Makalah Istihsan dan Maslahat Mursalat

MAKALAH
ISTIHSAN DAN MASHLAHAT MURSALAT SERTA PENERAPANNYA
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: H. Sahibul Ardi bin Amir Hasan, SHI, MA
Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH
Disusun Oleh:
ACHMAD SALABI (2019110757)
MUHAMMAD IHSAN (2019110745)
HAFADAH (2019110705)
PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM
 FAKULTAS SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
 DARUL ULUM KANDANGAN
1441H/2020M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT. karena atas limpahan dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah sederhana ini meskipun sangat jauh dari kata sempurna. Shalawat serta salam tak lupa pula kami haturkan keharibaan junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta para pengikut-pengikut beliau sampai akhir zaman.
Tujuan dalam pembuatan makalah ini antara lain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ushul Fiqh. Selain itu juga untuk menambahkan wawasan pembaca sekalian tentang Istihsan dan Mashlahat Mursalat Serta Penerapannya.
Makalah ini memang jauh dari kata kesempurnaan, baik dalam isi, susunan, maupun penyajiannya. Untuk itu segala kritik dan saran dari Ibu/Bapa Dosen dan teman-teman semuanya agar bisa mengambil pelajaran dari makalah ini. Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan khususnya bagi para mahasiswa sekalian.

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salaah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu penjaganya.
Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merata menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, eksternal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) dikalangan para Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (Sebagian ahli Ushul menyebutkan: al-Ushul al-Mukhtalaf Fiha), atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum. Salah satu dalil itu adalah apa yang dikenal dengan Istihsan dan Mashlahat Mursalat.

Rumusan Masalah
Apa pengertian istihsan ?
Apa saja macam-macam istihsan ?
Bagaimana kehujjahan istihsan dan pandangan para ulama ?
Bagaimana keraguan orang yang tidak berhujjah dengan istihsan ?
Apa pengertian mashlahat mursalat ?
Apa saja jenis-jenis mashlahat mursalat ?
Bagaimana syarat-syarat mashlahat mursalat ?
Bagaimana penerapan mashlahat mursalat ?
Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui pengertian istihsan.
Untuk mengetahui macam-macam istihsan.
Untuk mengetahui kehujjahan istihsan dan pandangan  para ulama.
Untuk mengetahui keraguan orang yang tidak berhujjah dengan istihsan.
Untuk mengetahui pengertian mashlahat mursalat.
Untuk mengetahui jenis-jenis mashlahat mursalat.
Untuk mengetahui syarat-syarat mashlahat mursalat.
Untuk mengetahui penerapan mashlahat mursalat.


















BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap baik terhadap sesuatu. Sedangkan menurut istilah Ulama Ushul Fiqih, istihsan adalah berpalingnya (pindahnya) seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan qias yang khafi (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsnai (pengecualian), karena terdapat dalil yang mementingkan perpindahan.
Adapun menurut istilah Ulama Ushul, Istihsan adalah sebagai berikut:
Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa juz I : 137, “Istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.”
Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, “Istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu dari Al-Qur’an dan As-Sunah.”
Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam Madzhab Al-Maliki berkata, “Istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat juz’i dalam menanggapi dalil yang bersifat global.”
Menurut Al-Hasan Al-Kurkhin Al-Hanafi, “Istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahn hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanyaa suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.”
Menurut Muhammad Abu Zahrah, “Definisi yang lebih baik adalah menurut Al-Hasan Al-Kurkhi diatas.”
Sebagian ulama yang lainnya mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan adil dalam hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia, dan lain-lain.
Macam-Macam Istihsan
Dari definisi istihsan menurut syara’, maka istihsan dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
Mengutamakan qiyas khafi (yang tersembunyi) atau qiyas jali (nyata) karena adanya suatu dalil.
Contohnya adalah:
-Ulama Hanafiyyah menjelaskan bahwa orang yang mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk didalam mewakafkan hak pengairan (irigrasi), hak air minum, dan hak lewat, tanpa harus menyebutkannya sebagai waqaf. Hal tersebut dikarenakan mengikutkan sesuatu yang berhubungan dengan waqaf dianggap lebih baik.
-Ulama Hanafiyyah menjelaskan apabila penjual dan pembeli bersenketa mengenai harga sebelum serah terima barang, kemudian penjual mengaku harganya aadalaah 100 rupiah, dan pembeli mengaku hargaanya 90 rupiah, maka mereka berdua harus bersumpaah untuk menentukan sikap yang baaik (istihsan).
-Ulama Hanafiyyah menjelaskan, sisa minuman burung buas, seperti burung nasar, gagak, elang, rajawali, adalah suci berdasarkan istihsan, dan najis berdasarkan qiyas. Segi pengqiyasannya ialah karena itu merupakan sisa minuman binatang buas yang dagingnya haram dimakan, seperti: harimau, macan tutul, singa, dan serigala. Dalam hal ini hukum sisa makanan binatang mengikuti hukum daging binatang buas tersebut.
Mengecualikan kasuistis (juz’iyyah) dari hukum kulli (umum) karena adanya suatu dalil.
Contohnya adalah:
Syari’ (Pembuat hukum: Allah) melarang jual beli atau perjanjian (akad) suatu benda yang tidak ada ditempat. Namun syari’ memperbolehkan dengan cara ishihsan pada akad salam (pemasanan), sewa-menyewa, mujara’ah (akad bagi hasil penggerapan tanah), musaqat (akad bagi hasil penyiraman tanaman), dan istishna (akad jasa pengerjaran sesuatu). Semua itu adalah akad, akaan tetapi barang yang dijadikan transaksi tidak ada ditempat saat akad berlangsung. Segi istihsannya adalah kebutuhan manusia yang saling kenal diantara mereka.
Kehujjahan Istihsan dan Pandangan Para Ulama
Ulama Hanafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Haanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab ushul yang menyebutkan bahwa hanafiyah mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam beberapa kitab fiqhnya banyak sekali terdapat permasalahan yang menyangkut istihsan.
Ulama Malikiyah
Asy-Syyatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah. Begitu pula menurut Abu Zahrah, bahwa Imam Malik sering berfatwa dengan menggunakan istihsan
Ulama Hanabilah
Dalam beberapa kitab ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya istihsan, sebagaiimana dikatakan oleh Imam Al Amudi dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, Al-Jalal Al-Mahalli dalam kitab Syarh Al-Jam’ Al-Jawami’ mengatakan bahwa istihsan itu diakui oleh Abu Hanifah, namun ulama yang lain mengingkarinya termasuk di dalamnya golongan Hanabilah.
Ulama Syafi’iyah
Golongan Al Syafi’I secara mashyur tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbat hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Bahkan, Imam Syafi’i berkata “Barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syari’at.” Beliau juhga berkata “Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT., setidaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan qiyas, namun tidak dibolehkan menggunakan istihsan.”
Keraguan Orang yang tidak Berhujjah dengan Istihsan
Sekelompok mujtahid mengingkari terhadap istihsan bagai hujjah dan mereka menganggapnya sebagai istimbath terhadap hukum syara’ berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya sendiri. Tokoh utama kelompok ini adalah Imam Asy-Syafi’i. menurut sebuh riwayat, ia berkata:
شرع فقد ستحسن ا من

“Barang siapa yang beristihsan, maka ia telah membuat syariat.”
Maksudnya orang tersebut membuat hukum syara’ sendiri.
Dalam kitab Risalah Ushuliyyah, Asy-Syafi’i menjelaskan:

ان غير من الكعبة انها استحسن جهة ال لصلاة ا في اتجه من مثل حكما استحسن من
.الكعبة ال الاتجاه لتعيينا الشارع مها اق لتي ا الادلة من ليل د له يقوم

“Sesungguhnya perumpamaan orang beristihsan terhadap hukum adalah seperti orang yang menghadap suatu arah di dalam shalatnya dimana ia beranggapan baik bahwa arah tersebut adalah Ka’bah, namun tidak ada dalil baginya dari berbagai dalil yang telah dikemukakan oleh Syari’ untuk menentukan arah Ka’bah.”
Dan didalam kitab tersebut ia juga berkata:

