
mut’ah kemudian ia membolehkannya. Lantas seorang bekas hambanya bertanya:
Apakah demikian itu dalam keadaan terpaksa dan karena sedikit jumlah wanita
atau yang seperti itu? Ibnu Abbas menjawab : Ya!”. (H.R. Bukhari)
Kemudian setelah Ibnu Abbas
menyaksikan sendiri, bahwa banyak orang yang mempermudah persoalan ini, dan
tudak membatasi dalam situasi yang terpaksa, maka ia hentikan fatwanya itu dan
ditarik kembali.[4]
Nikah Mut’ah adalah haram,
dalil yang dikemukakan oleh jumhur ulama tentang keharaman nikah mut’ah antara
lain: Firman Allah SWT: “Dan (diantara sifat orang mukmin itu) memelihara
kemaluannya kecuali terhadap isteri atau jariah mereka: maka sesungguhnya mereka
(dalam hal ini) tiada tercela” (QS. Al-mukminun: 5-6).
Ayat ini jelas mengutarakan bahwa hubungan
kelamin hanya dibolehkan kepada wanita yang berfungsi sebagai isteri atau
jariah. Sedangkan wanita yang diambil dengan jalan mut’ah tidak berfungsi
sebagai isteri atau jariah. Ia bukan jariah karena akad mut’ah bukan akad
nikah, dengan alasan sebagai berikut: tidak saling mewarisi. Sedang akad nikah
menjadi sebab memperoleh harta warisan. Iddah mut’ah tidak seperti iddah nikah
biasa.
Nikah mut`ah
bertentangan juga dengan peraturan perundang-undangan pemerintah/negara
Republik Indonesia tentang perkawinan Islam di Indonesia dan tidak sah untuk
dilakukan, karena dilihat dari tata cara dan tujuan perkawinan mut’ah, yang
diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam.[5]
C. Pernikahan Syighor
Menurut bahasa Assyighor berarti mengangkat. Seolah-olah
seorang laki-laki berkata “ janganlah engkau angkat kaki anakku perempuan
sebelum aku juga mengangkat kaki anak perempuanmu.
Definisi nikah ini juga sebagaimana
yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Nikah
syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku
dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata,
‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu’”
Berdasarkan hadits Rasulullah SAW :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ
اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: لاَ شِغَارَ فِى اْلاِسْلاَمِ. مسلم
Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi SAW bersabda,
“Tidak ada nikah syighar dalam Islam”. [HR. Muslim]
Hadis
riwayat Ibnu Umar ra.:
عَنْ نَافِعٍ عَنِ
ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص نَهَى عَنِ الشِّغَارِ. وَ الشِّغَارُ اَنْ
يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى
اَنْ يُزَوِّجَهُ ابْنَتَهُ وَ لَيْسَ
بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ. الخمسة، لكن الترمذى لم يذكر تفسير الشغار. و ابو داود جعله
كلام نافع. و هو كذلك
فى رواية احمد و البخارى و مسلم
Bahwa Rasulullah saw. melarang
nikah syighar. Dan nikah syighar ialah seorang lelaki mengawinkan putrinya
kepada orang lain dengan syarat orang itu mengawinkannya dengan putrinya tanpa
mahar antara keduanya.
Nikah
Syighor hukumnya tidak sah karena dilarang oleh nabi Muhammad SAW dalam hadis
bukhori muslim seperti perkataan seseorang " aku nikahkan dia (pr)
kepadamu asalkan kamu mengawinkan putrimu kepadaku dan vagina mereka
masing-masing sebagai mahar. Hadits shahih di atas menjadi dalil atas
haram dan tidak sahnya nikah syighar. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan, apakah nikah
tersebut disebutkan mas kawin ataukah tidak .[6]
Nikah
syighor yang didalamnya memuat syarat batil, karena menyimpang dari ajaran
Allah SWT. Selain itu, nikah syighor ini pada hakikatnya adalah menyia-nyiakan
hak wanita yaitu mahar.
D. Pernikahan
Tahlil
Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan
seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh suami sebelumnya. Lalu laki-laki
tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi
kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali) setelah masa
‘iddah wanita itu selesai. Dikatakan muhallil karena ia dianggap membuat halal
lagi bekas suami yang dulu agar bisa mengawini bekas istrinya yang sudah
ditalak bain.
