Syarat dan Rukun Pernikahan

 

Syarat  dan Rukun Nikah

Mata Kuliah: Fiqih Munakahat A

Dosen Pengajar: Noor Efendy, SHI, MH

Disusun oleh:

Kelompok 4

Mariani (20191107

Rina (20191107230

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

DARUL ULUM KANDANGAN

1442 H/2020 M

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Pernikahan adalah salah satu asas pokok yang paling utama dalam pergaulan yang  mana kesempurna pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga, keturunan, serta ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai seorang suami dan isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia saja. tetapi juga dapat dipandang sebagai jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk mencapai pertolongan antara satu dengan yang lainnya.

Namun, untuk menuju jenjang pernikahan tentunya memiliki banyak kendala atau hal-hal yang perlu diperhatikan serta harus dilaksanakan seperti memenuhi kriteria dalam menuju sebuah pernikahan. Salah satunya, Untuk melangsungkan pernikahan yang sah, perlu diketahui rukun dan syarat-syaratnya. Oleh sebab itu makalah kami secara ringkas akan membahas tentang rukun dan syarat dalam suatu pernikahan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian dari pernikahan ?

2.      Apa saja Rukun dan Syarat pernikahan menurut hukum islam dan Undang-Undang?

3.       Apa saja Syarat dan rukun nikah perkawinan menurut pendapat para mazhab?

 

 

C.     Tujuan Pembahasan

1.      Untuk mengetahui apa pengertian dari pernikahan!

2.       Untuk mengetahui apa saja Rukun dan Syarat pernikahan menurut hukum islam dan Undang-Undang!

3.      Untuk mengetahui bagaimana Syarat dan rukun nikah perkawinan menurut pendapat para mazhab!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian  Munakahat Pernikahan

Pernikahan adalah salah satu Sunnatullah yang umum berlaku pada makhluk tuhan. Kata nikah berasal dari kata bahasa arab yang berarti bertemu, berkumpul. Menurut istilah nikah ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui akad yang dilakukan menurut syariah islam. Menurut UU No.1 tahun 1974, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang peria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga( keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan yang maha Esa. keinginan untuk menikah adalah fitrah manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk Allah swt.

Rasulullah SWT bersabda:

فَإِنَّهُ بِالصَّوْمِ فَعَلَيْهِ يَسْتَطِعْ لَمْ  وَمَنْ مَرْجِ لِلْ وَأَحْصَنُ لِلْبَصَرِ أَغَضّ فَإِنَّهُ فَلْيَتَزَوْجْ الْبَاءَةً مِنْكُمُ سْتَطَاعَ  مَنِ الشَّبَابِ مَعْشَرَ يَاوِجَاءُلَهُ (رواه مسلم و ال بخارى)

 

Artinya:” Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka nikahlah. Karena nikah itu dapat menundukkan mata dan memelihara  faraj ( kelamin) dan barang siapa tidak sanggup maka hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwat”. (HR.Bukhori Muslim)

Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi yang mana rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Keduanya merupakan sesuatu yang harus ada dalam pernikahan dan tidak boleh tertinggal. Karena pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.[1]

 

B.     Rukun dan Syarat pernikahan menurut hukum islam dan Undang-Undang

a)      Rukun dan Syarat Pernikahan Menurut Hukum Islam

·         Rukun Perkawinan

Rukun-rukun nikah yakni sebagai berikut:

1.      Calon pengantin laki-laki (calon suami)

2.      Calon pengantin perempuan (calon isteri)

3.      Wali dari pihak perempuan (calon isteri)

4.      Dua orang saksi

5.      Shigat,yaitu adanya akad.

·         Syarat Perkawinan

1.      Syarat menikah untuk calon mempelai pria yaitu:

-          Beragama islam

-          Jenis laki-laki

-          Jelas orangnya

-          Dapat memberikan persetujuan (menjawab ijab dan qabul)

-          Tidak ada halangan untuk kawin

-          Tidak dipaksa

-          Tidak beristri empat orang

-          Bukan mahram bakal istri

-          Tidak mempunyai istri dalam yang haram dimadu dengan bakal istri

-          Mengetahui bakal istri tidak haram dinikahinya

-          Tidak sedang dalam ihram dan umrah

2.      Syarat menikah untuk calon mempelai wanita yaitu:

-          Beragama islam

-          Jelas perempuan

-          Jelas orangnya

-          Dapat dimintai persetujunnya

-          Tidak ada halangan untuk kawin[2]