من لعقول لاهل ذلك جاز الدين في بالاستحسان الاخذ جاز ولو.تلذذ الاستحسان ان
لنفسه احد كل يخرج وان باب كل في الدين  في  يشرع ان ولجاز  ,العلم اهل خير
.شرعا

 “Bahwa istihsan istihsan adalah mencari keenakan. Kalau sekiranya berdasarkan istihsan dalam agama itu boleh, niscaya hal itu boleh juga bagi  kaum rasional yang tidak ahli ilmu agama, dan niscaya boleh pula mensyariatkan agaama pada setiap bab, serta boleh pula setiap orang mengeluarkan hukum syara’ untuk dirinya sendiri.”
Pengertian Mashlahat Mursalat
Mashlahat Mursalat menurut istilah terdiri dari dua kata, yaitu mashlahat dan mursalat. Kata Mashlahat menurut bahasa berarti “manfaat”, dan kata Mursalat berarti “lepas”. Gabungan dari dua kata tersebut yaitu mashlahat mursalat menurut istilah, seperti dikemukakan Abdul-Wahhab Khallaf, berarti “sesuatu yang dianggap mashlahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung ataupun yang menolaknya”, sehingga ia disebut mashlahat mursalat (masalah yang lepas dari dalil secara khusus).
Jenis-jenis  Mashlahat Mursalat
Menurut teori ushul fiqh, jika ditinjau dari segi ada atau tidaknya dalil yang mendukung terhadap suatu kemaslahatan, mashlahat terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
Al-Mashlahat al-Mu’tabarah, yakni al-mashlahat yang diakui secara eksplisit oleh syara’ dan ditunjukkan oleh dalil (Nash) yang spesifik. Disepakati oleh para ulama, bahwa mashlahat jenis ini merupakan hujjah syar’iyyah yang valid dan otentik.
Mashlahat Al-Mulghah, merupakan al-mashlahat yang tidak  diakui oleh syara’, bahkan ditolak dan dianggap batil oleh syara’. Sebagaimana ilustrasi yang menyatakan opini hukum yang mengatakan porsi hak kewarisan laki-laki harus sama besar dan setara dengan porsi hak kewarisan perempuan, dengan mengacu kepada dasar pikiran semangat kesetaraan gender.
Mashlahat al-mursalat, yaitu al- mashlahat yang tidak diakui secara eksplisit oleh syara dan tidak pula ditolak dan dianggap batil oleh syara’, akan tetapi masih sejalan secara substantif dengan kaidah-kaidah hukum yang universal.
Syarat-syarat Mashlahat Mursalat
Abdul-Wahhab Khallaf menjelaskan beberapa persyaratan dalaam memfungsikan mashlahat mursalat, yaitu:
Sesuatu yang dianggap mashlahat itu haruslah berupa mashlahat hakiki yaitu yang benar-benar akan mendatangkan kemanfaatan atau menolak kemudharataan, bukan berupa dugaan belaka dengan hanya mempertimbangkan adanya kemanfaatan tanpa melihat kepada akibat negatif yang ditimbulkannya.
Sesuatu yang dianggap mashlahat itu hendaklah berupa kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi.
Sesuatu yang dianggap mashlahat itu tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada ketegasan dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah, yang bertentangan dengan ijma’.
Penerapan Maslahat Mursalat
Beberapa penerapan mashlahat mursalat yang berhubungann dengaan isu-isu kontemporer diuraikan sebagai berikut. Penerapan “khamar” d dalam Alquran dinyatakan bahwa didalamnya terdapat beberapa manfaat, namun dosanya lebih besar. Meskipun dinyatakan memiliki manfaat manfaat untuk manusia, namun mengkonsumsi minuman keras diharamkan dalam agama. Larangan mengonsumsi khamar yang dinyatakan dalam Alquran memiliki manfaat menunjukkan bahwa tidak setiap yang membawa manfaat dianggap sebagai maslahat dalam pandangan agama dan tidak setiap yang memmbawa mafsadat dalam kehidupan manusia dianggap sebagai mafsadat dalam pandangan agama. Penjelasan Allah Swt dalam ketentuan khamar tersebut dijadikan sebagai acuan dalam memahami kaidah yang masyhur, setiap ada kemaslahatan, maka disitu ada syariah Allah Swt.
Penerapan nasab anak pada kasus nikah hamil, ditetapkan dalam kompilasi hukum islam pasal 53 dan dikaitkan pasal 98, dinyatakan bahwa anak yang lahir dari proses pernikahan yang sah maka anak tersebut adalah anak sah dinisbahkan nasabnya pada ibu dan ayahnya. Hal ini sejalan dengan pendapat imam Abu Hanifah, pendapat ulama hadis dan ulama kufah dalam memahami hadis al-walad li al-firasy (kajian lebih lanjut pada hadis al-walad li al-firasy) dalam menetapkan nasab. Diakatakan bahwa selama anak tersebut lahir setelah dilangsungkan aqad maka anak tersebut adalah anak sah dan nasabnya dihubungkan dengan suami. Penerapan nasab anak dalam islam sangat mempertimbangkan kemaslahatan anak yang lahir dari rahim istri yang diingkari oleh suaminya. Dengan demikian diharapkan adanya pengakuan terhadap anak tersebut untuk memberi penjelasan status keberadaan seorang anak. Hal ini untuk menkonstatir bahwa setiap manusia yang lahir didunia ini adalah ciptaan Tuhan yang mempunyai hak asasi untuk hidup, untuk dihormati, untuk memiliki dan untuk mendapatkan penghargaan yang sama dengan manusia lainnya. Penetapan nasab anak sah ini bukan berarti menggugurkan hukum zina, perbuatan hubungan diluar nikah adalah perbuatan zina yang diharamkan dalam islam, maka perbuatan tersebut akan mendapat ganjarannya baik di dunia maupun diakhirat.



