Hukum Nikah semacam ini haram hukumnya
dan termasuk dalam perbuatan dosa besar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat
muhallil dan muhallala lahu.
Menurut Imam Syafi’I perkawinan ini
sama saja dengan nikah mut’ah karena seolah-olah wali si perempuan yang
dinikahkan berkata kepada calon suaminya “ ku nikahkahn engkau dengannya dengan
syarat setelah engkau melakukan hubungan seksual engkau harus menceraikannya “.
Berarti ada batasan waktu dalam perkawinan ini, untuk itu hukumnya tidak
diperbolehkan. [7]
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعْدُ حَتَّىٰ
تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُۥ ۗ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّآ أَن
يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ
"Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan tersebut tidak halal baginya sehingga dia kawin dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain ini menceraikannya, maka tidak ada dosa
bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri)nya untuk kawin kembali jika
keduanya dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui." (Q.S. al Baqarah [2]:
230).
Jika ditinjau dari UU Perkawinan,
sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa perkawinan menurut UU Perkawinan
pada dasarnya bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa. Oleh karena itu, sama
dengan kawin kontrak, nikah cina buta ini tidak sesuai dengan filosofi UU
Perkawinan. Ini karena perkawinan si suami dan isteri - yang telah bercerai –
dengan orang lain, tidak memiliki tujuan yang sejalan dengan tujuan perkawinan
dalam UU Perkawinan. Oleh karena itu praktik nikah cina buta bertentangan
dengan UU Perkawinan.[8]
E. Pernikahan
Beda Agama
Adapun mengenai
masalah Pernikahan Beda Agama ini sebenarnya terbagi dalam tiga kasus;
1. Perkawinan
laki-laki non Muslim dengan wanita Muslim. Untuk pernikahan antara laki-laki
non Muslim dengan wanita Muslim, ulama sepakat mengharamkan pernikahan yang
terjadi pada keadaan seperti itu, seorang wanita Muslim haram hukumnya dan
pernikahannya pun tidak sah bila menikah dengan laki-laki non Muslim.
2. Perkawinan
laki-laki Muslim dengan wanita non Muslimah (Musyrik). Mengenai perkawinan
laki-laki Muslim dengan wanita non Muslimah (Musyrik). Dalam hal ini al-Qur’an
surat al-Baqarah ayat 221 dijelaskan:
“Dan janganlah kamu
menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.”
Ayat
ini turun berkenaan dengan kejadian Abi Martsad Al-Ghanawi, yang juga di sebut
orang Martsad Ibnu Abi Martsad, sedang namanya sendiri Kun Nas bin Hashin Al
Ghanawi. Dia dikirim oleh Rosullullah secara rahasia di Mekkah untuk
mengeluarkan seorang sahabatnya dari sana. Sedang di Mekkah pada jaman
jahiliyah dulu dia punya teman perempuan yang dicintainya, namanya Inaq, perempuan ini lalu datang kepadanya, maka
kata Martsad kepadanya: ”Sesungguhnya Islam telah mengharamkan
perbuatan-perbuatan jahiliyah dulu.”
Lalu kata Inaq: “Kalo begitu kawini saja saya.” Jawab Martsad: “Nanti saya minta ijin dulu
kepada Rosulullah.” Lalu dia datang pada
Rosulullah minta izin. Tetapi Beliau melarang mengawininya, sebab ia sudah
Islam sedang perempuan itu masih musyrik.[9]
3. Laki-laki
Muslim menikah dengan wanita Ahl Kitab, seorang laki-laki Muslim dilarang
menikah dengan wanita non Muslim kecuali wanita Ahli Kitab seperti yang disebut
dalam surat Al Maidah ayat 5.