-          Telah memberi izin kepada wali untuk menikah

-          Tidak bersuami dan tidak dalam iddah

-          Tidak sedang dalam ihram dan umrah

3.      Diantara Syarat  untuk seorang wali dari pihak calon isteri adalah :

-          Beragama islam

-          Baligh

-          Berakal

-          Tidak dipaksa

-          Seorang laki-laki

-          Adil ( bukan fasik)

-          Mempunyai hak menjadi wali

-          Tidak ada halangan untuk menjadi wali

-          Tidak sedang dalam ihram dan umrah

Rasullah saw. Bersabda:

لاَتَزَوَّجِ الْمَرْأَةُالْمَرْأَةَوَلاَتَزَوَّجِ الْمَرْأَةُنَفْسَهَا (رواه بوماجه والدارقطنى )

 Artinya :

“janganlah menikahkan perempuan terhadap perempuan yang lain dan janganlah menikahkan perempuan yerhadap dirinya sendiri”. (H.R. Ibnu Majah dan daruqutni)

Wali merupakan salah satu rukun dalam pernikahan, maka apabila tidak ada wali dari calon pengantin perempuan, maka pernikahan itu tidak sah. Hal ini didasarkan dengan adanya sebuah hadis yang meriwayatkan, bahwa rasullah saw. Pernah bersabda:

لاَنِكَاحَ إِلاَّبِوَلِّيٍّ  (رواه احمدو  أبوداودوالترمذى وابن حبان وااحاكم)

Artinya :

“pernikahan tidak sah kecuali dengan wali”. (H.R. Ahmad, Abu Daud,Tirmidzi, Ibnun Hibban dan al-Hakim).[3]

 

Adapun orang yang berhak menjadi wali di sini adalah: ayah dari pengantin perempuan, kemudian apabila tidak ada atau berhalangan maka dapat diganti dengan kakeknya, kemudian saudara laki-laki seayah seibu atau seayah, kemudian anak saudara laki-laki, dan apabila semuanya tidak ada, maka dapat diganti dengan kerabat-kerabat terdekat (ashabah). Yang lain.sedang untuk wanita yang menikahkan tanpa seizin walinya itu batal. (imam malik dan imam syafi”i) mereka berpendapat demikian karena adanya suatu dalil, Rasullah saw. Pernah bersabda:

ايَّمَااَمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِإِذْنِ وَلِيَّهَافَنِكَحُهَا بَاطِلُ (رواه احمدوابودوابن ماجه والترمذى)

Artinya:

“wanita manapun yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal”.(H.R. Abu daud, ibnu majah dan tirmidzi)

4.      Syarat untuk dua orang saksi

-          Beragama islam

-          Laki-laki

-          Baligh

-          Berakal

-          Adil

-          Mendengan( tidak tuli)

-          Bisa bercakap- cakap( tidak bisu)

-          Tidak pelupa

-          Menjaga harga diri( muru’ah)[4]

-          Mengerti maksud ijab dan qabul

-          Tidak merangkap menjadi wali

-          Tidak sedang dalam ihram dan umrah.

Ibnu Taimiyyah berkata dalam al-ikhtiyarat: dan yang tidak diragukan lagi ialah, bahwa nikah yang diumumkan (dihadiri orang banyak) adalah sah, meskipun secara formal tidak ada dua orang saksi.[5]

Dari abu burdah bin abu musa dari ayahnya ra. Ia berkata bahwa Rasulullah saw. Pernah bersabda:

لاَنَكَاحَإِلاَّبِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْءَدْلِ(رواه احمد)

 

Artinya:

“tidak usah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil” (H.R.Ahmad.)[6]

Adanya saksi dalam akad pernikahan di jelaskan dalam QS. At-Thalaq ayat 2 yaitu:

Artinya:

“apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanla dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orsng ysng beriman kepada Allah dan hari akhir. Barangsiapa bertaqwa kepada Allah. Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (Q.S. Thalaq:2)[7]

5.      Yang menjadi syarat-syarat dalam shigat adalah

-          Adanya ijab dari pihak wali perempuan

-          Adanya qabul dari pihak calon laki-laki.

-          Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

-          Antara ucapan ijab dan qabul bersambung, tidak diselengi dengan kata-kata lain.

-          Pada waktu mengucapkan shigat nikah, harus memakai kata-kata: nikah atau tazwij atau terjemahnya.

Rasullah saw. Pernah bersabda:

إِتَّقُوْااللّٰه فِى النِّسآءِفَإِنَّكُمْ أَخَدْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانَةِااللّٰهِ وَاشْتَحْلَلْتُمْ فُرُجَهُنَّ بِكَلُمَةِ االلّٰهِ (رواه مسلم)

Artinya:

“ Takwalah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kamu sekalian mengambil mereka dengan amanat ( kepercayaan) Allah dan kamu menghalalkan mereka dengan kalimat Allah”. ( H.R. Muslim)[8]

b)      Rukun dan Syarat Pernikahan menurut Undang-Undang

·         Menurut Perspektif  dalam hukum positif syara sah nya perkawinan.

Undang-undang no.1 tahun 1974 telah merumuskan kriteria keabsahan suatu perkawinan yang dituangkan dalam pasal 2 yakni:

-          Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

-          Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut aturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagaimana ketentuan diatas menetapkan dua garis hukum yang harus dipatuhi dalam melakukan suatu perkawinan. Pada ayat 1 dapat dilihat secara tegas, diatur dengan tegas tentang keabsahan suatu perkawinan, yakni bahwa satu-satunya syarat sah nya suatu perkawinan adalah bila perkawinan itu dilakukan menurut ketentuan agama dari mereka yang akan melangsungkan perkawinan.

Ketentuan agama untuk sah nya perkawinan bagi umat islam adalah yang berkaitan dengan syariat, yakni suatu yang harus ada sebelum suatu perbuatan hukum dilakukan. Selain itu , harus juga memenuhi rukun yakni suatu yang harus ada atau dilaksanakan saat suatu perbuatan hukum dilakukan. Penjelasan ayat 1 tersebut menyatakan bahwa tidak aka nada perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan kepercayaan bagi orang yang akan melakukannya. Adapun yang dimaksud hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi mereka yang memeluk agama atau keyakinan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. [9]

·         Rukun perkawinan menurut Komplikasi Hukum Islam .

Hukum perkawinan yang diatur dalam pasal 14 komplikasi hukum islam (khi) menurut pasal 14 KHI untuk melaksanakan perkawinan harus ada:

-          Calon suami

-          Calon isteri

-          Wali nikah

-          Dua orang saksi

-          Ijab dan qabul.[10]

 

C.     Syarat dan rukun nikah perkawinan menurut pendapat para mazhab

·         Mazhab Maliki

Dalam mazhab maliki, Ulama Malikiyah yang datang lebih mempertegas. Misalnya al-Girnati Al-maliki menulis, ada lima rukun perkawinan yakni suami, istri, wali, mahar, sighat, ijab dan Kabul. Pada bagian selanjutnya menulis menguraikan syarat-syarat yang harus dipenuhi rukun-rukun tersebut demikian juga dijelaskan urutan-urutan para wali

·         Mazhab Syafi’I

Dalam mazhab syafi’I menjelaskan al-nawawi (w.676 H.) ada empat rukun perkawinan yakni : akad (shigat ijab dan Kabul), calon mempelai (laki-laki dan perempuan), saksi dan dua orang yang melakukan akad (wali atau wakil dan calon suami). Sejalan dengan penjelasan al- Nawawi, Zainuddin bin Abd al- Aziz al Malibarijuga menulis secara tegas rukun perkawinan. Hanya saja menurutnya rukun perkawinan ada lima yakni: istri, suami, wali, dua orang saksi, dan akad (shigat). Kemudian dijelaskan masing-masing rukun mempunyai syarat-syarat sendiri.

Al-Shirazi masih dari mazhab syafi’I tidak menulis rukun perkawinan secara tegas. Beliau hanya menulis sejumlah hal yang harus dipenuhi untuk sahnya perkawinan yakni: harus ada wali, harus ada saksi, calonnya tertentu, da nada akad. Dari uraian mazhab syafi’I ini, meskipun ada yang menguraikan rukun perkawinan dengan perbedaannya, dan ada yang tidak menguraikan namun pada prinsipnya ada empat unsur yang ada pada perkawinan yakni: calon pasangan, wali, akad dan saksi.

·         Mazhab Hambali

Dalam mazhab hambali oleh Ibnu Qudamah ( w. 620 H) sama sekali tidak menyebut,secara tegas dan urai syarat atau rukun perkawinan. Pembahasan yang ada hanya statemen-statemen yang mengarah kepada rukun dan syarat perkawinan. Misalnya disebutkan perkawinan berstatus sah kalau ada wali dan saksi. Dasar hukum adanya keharusan saksi dalam perkawinan menurut Ibnu Qudamah adalah sabda Nabi yang mengatakan

“Seorang wanita yang menikahkan dirinya tanpa izin wali termasuk perkawinan yang batil, batil, batil”. Hadis lain “tidak ada perkawinan kecuali harus dengan wali”. Di bagian lain ditulis salah satu syarat perkawinan adalah calonnya harus tertentu (ta’yinu al-zawjain). Keharusan kejelasan calon ini menurutnya untuk dilakukan ijab dan Kabul. Sebab untuk melakukan ijab dan Kabul dalam perkawinan para calon harus jelas. Di bagian lain di tuliskan syarat-syarat akad dari uraian Ibnu Qudamah tersebut meskipun tidak menjelaskan mana syarat dan rukun perkawinan tetapi dapat disebut ada beberapa hal yang harus terpenuhi dalam perkawinan, yakni: wali, saksi, akad, dan calon pasangan.[11]

Ibnu Qayyim al-jawziyah (w. 751/1350), masih dari mazhab Hambali ketika berbicara tentang perkawinan hal pertama yang ditulis adalah tentang kekuasaan wali (bapak) terhadap anak perempuannya baik yang berstatus gadis atau janda. Kemudian berbicara tentang perkawinan tanpa wali. Dibagian lain dibicarakan tentang mahar, misalnya kadar jumlah mahar dalam perkawinan. Ibnu Qayyim al-jawziyah sama sekali tidak menyinggung tentang calon pasangan, saksi dan akad.

 

Menurut analisa al-Zuhaili, dari sekian rukun nikah yang ada hanya ada dua rukun perkawinan yang disepakati ulama fiqih yakni: ijab dan Kabul. Sebab menurut ulama Hanafiyah, kata al-Zuhaili mengatakan hanya kedua hal inii yang masuk klasifikasi rukun. Adapun sisanya adalah syarat perkawinan. Sedangkan menurut jumhur ulama fiqih rukun perkawinan ada 4 yakni: shigat (ijab dan Kabul), calon istri, calon suami, dan wali.

·         Mazhab Hanafiyah

Perbedaan pendapat tentang ijab dan kabul antara jumhur ulama fikih di satu pihak, dengan ulama Hanafiyah di pihak lain. Menurut jumhur, ijab adalah shigat yang bersumber dari wali atau yang mewakili untuk menikahkan mempelai wanita (calon isteri). Sedang kabul adalah jawaban dari calon suami yang menunjukkan kerelaan menikahi. Sementara menurut ulama Hanafiyah, ijab adalah shigat pertama dari dua orang yang akan melakukan shigat akad perkawinan. Sedang kabul adalah jawaban terhadap shigat pertama tadi. Maka kalau misalnya seorang laki-laki mengatakan kepada seorang wanita” saya nikahi kamu”, dan wanita itu menjawab “saya terima” maka shigat yang dikeluarkan laki-laki tersebut adalah ijab dn jawaban yang keluar dari wnita tersebut adalah Kabul.

Masih merujuk kepada al-Zuhaili, syarat perkawinan, dengan segala perbedaan pendapat, ada 10 yakni: halal menikahi antara para calon, adanya shigat ijab dan kabul, saksi, adanya kerelaan dan kemauan sendiri, jelas pasangan yang akan melakukan perkawinan, tidak sedang melakukan haji dan umrah baik salah satu pihak atau keduanya, adanya sejumlah pemberian dari calon suami kepada calon isteri (mahar), tidak disembunyikan perkawinannya, tidak ada penyakit yang membahayakan antara [12]

 

 

Syarat sah perkawinan menurut fuqaha yaitu: 1. Dipenuhi semua rukun nikah, 2. Dipenuhi semua syarat nikah, 3. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang ditentukan syara. Sedang rukun pernikahan yaitu : 1. Mempelai laki-laki (calon suami), 2. Mempelai wanita (calon isteri), 3. Wali nikah, 4. Dua orang saksi, 5. Ijab dan kabul.

Kehadiran syarat dan rukun perkawinan pada hakikatnya bertujuan agar terjamin keutuhan ikatan lahir dan batin tersebut dan pada akhirnya agar tercapai kehidupan yang tentram, damai, dan penuh cinta dan kasih sayang sebagai tujuan perkawinan.[13]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Pernikahan adalah salah satu Sunnatullah yang umum berlaku pada makhluk tuhan. Kata nikah berasal dari kata bahasa arab yang berarti bertemu, berkumpul. Menurut istilah nikah ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui akad yang dilakukan menurut syariah islam. Dan harus memenuhi Rukun-rukun  nikah yakni sebagai berikut: Calon pengantin laki-laki (calon suami), Calon pengantin perempuan (calon isteri), Wali dari pihak perempuan (calon isteri), Dua orang saksi, Shigat,yaitu adanya akad. Dan syarat-syaratnya sebagai berikut: calon suami : islam, laki-laki, jelas orangnya, dapat memberikan persetujuan (menjawab ijab yakni qabul), tidak ada halangan untuk kawin. Calon isteri : islam, perempuan, jelas orangnya, dapat dimintai persetujuan, dan tidak ada halangan untuk kawin. Wali: laki-laki, islam, balig, berakal, mempunyai hak menjadi wali, tidak ada halangan untuk menjadi wali. Dua orang saksi: dua orang laki-laki, islam, baligh, berakal, hadir waktu upacara akad nikah, mengerti maksud akad nikah, adil. Shigat: adanya ijab dari pihak wali perempuan, adanya Kabul dari pihak calon pengantin laki-laki, antara ijab dan qabul jelas maksudnya, antara ijab bersambung.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Nasution Khoiruddin, Hukum Perkawinan 1, Yogyakarta: ACAdeMIA+ TAZZAFA, 2013

Mz labib, Muflihah, FIQIH WANITA MUSLIM, Surabaya: CV CAHAYA AGENCT, pth

 Hamidy Mu’amal ,dkk, TERJEMAH NAILUL AUTHAR,(Surabaya:pt.bina ilmu,2001),

https://www.academia.edu/7939780/MAKALAH_MATERI_FIQIH_RUKUN_DAN_SYARAT_NIKAH

https://handarsubhandi.blogspot.com/2015/05/rukun-dan-syarat-sah-perkawinan.html?m=1

http://eprinnt.uny.ac.id/22838/5/4.%20BAB%20II.pdf



[1] https://www.academia.edu/7939780/MAKALAH_MATERI_FIQIH_RUKUN_DAN_SYARAT_NIKAH diakses pada sabtu 19 september 2020, pukul 12:30

[2] Ust. Labib Mz. dan Dra. Muflihah, fiqih WANITA MUSLIMAH,(Surabaya: CV CAHAYA AGENCY, pth), hal 211.

[3] Ibid. hal. 211

[4] Ibid. hal.213

[5] Mu’amal hamidy,Dkk, TERJEMAH NAILUL AUTHAR,(Surabaya:pt.bina ilmu,2001), hal 171.

[6] Ust. Labib Mz. dan Dra. Muflihah, fiqih WANITA MUSLIMAH,(Surabaya: CV CAHAYA AGENCY, pth), hal. 213.

[7] https://tafsirq.com/65-at-talaq/ayat-2, di akses pada 21 Seftember 2020, pukul. 11.36

[8] Ust. Labib Mz. dan Dra. Muflihah, fiqih WANITA MUSLIMAH,(Surabaya: CV CAHAYA AGENCY, pth), hal. 214.

[10] http://eprinnt.uny.ac.id/22838/5/4.%20BAB%20II.pdf diakses pada 17 september 2020, pukul 13.25

[11] Prof. Dr. Khoiruddin Nasition, M.A, HUKUM PERKAWINAN 1, (Yogyakarta: ACAdeMIA +TAZZAFA, 2013 ), hal.35.

[12] Ibid. hal.38

[13] Ibid. hal 38

Tidak ada komentar:

Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia

 MAKALAH “Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia ” Mata Kuliah: Hukum Perdata Islam di Indonesia B  Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH ...

Diberdayakan oleh Blogger.