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari penjelasan diatas kami dapat menyimpulkan bahwa Istihsan merupakan berpalingnya (pindahnya) seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan qias yang khafi (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsnai (pengecualian), karena terdapat dalil yang mementingkan perpindahan. Istihsan juga terbagi menjadi dua macam yaitu: Mengutamakan qiyas khafi (yang tersembunyi) atau qiyas jali (nyata) karena adanya suatu dalil dan Mengecualikan kasuistis (juz’iyyah) dari hukum kulli (umum) karena adanya suatu dalil. Adapun Kehujjahan Istihsan dan Pandangan Para Ulama menurut Ulama Hanafiyyah, Ulama Malikiyah, Ulama Hanabilah, dan Ulama Syafi’iyah.
Mashlahat Mursalat merupakan sesuatu yang dianggap mashlahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung ataupun yang menolaknya”, sehingga ia disebut mashlahat mursalat (masalah yang lepas dari dalil secara khusus). Mashlahat mursalat juga terbagi menjadi tiga jenis yaitu: Al-Mashlahat al-Mu’tabarah, Mashlahat Al-Mulghah, dan Mashlahat al-mursalat. Adapun syarat-syarat dan penerapan mashlahat mursalat


Saran
Didalam makalah ini tentu kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, baik dari penulisan makalah ini dan sebagainya, untuk itu kami selaku pemakalah memohon kritikan dan saran dari teman-teman semua.



DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, AbdulnWahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama Semarang. 2014.
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka  Setia. 2007.
Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2005.
http://digilib.uinsby.ac.id/15182/31/Bab%202.pdf diakses 4 Maret 2020 pukul 20.15
https://ejournal,iainbengkulu.ac.id/index.php/madania/article/download/29/29 diakses 6 Maret 2020 pukul 12.00

Tidak ada komentar:

Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia

 MAKALAH “Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia ” Mata Kuliah: Hukum Perdata Islam di Indonesia B  Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH ...

Diberdayakan oleh Blogger.