Ibnul
Mundzir berkata: Tidaklah benar bahwa ada yang melarang seorang sahabat yang
mengharamkan kawin dengan perempuan Ahli Khitab. Kawin dengan perempuan Ahli
Kitab sekalipun boleh tapi hukumnya makruh. Karena adanya rasa tidak aman dari
gangguan-gangguan keagamaan bagi suaminya atau bisa saja ia menjadi alat golongan
agamanya. Jika perempuannya dari golongan Ahli Khitab yang bermusuhan dengan
kita (harbi), maka dianggap lebih makruh lagi sebab berarti akan memperbanyak
jumlah orang yang menjadi musuh kita. Golongan Syafi‟i dan
sebagian golongan Hambali berpendapat bagi kita kaum Muslimin tidak halal kawin
dengan perempuan mereka dan memakan sembelihan mereka. Di samping itu
kitab-kitab dari umat sebelum kaum Yahudi dan Nasrani isinya sekedar nasehat
dan perumpamaan, dan sama sekali tidak berisi masalah hukum. Oleh karena itu
tidaklah kitab-kitab suci diatas dapat disebut sebagai kitab-kitab suci yang
berisi syari’at.
Di
sisi lain para ulama pun sepakat bahwa perempuan Muslim tidak halal kawin
dengan laki-laki non Muslim, baik dia Musyrik ataupun Ahli Kitab. Alasannya
adalah firman Allah: Artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman jika datang kepadamu perempuan-perempuan mukmin yang
berhijjrah hendaklah mereka kamu uji terlebih dahulu. Allah lebih mengetahui
iman mereka. Jika kamu telah dapat membuktikan bahwa mereka benar-benar beriman
maka janganlah mereka kembalikan kepada orang-orang kafir. Mereka ini
(perempuanperempuan mukmin) tidak halal bagi laki-laki kafir. Dan laki-laki
kafir pun tidak halal bagi mereka.(Al-Mumtahanah:10).[10]
Adapun
Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Indonesia dalam Pasal 2 ayat (1)
undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974 mengatakan perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dalam
penjelasannya selanjutnya disebutkan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan undang-undang
dasar 1945. Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan pula bahwa tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasan ayat (3)
pasal 2, pasal tersebut dikatakan bahwa ketentuan khusus yang menyangkut tata
cara pencatatan yang diatur dalam berbagai peraturan merupakan pelengkap bagi
pasal 3 sampai pasal 9 peraturan pelaksanaan. Dalam pasal 3 peraturan
pemerintah No. 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa setiap orang yang hendak
melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendak itu, baik secara lisan
maupun secara tertulis, kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsungkan, dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum
perkawinan dilangsungkan, sedangkan ketentuan di luar tersebut (10 hari kerja)
dapat meminta izin kepada camat atas nama bupati, apabila alasan ada
alasan-alasan yang dirasa penting. Pemberitahuan kehendak melansungkan
perkawinan tersebut harus memuat nama, umur, agama/kepercayaan, tempat kediaman
calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan
juga nama isteri atau suami terdahulu.[11]
Menurut
kenyataan di lingkungan masing-masing agama (yaitu agama Katolik, Protestan,
Hindu, dan Budha) telah ada orang yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur tersebut. Dengan adanya pengangkatan tersebut, pejabat agama yang
bersangkutan telah berfungsi rangkap, baik sebagai pejabat agama maupun sebagai
wakil Pejabat Negara. Oleh karena itu perkawinan yang dilaksanakan dihadapan
pejabat agama tersebut berarti telah sah baik menurut hukum agama maupun
menurut hukum Negara. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa karena pejabat agama
itu hanya merupakan sebagai wakil pejabat negara, maka mereka hanya berhak
untuk menyaksikan perkawinan dan memberikan surat keterangan bahwa perkawinan
benar-benar telah dilaksanakan. Surat keterangan itu kemudian diserahkan oleh
kantor Catatan Sipil setempat untuk diganti dengan “akta perkawinan”. Dalam praktek, bahwa perkawinan antar agama
masih banyak dilaksanakan di kantor Catatan Sipil setempat. Hal demikian, oleh
karena hanya kantor Catatan Sipil tersebut yang mau melaksanakan perkawinan
antar agama itu. Kantor Departemen Agama setempat belum mau melaksanakan
perkawinan antar agama, oleh karena belum adanya kata sepakat dari para ahli
hukum Islam tentang halal tidaknya perkawinan antar agama tersebut. Sehingga Catatan Sipil setempat mau melaksanakan
perkawinan antar agama hanyalah berdasarkan kebijakan yang mereka ambil
sendiri, dengan dasar pemikiran “Daripada mereka hidup bersama diluar
perkawinan, lebih baik Catatan Sipil meresmikannya saja”. Dan memang kenyataan
sampai sekarang belum pernah ada keputusan pengadilan yang membatalkan atau pun
menyatakan tidak sah perkawinan antar agama yang dilakukan di kantor Catatan
Sipil tersebut. Di dalam prakteknya, masyarakat juga beranggapan bahwa
perkawinan yang dilakukan di kantor Catatan Sipil sudah sah menurut hukum
negara, dan pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya masing-masing
diserahkan kepada kehendak pihak-pihak yang bersangkutan, yang menurut mereka
hanyalah menyangkut hukum agamanya saja. [12]
Bagi
wanita Islam yang mau kawin dengan pria yang bukan Islam, dalam praktek tidak
pernah mendapat surat keterangan atau pun dispensasi dari pegawai Pencatat
Nikah di kantor Departemen Agama. Sehingga jalan satu-satunya bagi wanita Islam
tersebut adalah: “ Berdasarkan pasal 60 ayat 3 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
dan pasal 18 Peraturan Menteri Agama No.3 Tahun 1975 menjadikan Surat tolakan
dari Departemen Agama sebagai dasar untuk mengajukan keberatan kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya. Apabila ternyata
penolakanya itu tidak beralasan, maka Pengadilan Agama memberikan keputusan
sebagai pengganti surat keterangan tersebut. Bagi pria Islam, dapat tidaknya ia memperoleh
surat keterangan agama itu, tergantung pada pendapat/pandangan Pegawai Pencatat
Nikah yang berwenang untuk itu, tentang diperbolehkan atau tidaknya pria Islam
menikah dengan wanita yang bukan Islam. Apabila Pegawai Pencatat Nikah
menolaknya, maka bagi pria Islam itu juga jalan satu-satunya adalah menjadikan
surat tolakan tersebut sebagai dasar untuk mengajukan keberatan kepada
Pengadilan Agama. Agama Islam juga
menganggap tidak sah perkawinan antar seorang Islam dengan seorang bukan Islam
yang hanya dilaksanakan di Catatan Sipil saja, karena dalam pernikahan tersebut
terdapat suatu ketiadaan prinsip yang justru dijadikan sebagai kunci halalnya
wanita bagi seorang laki-laki, yaitu: “Kalimatullah” yang diucapkan oleh wali
dan diterima oleh bakal suami dihadapan dua saksi yang adil.
Oleh
karena itu apabila perkawinan antar agama tersebut sah menurut hukum Islam,
maka perkawinan harus juga dilaksanakan menurut hukum Islam. Bilamana
pelaksanaan upacara juga dilaksanakan menurut agama lain, peraturan Islam
mensyaratkan supaya upacara keagamaan menurut agama Islam dilakukan yang
terakhir, dengan maksud supaya yang beragama Islam tidak murtad. [13]
Ada
juga Perkawinan Beda Agama dalam Kompilasi Hukum Islam
a. Beda
agama sebagai kekurangan syarat perkawinan
Antara
rukun dan syarat dalam perkawinan mkonsekuensi
hukum yang berbeda apabila dalam suatu perkawinan ternyata ada yang tidak
terpenuhi. Ketika rukun nikah yang tidak terpenuhi maka pernikahan harus
dinyatakan batal demi hukum, pernikahan itu sejak dilangsungkan sudah tidak
sah, dan pembatalannya tidak tergantung dari upaya hukum. Ketika syarat yang
tidak terpenuhi, maka pembatalannya tergantung dari pengajuan para pihak, dan
apabila tidak ada pengajuan, maka pernikahannya dianggap sah. Kompilasi Hukum
Islam tidak menentukan status pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang beda
agama yang terjadi saat akad nikah. Dalam alasan perkawinan yang batal dan
perkawinan yang dapat dibatalkan perbedaan agama yang terjadi saat akad nikah
tidak disebutkan. Namun perbedaan agama yang terjadi setelah akad nikah
berlangsung menjadi salah satu alasan sebuah pernikahan “dapat” dibatalkan.
b. Beda
agama sebagai alasan pencegahan perkawinan
Kompilasi
Hukum Islam menempatkan pencegahan perkawinan begitu penting dengan
menempatkannya sebagai salah satu kewajiban pejabat yang bertugas mengawasi
perkawinan. Hal ini dapat dimengerti karena jika sebuah perkawinan yang cacat
terjadi, maka dampaknya tidak sekedar memisahkan dua manusia yang telah
terlanjur membangun cintanya dalam sebuah rumah tangga, tetapi bisa
melahirkan problem sosial bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. [14]
c. Beda
agama sebagai alasan pembatalan perkawinan
KHI
menempatkan batalnya nikah karena murtadnya salah satu pihak pada kemauan pihak
yang berhak mengajukan pembatalan. Bagi pejabat yang berwenang mengawasi
pelaksanaan perkawinan, dalam hal ini PPN bagi umat Islam, pengajuan pembatalan
nikah menjadi tugasnya dalam rangka menjaga dan memelihara demi
terlaksanakannya hukum Islam secara baik dan benar. [15]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pernikahan dalam Islam adalah
suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan di atas
landasan niat untuk bergaul antara suami istri dengan abadi supaya dapat
memetik buah kejiwaan yang telah digariskan Allah dalam Al-Qur’an yaitu
ketentraman, kecintaan, dan kasih sayang, sedangkan tujuannya adalah bersifat
duniawi yaitu demi berkembangnya keturunan dan kelangsungan jenis manusia.
Adapun juga pernikahan yang bertengan dengan
Islam adalah pernikahan yang tidak sesuai dengan syari’at Islam. Pernikahan-pernikahan
yang dimaksudkan disini secara umum adalah peernikahan-pernikahan yang dapat
menimbulkan kerugian dan kerusakan baik bagi salah satu pihak istri atau suami maupun
bagi keturunan yang dihasilkan,
seperti nikah mut’ah, nikah syigar, nikah tahlil, nikah beda agama. Pernikahan
yang bertentangan dengan Islam ini tidak akan menghasilkan keluarga yang
Sakinah Mawadah Warohmah. Dan yang tercipta hanya kesedihan dan tidak akan
tercipta suasana damai bahkan pernikahan ini hanya sebagai kesenangan semata
bukan untuk mencari Ridha Allah SWT.
B. Saran
Kami masih menyadari bahwa makalah yang kami buat ini
masih terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kata kesempurnaan. Kami akan
memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik
yang membangun dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Karsayuda, M, Perkawinan Beda Agama, Yogyakarta: Total
Media Yogyakarta. Desember 2006.
Nasution,
Khoiruddin, Prof. Dr., MA, Hukum
Perkawinan I,Yogyakarta: ACAdemia + TAZZAFA. 2013.
Qardhawi, Yusuf, Halal dan Haram Dalam Islam, Surabaya:
PT Bina Ilmu Surabaya. Februari 2010.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt511b55ea6d69b/legalitas-nikah-cina-buta-nikah-muhallil/
(diakses tanggal 11 september 2020 pukul 12.30 Wita)
http://sufsifa.blogspot.com/2009/05/bentuk-bentuk-pernikahan-yang-dilarang.html (diakses
tanggal 12 september 2020 pukul 12.40 Wita)
https://sankguru.blogspot.com/2017/01/pernikahan-yang-dilarang-dalam-islam.html (diakses
tanggal 19 september 2020 pukul 19.43 Wita)
http://eprints.iain-surakarta.ac.id/421/1/perkawinan%20Beda%20Agama.pdf
(diakses tanggal 22 september 2020 pukul 21:12 Wita)
[1] Prof . Dr. Nasution Khoiruddin MA. Hukum Perkawinan I, (Yogyakarta: ACAdemia + TAZZAFA. 2013) hal 21
[3]
Yusuf Qardhawi, Halal
dan Haram Dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu Surabaya. Februari 2010) hal
259-262
[4] Yusuf
Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam,
(Surabaya: PT Bina Ilmu Surabaya. Februari 2010) hal 262
[7]https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt511b55ea6d69b/legalitas-nikah-cina-buta-nikah-muhallil/
Tidak ada komentar: