Makalah Ijma dan Qiyas
Ijma’ dan Qiyas serta Penerapannya
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Sahibul Ardi bin Amir Hasan, SHI, MA
Dosen Pengajar: Noor Efendy, SHI, MH
Disusun oleh:
Kelompok 3
Muhammad Halidi Nafarin
Norlatifah
Rina
PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM KANDANGAN
1441 H/2020 M
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ijma’ dan Qiyas adalah salah satu hukum yang mana kedudukannya berada dibawah dalil-dalil nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, menjadi sumber hukum ketiga dan keempat dalam Islam setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah maka Ijma’dan Qiyas dapat dijadikan sebagai pedoman dalam mengambil hukum-hukum syara’.
Ijma’ merupakan kumpulan salah satu di antara prinsip dari ushul fiqh atau dari syariat Islam. Jadi tidak salah jika para fuqaha menyatakan bahwa ijma’ merupakan sumber hukum Islam, karena ijma’ yang dimaksud adalah produk kesepakatan ulama yang sudah menjadi dalil dalam pelaksanaan hukum Islam. Di sisi lain, benar apabila ada ahli ushul yang berpendapat bahwa ijma’ bukan sumber hukum Islam, tetapi merupakan salah satu pendekatan dalam menetapkan hukum.
Qiyas adalah kesamaan atau kemiripan antara dua hal yang diciptakan Allah. Bila dua hal itu sama dalam sifatnya, tentu sama pula dalam hukum yang menjadikan akibat dari sifat tersebut. Meskipun Allah SWT hanya menetapkan hukum terhadap satu dari dua hal yang bersama itu, tentu hukum yang sama berlaku pula pada hal yang satu lagi, meskipun Allah dalam hal itu tidak menyebutkan hukumnya. Selain itu Qiyas muncul karena terdapat masalah baru yang belum memiliki ketetapan hukum, sedangkan Ijma’ muncul karena kesepakatan para ulama setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari Ijma’?
2. Apa saja rukun-rukun Ijma’?
3. Apa saja macam-macam Ijma’?
4. Bagaimana kehujjahan Ijma’?
5. Bagaimana kemungkinan terjadinya Ijma’?
6. Apa pengertian dari Qiyas?
7. Apa saja rukun-rukun Qiyas?
8. Apa saja macam-macam Qiyas?
9. Bagaimana kehujjahan Qiyas?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari Ijma’.
2. Untuk mengetahu rukun-rukun Ijma’.
3. Untuk mengetahui macam-macam Ijma’.
4. Untuk mengetahui kehujjahan Ijma’.
5. Untuk mengetahui kemungkinan terjadinya Ijma’.
6. Untuk mengetahui pengertian dari Qiyas.
7. Untuk mengetahui rukun-rukun Qiyas.
8. Untuk mengetahui macam-macam Qiyas.
9. Untuk mengetahui kehujjahan Qiyas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa berarti kesepakatan atau konsensus, dan juga yang berarti tekad atau niat.
Ijma’ menurut istilah para ahli ushul fiqih adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa di kalangan umat islam atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian setelah wafatnya Rasulullah SAW.
Apabila terjadi suatu peristiwa yang pada saat kejadiannya dihadapkan kepada para mujtahid dari umat islam, sedangkan mereka sepakat untuk menghukuminya, maka kesepakatan mereka disebut Ijma’. Kesepakatan atas satu hukum mengenainya dianggap sebagai dalil , bahwa hukum tersebut merupakan hukum syara’ mengenai kejadian itu.
Dalam definisi tersebut hanya disebutkan sesudah Rasulullah SAW. wafat, karena pada waktu Rasulullah SAW. masih hidup, beliaulah yang menjadi rujukan satu-satunya pembentukan hukum islam, sehingga tidak dimungkinkan adanya perbedaan dan kesepakatan terhadap hukum syar’i. Hal tersebut dikarenakan suatu Ijma’, hanya akan terwujud dari beberapa orang.
B. Rukun-rukun Ijma’
1. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada di antara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’.
2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
3. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.
4. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam al-Qur’an.
5. Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW.
C. Macam-macam Ijma’
Dilihat dari bentuknya, ijma’ dapat dibedakan dalam dua bagian:
1. Ijma’ qath’i, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah tanpa ada bantahan di antara mereka. Ijma’ qath’i ini dapat dijadikan dalil (alasan) dalam menetapkan hukum suatu masalah.
2. Ijma’ sukuti, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah, kesepakatan yang mendapat tantangan (hambatan) di antara mereka atau salah seorang di antara mereka tenang (diam) saja dalam mengambil suatu keputusan.
Tentang ijma’ sukuti, ulama berbeda pendapat bolehkah ijma’ sukuti menjadi hujjah atau tidak:
a. Imam Syafi’i dan sebagian ulama-ulama Hanafi, seperti Ibnu Iyan dan Imam Al-Baqillani dari golongan Asy’ariyah mengatakan, bahwa ijma’ sukuti tidak dapat menjadi hujjah sebab kemungkinan ada ulama yang tidak setuju atau ada pula yang setuju.
b. Ulama lain seperti Al-Juba’i, ijma’ sukuti tetap menganggapnya hujjah, sebagaimana halnya ijma’ qauli/amali.
c. Imam Al-Amidi mengambil jalan tengah ia mengatakan ijma’ sukuti hukumnya zhanni dan kehujjahannya dzahiri bukan qath’i.
Ijma’ tidak dipandang sah, kecuali bila mempunyai sandaran, sebab ijma’ bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Selain itu, fatwa dalam masalah agama tanpa sandaran adalah tidak sah.
Sandaran ijma’ tersebut adakalanya dalil dari Al-Qur’an dan adakalanya dari hadits mutawatir bahkan adakalanya berupa dalil zhanni yaitu hadits ahad dan qiyas.
D. Kehujjahan Ijma’
Kehujjahan ijma’ didasarkan kepada dalil-dalil sebagai berikut.
Dalil Pertama: Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 115
ﻭٙمٙنْ يُشٙاقِقِ الرَّسُوْلٙ مِنْ بَعْدِ مٙا تَبَيّٙنَ لٙهُ الْهُدٰى وٙ يٙتّٙبِعْ غٙيْرٙسٙبِيْلِ الْمُٶْمِنِيْنٙ نُوٙلِّهٖ مٙاتٙوٙلّٰ وٙنُصْلِهٖ جٙهٙنَّمٙ وَسَاءَتْ مٙصِيْرًا. (النساء: ١١٥)
Artinya:
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (Q.S. An-Nisa’: 115)
Ayat diatas menjelaskan orang-orang yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya. Kebenaran yang dibawa Rasul telah disepakati oleh umat Islam, artinya sudah ijma’. Ayat itu pun menjelaskan orang yang menentang “jalannya orang mukmin”, sama dengan menentang Rasul, artinya sama dengan menentang ijma’.
Pendapat tersebut ditolak oleh para pengingkar ijma’ menurut mereka yang dimaksud dengan ayat di atas adalah penentang Rasul yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mukmin.haranya mengikuti jalan-jalan
orang-orang nonmukmin terkait dengan keadaan mereka yang telah memperoleh petunjuk. Dengan demikian, bagi mereka tidak diperlukan ijma’. Jalannya orang-orang mukmin yang wajib diikuti adalah jalan yang menjadi jembatan sehingga mereka menjadi orang-orang mukmin, sebab ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan orang-orang yang murtad.
Ulama yang menyatakan bahwa ijma’ itu benar-benar dapat menjadi hujjah syar’iyyah beralasan bahwa ayat di atas menyatakan keharaman menentang Rasul dan mengikuti jalan orang kafir. Dengan demikian, mengikuti jalan Rasul dan jalannya orang-orang mukmin hukumnya wajib. Menentang Rasul berkaitan langsung dengan keimanan dan akidah umat islam, sedangkan menentang jalannya orang-orang mukmin atau mengikuti jalannya orang-orang murtad berkaitan dengan hukum. Salah satu jalan yang digunakan orang mukmin dalam mengamalkan hukum Islam adalah didasarkan kepada ijma’. Jika demikian, umat Islam harus tunduk kepada ijma’.
Dalil Kedua: Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 143
وَڪَذٰلِكَ جَعَلْنٰکُمْ اُمّةً وَّسَطًالِتَکُوْنُوْاشُھَدَآءَعَلَى النَّاسِ وَيَکُوْنَ الرَّسُولُ عَلَيْکُمْ شَھِيْدً اۗوَمَاجَعَلْنَاالْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْھَا الاَّ لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الَّسُوْلَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ علىٰ عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ ڪَانَتْ لَکَبِيْرَةًاِلَّاعَلَى الَّذِيْنَ ھَدَى اللّٰهُ ۗ وَمَاکَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمٰنَکُمْ اِۗنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
(لبقرة :١٤٣)
Artinya:
“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang), melainkan agar kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”. (Q.S. Al-Baqarah: 143)
Ijma’ yang dilakukan oleh umat Muhammad SAW. harus dijadikan sumber hukum dan hujjah syar’iyyah, karena umat Muhammad adalah umat yang paling benar, umatan wasathan, yakni umat yang yang memiliki sikap keseimbangan dalam segala hal. Tujuannya agar umat Muhammad menjadi saksi terhadap seluruh manusia. Salah satu syarat untuk menjadi saksi adalah bersifat adil. Ayat di atas menjadi dalil tentang kebenaran yang ditetapkan oleh umat Muhammad yang bersifat adil. Oleh karena itu, ijma’ umat Muhammad merupakan kebenaran, bukan ijma’ yang bersepakat untuk kebohongan.
Dalil Ketiga: Surat Ali ‘Imran ayat 103
وَاعْتَصِمُوابِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًاوَلاَتَفَرَّقُوْا ۗ وَاذْكُرُوْانِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْكُنْتُمْ اَعْدَاءًفَاَلَّفَ بَينَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖ اِخْوٰناًوَكُنْتُمْ عَلىٰ شَفَاحُفْرَةٍمِنَ الَنَّارِفَاَنْقَذَكُمْ مِنْھَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَھْتَدُوْنَ. (العمران : ١٠٣)
Artinya:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali Imran: 103)
Perintah Allah kepada umat Islam adalah berpegang teguh kepada tali Allah dan jangan berpecah belah atau bercerai berai, ayat yang secara tidak langsung memandang ijma’ sebagai bagian dari upaya berpegang
kepada tali Allah, yakni berpegang kepada kebenaran yang datang dari Al-Hakim, yang membuat hukum Islam dan semua hukum yang berlaku dalam alam. Adapun bercerai berai adalah tidak sepakat untuk berpegang kepada ijma’.
Akan tetapi, pendapat bahwa ayat tersebut sebagai ayat ijma’ ditentang oleh ulama lain yang mengatakan bahwa ayat 103 surat Ali Imran, tidak relevan dengan masalah ijma’. Ayat itu berkaitan langsung dengan masalah perpecahan dalam agama, sehingga umat Islam diperintah agar tidak berpecah belah dengan cara berpegang kepada Al-Qur’an dan As- Sunnah, bukan kepada ijma’.
E. Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Mayoritas ulama klasik mengatakan tidaklah sulit untuk melakukan ijma’, bahkan secara aktual ijma’ itu telah ada. Mereka mencontohkan hukum-hukum yang telah disepakati seperti kesepakatan tentang pembagian waris bagi nenek sebesar seperenam dari harta warisan dan larangan menjual makanan yang belum ada di tangan penjual.
Akan tetapi, ulama klasik lainnya, seperti Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa siapa yang mengatakan adanya ijma’ terhadap hukum suatu masalah, maka ia telah berdusta, karena mungkin saja ada mujtahid yang tidak setuju. Oleh sebab itu, menurutnya sangat sulit untuk mengetahui adanya ijma’ terhadap hukum suatu masalah.
Imam Asy-Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal, Ibn Taimiyah, dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menerima ijma’ kecuali ijma’ yang dilakukan para sahabat.
Adapun ijma’ dalam pandangan ulama ushul fiqh kontemporer, seperti Muhammad Abu Zahrah, Al-Khudari Bek, Abdul Wahhab Khalaf, Fathi Ad-Duraini (guru besar fiqih dan ushul fiqh di Universitas Damaskus,
Syiria), dan Wahbah Al-Zuhaili, mengatakan bahwa ijma’ yang mungkin terjadi hanyalah di zaman sahabat, karena para sahabat masih berada pada satu daerah. Adapun pada masa sesudahnya, untuk melakukan ijma’ tidak mungkin, karena luasnya wilayah Islam dan tidak mungkin mengumpulkan seluruh ulama pada satu tempat. Zakiyuddin Sya’ban mengatakan bahwa apabila didapati dalam kitab-kitab fiqih ungkapan ijma’, maka yang mereka maksudkan kemungkinan ijma’ sukuti atau ijma’ kebanyakan ulama, bukan ijma’ sebagaimana yang didefinisikan para ahli ushul fiqih.
F. Pengertian Qiyas
Qiyas berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan”, artinya mengukur dan ukuran, kata qiyas yang diartikan ukuran sukatan, timbangan dan lain-lain yang searti dengan itu, atau pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya.
Qiyas diartikan pula dengan at-taqdir wa at-taswiyah, artinya menduga dan mempersamakan.
Qiyas menurut istilah ahli ilmu ushul fiqh adalah menyamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, karena terdapat persamaan dua kasus tersebut dalam ‘illat hukumnya.
Apabila nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kasus dan ‘illat hukum telah diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui ‘illat hukum, kemudian ada kasus lain yang ‘illatnya sama dengan kasus yang terdapat nash, maka hukum kasus tersebut disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya berdasarkan persamaan ‘illatnya, karena suatu hukum dapat diketahui manakala ditemukan ‘illat hukumnya.
G. Rukun-rukun Qiyas
1. Al-Ashlu, yaitu sesuatu yang ada nash hukumnya, disebut juga al-maqis ‘alaih (yang diqiyaskan kepadanya), mahmul ‘alaih (yang dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang diserupakan dengannya).
2. Al-Far’u, yaitu sesuatu yang tidak ada nash hukumnya, dalam arti, hukumnya disamakan dengan asli disebut juga al-maqis (yang diqiyaskan), al-mahmul (yang dipertanggungkan), dan al-musyabbah (yang diserupakan).
3. Hukum Ashl, yaitu hukum syara’ yang ada nashnya pada al-ashl (pokok)nya, dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-far’u (cabangnya).
4. Al-‘illat, yaitu suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan keberadaan sifat itu pada cabang (far’), maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukum.
Minum khamar adalah ashl (pokok), karena sudah ada nash hukumnya, yaitu firman Allah swt.:
فَاجْتَنِبُوهُ...
“… maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu….” (QS. Al-Maidah/5:90)
Firman Allah inilah yang menunjukkan atas pengharaman minum khamar, karena ada ‘illat, yaitu memabukkan. Selanjutnya arak kurma (nabidz) adalah cabang, Karen tidak ada nash hukumnya. Ia sama dengan khamar karena masing-masing dari keduanya memabukkan, maka disamakan dengan khamar mengenai keharamannya.
H. Macam-macam Qiyas
1. Qiyas Aula, yaitu suatu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq) dan mempunyai hukum yang lebih utama daripada tempat menyamakannya (mulhaq bih). Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan mengatakan “ah” kepadanya, yang tesebut dalam firman Allah:
فَلاَتَقُلْ لَهُمَا ٲُفٍّ.... (الاسراء:٢٣) ….
Artinya:
“Janganlah kamu mengatakan “ah” kepada kedua orang tua….” (QS. Al-Isra’)
Mengatakan “ah” kepada ibu bapak dilarang karena illatnya ialah menyakitkan hati. Oleh karena itu, memukul kedua ibu bapak tentu lebih dilarang, sebab di samping menyakitkan hati juga menyakitkan jasmaninya. Illat larangan yang terdapat pada mulhaq (yang disamakan) lebih berat daripada yang terdapat pada mulhaq bih. Dengan demikian, larangan memukul kedua orang tua lebih keras daripada larangan mengatakan “ah” kepadanya.
2. Qiyas MuSAW.i, yaitu suatu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum dan illat hukum yang terdapat pada mulhaq-nya sama dengan illat hukum yang terdapat pada mulhaq bih. Misalnya, merusak harta benda anak yatim mempunyai illat hukum yang sama dengan memakan harta anak yatim, yakni sama-sama merusakkan harta. Sedang makan harta anak yatim diharamkan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah:
اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْڪُلُوْنَ أَمْوَالَ الْيَتَامٰى ظُلْمًااِنَّمَايَأْكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِهِمْ نَارًاوَسَيَسْلَوْنَ سَعِيْرًا. (النساء:١٠)
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, sabenarnya mereka itu menelan api di dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-nisa’:10)
Maka merusak harta anak yatim adalah haram. Keharamannya karena diqiyaskan pada memakan harta anak yatim.
3. Qiyas dalalah, yakni suatu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil pada harta seorang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat, dengan illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah.
4. Qiyas Syibhi, yakni suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapat diqiyaskan pada dua mulhaq bih, tetapi diqiyaskan dengan dua mulhaq bih yang mengandung banyak persamaannya dengan mulhaq. Misalnya, seorang hamba sahaya yang dirusakkan oleh seseorang.
I. Kehujjahan Qiyas
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan berhujjah dengan qiyas dalam hukum-hukum syari’at atau agama. Dalam hal ini ada beberapa pendapat diantaranya:
1. Jumhur ulama ushul, mereka tetap menganggap qiyas sebagai dalil istinbat hukum-hukum syara atau agama. Alasan mereka adalah:
a. Firman Allah SWT:
فَاعْتَبِرُوْايَاأُولىِ لْأَبْصَارِ( الحشر:٢ )
Artinya:
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Al-Hasyr: 2)
I’tibar dalam ayat ini berasal dari kata ubur yang artinya, melewati atau melampaui. Sebab memang qiyas ialah melewati/melampaui dari hukum ashl (pokok) kepada hukum soal cabang (furu’). Jadi, qiyas termasuk ke dalam ayat tersebut.
b. Firman Allah yang berbunyi:
فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْءٍفَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ. (النساء : ٥٩)
Artinya:
“Apabila kalian bertentangan dalam suatu urusan maka kembalikanlah (urusan itu) kepada Allah dan Rasulnya.” (QS. An-Nisa’: 59)
Adanya pertentangan dalam suatu perkara dan dianjurkannya mengembalikan perkara itu di kala tidak ada nash nya kepada Allah (Quran) dan kepada Rasulnya (sunah) di mana di dalamnya mencakup segala perkara, termasuk juga menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nashnya kepada suatu perkara yang telah ada nashnya.
2. Sebagian ulama syi’ah dan segolongan dari ulama Mu’tazilah seperti An-Nazzam juga ulama-ulama dzaririyah tidak mengakui qiyas sebagai hujjah.
Alasan mereka ialah, semua peristiwa (perkara) sudah ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan sunah baik yang ditunjukkan nash dengan kata-katanya atau tidak seperti isyarat nash (hukum yang tersirat) atau yang menunjukkan nash. Karena itu, kita tidak memerlukan qiyas sebagai hujjah.
3. Al-Quffalusysyasyi, dari golongan syafi’iyah, dan Abul Hasan Al-Bashri dari golongan Mu’tazillah. Keduanya berpendapat, bahwa penetapan hukum melalui qiyas wajib kita lakukan baik secara agama maupun secara syariat.
Alasan mazhab ketiga ini, seperti juga alasan pada mazhab yang pertama di atas jadi, yakni berdasarkan dalil-dalil dan dialog Mu’az dengan Rasul sewaktu akan dikirim oleh Rasul untuk menjadi qadh’i di Yaman.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijma’ secara etimologi ada dua macam pengertian yaitu kesepakatan atau konsensus dan juga tekat atau niat. Sedangkan menurut istilah para ahli ushul fiqih adalah kesepakatan para mujtahid pada satu masa di kalangan umat islam atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian setelah wafatnya Rasulullah Saw. yang mana apabila terjadi suatu peristiwa yang pada saat kejadiannya dihadapkan kepada para mujtahid dari umat islam, sedang mereka sepakat untuk menghukuminya, maka kesepakatan mereka disebut ijma’. Kesepakatan atas satu hukum mengenainya dianggap sebagai dalil, bahwa hukum tersebut merupakan hukum syara’ mengenai kejadian itu. Jadi dapat disimpulkan bahwa ijma merupakan:
1. Kesepakatan seluruh mujtahid dari ijma’ umatMuhammad SAW.
2. Ijma ‘dilakukan dalam suatu masa setelah Rasulullah SAW. wafat.
3. Ijma’ berkaitan dengan hukum syara’.
Qiyas secara bahasa berarti ukuran atau mengukur, mengetahui ukuran sesuatu, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Sedangkan qiyas menurut istilah ahli ilmu ushul fiqih adalah menyamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya, karena terdapat persamaan kedua kasus tersebut dalam ‘illat hukumnya. Yang mana apabila nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kasus dan ‘illat hukumnya telah diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui ‘illat hukum, kemudian ada kasus lain yang ‘illatnya sama dengan kasus yang terdapat nash, maka hukum kasus tersebut disamakan dengan hukum kasus yang sudah ada nashnya berdasarkan persamaan ‘illatnya, karena satu hukum dapat diketahui mana kala ditemukan ‘illat hukumnya
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama Semarang (Toha Putra Group). 2014
Uman, Chaerul. USHUL FIQIH 1. Bandung: CV PUSTAKA SETIA. 2008
Saebani, Beni Ahmad dan Januri. FIQH USHUL FIQH. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2014
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Sahibul Ardi bin Amir Hasan, SHI, MA
Dosen Pengajar: Noor Efendy, SHI, MH
Disusun oleh:
Kelompok 3
Muhammad Halidi Nafarin
Norlatifah
Rina
PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM KANDANGAN
1441 H/2020 M
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ijma’ dan Qiyas adalah salah satu hukum yang mana kedudukannya berada dibawah dalil-dalil nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, menjadi sumber hukum ketiga dan keempat dalam Islam setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah maka Ijma’dan Qiyas dapat dijadikan sebagai pedoman dalam mengambil hukum-hukum syara’.
Ijma’ merupakan kumpulan salah satu di antara prinsip dari ushul fiqh atau dari syariat Islam. Jadi tidak salah jika para fuqaha menyatakan bahwa ijma’ merupakan sumber hukum Islam, karena ijma’ yang dimaksud adalah produk kesepakatan ulama yang sudah menjadi dalil dalam pelaksanaan hukum Islam. Di sisi lain, benar apabila ada ahli ushul yang berpendapat bahwa ijma’ bukan sumber hukum Islam, tetapi merupakan salah satu pendekatan dalam menetapkan hukum.
Qiyas adalah kesamaan atau kemiripan antara dua hal yang diciptakan Allah. Bila dua hal itu sama dalam sifatnya, tentu sama pula dalam hukum yang menjadikan akibat dari sifat tersebut. Meskipun Allah SWT hanya menetapkan hukum terhadap satu dari dua hal yang bersama itu, tentu hukum yang sama berlaku pula pada hal yang satu lagi, meskipun Allah dalam hal itu tidak menyebutkan hukumnya. Selain itu Qiyas muncul karena terdapat masalah baru yang belum memiliki ketetapan hukum, sedangkan Ijma’ muncul karena kesepakatan para ulama setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari Ijma’?
2. Apa saja rukun-rukun Ijma’?
3. Apa saja macam-macam Ijma’?
4. Bagaimana kehujjahan Ijma’?
5. Bagaimana kemungkinan terjadinya Ijma’?
6. Apa pengertian dari Qiyas?
7. Apa saja rukun-rukun Qiyas?
8. Apa saja macam-macam Qiyas?
9. Bagaimana kehujjahan Qiyas?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari Ijma’.
2. Untuk mengetahu rukun-rukun Ijma’.
3. Untuk mengetahui macam-macam Ijma’.
4. Untuk mengetahui kehujjahan Ijma’.
5. Untuk mengetahui kemungkinan terjadinya Ijma’.
6. Untuk mengetahui pengertian dari Qiyas.
7. Untuk mengetahui rukun-rukun Qiyas.
8. Untuk mengetahui macam-macam Qiyas.
9. Untuk mengetahui kehujjahan Qiyas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa berarti kesepakatan atau konsensus, dan juga yang berarti tekad atau niat.
Ijma’ menurut istilah para ahli ushul fiqih adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa di kalangan umat islam atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian setelah wafatnya Rasulullah SAW.
Apabila terjadi suatu peristiwa yang pada saat kejadiannya dihadapkan kepada para mujtahid dari umat islam, sedangkan mereka sepakat untuk menghukuminya, maka kesepakatan mereka disebut Ijma’. Kesepakatan atas satu hukum mengenainya dianggap sebagai dalil , bahwa hukum tersebut merupakan hukum syara’ mengenai kejadian itu.
Dalam definisi tersebut hanya disebutkan sesudah Rasulullah SAW. wafat, karena pada waktu Rasulullah SAW. masih hidup, beliaulah yang menjadi rujukan satu-satunya pembentukan hukum islam, sehingga tidak dimungkinkan adanya perbedaan dan kesepakatan terhadap hukum syar’i. Hal tersebut dikarenakan suatu Ijma’, hanya akan terwujud dari beberapa orang.
B. Rukun-rukun Ijma’
1. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada di antara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’.
2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
3. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.
4. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam al-Qur’an.
5. Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW.
C. Macam-macam Ijma’
Dilihat dari bentuknya, ijma’ dapat dibedakan dalam dua bagian:
1. Ijma’ qath’i, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah tanpa ada bantahan di antara mereka. Ijma’ qath’i ini dapat dijadikan dalil (alasan) dalam menetapkan hukum suatu masalah.
2. Ijma’ sukuti, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah, kesepakatan yang mendapat tantangan (hambatan) di antara mereka atau salah seorang di antara mereka tenang (diam) saja dalam mengambil suatu keputusan.
Tentang ijma’ sukuti, ulama berbeda pendapat bolehkah ijma’ sukuti menjadi hujjah atau tidak:
a. Imam Syafi’i dan sebagian ulama-ulama Hanafi, seperti Ibnu Iyan dan Imam Al-Baqillani dari golongan Asy’ariyah mengatakan, bahwa ijma’ sukuti tidak dapat menjadi hujjah sebab kemungkinan ada ulama yang tidak setuju atau ada pula yang setuju.
b. Ulama lain seperti Al-Juba’i, ijma’ sukuti tetap menganggapnya hujjah, sebagaimana halnya ijma’ qauli/amali.
c. Imam Al-Amidi mengambil jalan tengah ia mengatakan ijma’ sukuti hukumnya zhanni dan kehujjahannya dzahiri bukan qath’i.
Ijma’ tidak dipandang sah, kecuali bila mempunyai sandaran, sebab ijma’ bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Selain itu, fatwa dalam masalah agama tanpa sandaran adalah tidak sah.
Sandaran ijma’ tersebut adakalanya dalil dari Al-Qur’an dan adakalanya dari hadits mutawatir bahkan adakalanya berupa dalil zhanni yaitu hadits ahad dan qiyas.
D. Kehujjahan Ijma’
Kehujjahan ijma’ didasarkan kepada dalil-dalil sebagai berikut.
Dalil Pertama: Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 115
ﻭٙمٙنْ يُشٙاقِقِ الرَّسُوْلٙ مِنْ بَعْدِ مٙا تَبَيّٙنَ لٙهُ الْهُدٰى وٙ يٙتّٙبِعْ غٙيْرٙسٙبِيْلِ الْمُٶْمِنِيْنٙ نُوٙلِّهٖ مٙاتٙوٙلّٰ وٙنُصْلِهٖ جٙهٙنَّمٙ وَسَاءَتْ مٙصِيْرًا. (النساء: ١١٥)
Artinya:
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (Q.S. An-Nisa’: 115)
Ayat diatas menjelaskan orang-orang yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya. Kebenaran yang dibawa Rasul telah disepakati oleh umat Islam, artinya sudah ijma’. Ayat itu pun menjelaskan orang yang menentang “jalannya orang mukmin”, sama dengan menentang Rasul, artinya sama dengan menentang ijma’.
Pendapat tersebut ditolak oleh para pengingkar ijma’ menurut mereka yang dimaksud dengan ayat di atas adalah penentang Rasul yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mukmin.haranya mengikuti jalan-jalan
orang-orang nonmukmin terkait dengan keadaan mereka yang telah memperoleh petunjuk. Dengan demikian, bagi mereka tidak diperlukan ijma’. Jalannya orang-orang mukmin yang wajib diikuti adalah jalan yang menjadi jembatan sehingga mereka menjadi orang-orang mukmin, sebab ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan orang-orang yang murtad.
Ulama yang menyatakan bahwa ijma’ itu benar-benar dapat menjadi hujjah syar’iyyah beralasan bahwa ayat di atas menyatakan keharaman menentang Rasul dan mengikuti jalan orang kafir. Dengan demikian, mengikuti jalan Rasul dan jalannya orang-orang mukmin hukumnya wajib. Menentang Rasul berkaitan langsung dengan keimanan dan akidah umat islam, sedangkan menentang jalannya orang-orang mukmin atau mengikuti jalannya orang-orang murtad berkaitan dengan hukum. Salah satu jalan yang digunakan orang mukmin dalam mengamalkan hukum Islam adalah didasarkan kepada ijma’. Jika demikian, umat Islam harus tunduk kepada ijma’.
Dalil Kedua: Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 143
وَڪَذٰلِكَ جَعَلْنٰکُمْ اُمّةً وَّسَطًالِتَکُوْنُوْاشُھَدَآءَعَلَى النَّاسِ وَيَکُوْنَ الرَّسُولُ عَلَيْکُمْ شَھِيْدً اۗوَمَاجَعَلْنَاالْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْھَا الاَّ لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الَّسُوْلَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ علىٰ عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ ڪَانَتْ لَکَبِيْرَةًاِلَّاعَلَى الَّذِيْنَ ھَدَى اللّٰهُ ۗ وَمَاکَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمٰنَکُمْ اِۗنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
(لبقرة :١٤٣)
Artinya:
“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang), melainkan agar kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”. (Q.S. Al-Baqarah: 143)
Ijma’ yang dilakukan oleh umat Muhammad SAW. harus dijadikan sumber hukum dan hujjah syar’iyyah, karena umat Muhammad adalah umat yang paling benar, umatan wasathan, yakni umat yang yang memiliki sikap keseimbangan dalam segala hal. Tujuannya agar umat Muhammad menjadi saksi terhadap seluruh manusia. Salah satu syarat untuk menjadi saksi adalah bersifat adil. Ayat di atas menjadi dalil tentang kebenaran yang ditetapkan oleh umat Muhammad yang bersifat adil. Oleh karena itu, ijma’ umat Muhammad merupakan kebenaran, bukan ijma’ yang bersepakat untuk kebohongan.
Dalil Ketiga: Surat Ali ‘Imran ayat 103
وَاعْتَصِمُوابِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًاوَلاَتَفَرَّقُوْا ۗ وَاذْكُرُوْانِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْكُنْتُمْ اَعْدَاءًفَاَلَّفَ بَينَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖ اِخْوٰناًوَكُنْتُمْ عَلىٰ شَفَاحُفْرَةٍمِنَ الَنَّارِفَاَنْقَذَكُمْ مِنْھَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَھْتَدُوْنَ. (العمران : ١٠٣)
Artinya:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali Imran: 103)
Perintah Allah kepada umat Islam adalah berpegang teguh kepada tali Allah dan jangan berpecah belah atau bercerai berai, ayat yang secara tidak langsung memandang ijma’ sebagai bagian dari upaya berpegang
kepada tali Allah, yakni berpegang kepada kebenaran yang datang dari Al-Hakim, yang membuat hukum Islam dan semua hukum yang berlaku dalam alam. Adapun bercerai berai adalah tidak sepakat untuk berpegang kepada ijma’.
Akan tetapi, pendapat bahwa ayat tersebut sebagai ayat ijma’ ditentang oleh ulama lain yang mengatakan bahwa ayat 103 surat Ali Imran, tidak relevan dengan masalah ijma’. Ayat itu berkaitan langsung dengan masalah perpecahan dalam agama, sehingga umat Islam diperintah agar tidak berpecah belah dengan cara berpegang kepada Al-Qur’an dan As- Sunnah, bukan kepada ijma’.
E. Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Mayoritas ulama klasik mengatakan tidaklah sulit untuk melakukan ijma’, bahkan secara aktual ijma’ itu telah ada. Mereka mencontohkan hukum-hukum yang telah disepakati seperti kesepakatan tentang pembagian waris bagi nenek sebesar seperenam dari harta warisan dan larangan menjual makanan yang belum ada di tangan penjual.
Akan tetapi, ulama klasik lainnya, seperti Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa siapa yang mengatakan adanya ijma’ terhadap hukum suatu masalah, maka ia telah berdusta, karena mungkin saja ada mujtahid yang tidak setuju. Oleh sebab itu, menurutnya sangat sulit untuk mengetahui adanya ijma’ terhadap hukum suatu masalah.
Imam Asy-Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal, Ibn Taimiyah, dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menerima ijma’ kecuali ijma’ yang dilakukan para sahabat.
Adapun ijma’ dalam pandangan ulama ushul fiqh kontemporer, seperti Muhammad Abu Zahrah, Al-Khudari Bek, Abdul Wahhab Khalaf, Fathi Ad-Duraini (guru besar fiqih dan ushul fiqh di Universitas Damaskus,
Syiria), dan Wahbah Al-Zuhaili, mengatakan bahwa ijma’ yang mungkin terjadi hanyalah di zaman sahabat, karena para sahabat masih berada pada satu daerah. Adapun pada masa sesudahnya, untuk melakukan ijma’ tidak mungkin, karena luasnya wilayah Islam dan tidak mungkin mengumpulkan seluruh ulama pada satu tempat. Zakiyuddin Sya’ban mengatakan bahwa apabila didapati dalam kitab-kitab fiqih ungkapan ijma’, maka yang mereka maksudkan kemungkinan ijma’ sukuti atau ijma’ kebanyakan ulama, bukan ijma’ sebagaimana yang didefinisikan para ahli ushul fiqih.
F. Pengertian Qiyas
Qiyas berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan”, artinya mengukur dan ukuran, kata qiyas yang diartikan ukuran sukatan, timbangan dan lain-lain yang searti dengan itu, atau pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya.
Qiyas diartikan pula dengan at-taqdir wa at-taswiyah, artinya menduga dan mempersamakan.
Qiyas menurut istilah ahli ilmu ushul fiqh adalah menyamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, karena terdapat persamaan dua kasus tersebut dalam ‘illat hukumnya.
Apabila nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kasus dan ‘illat hukum telah diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui ‘illat hukum, kemudian ada kasus lain yang ‘illatnya sama dengan kasus yang terdapat nash, maka hukum kasus tersebut disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya berdasarkan persamaan ‘illatnya, karena suatu hukum dapat diketahui manakala ditemukan ‘illat hukumnya.
G. Rukun-rukun Qiyas
1. Al-Ashlu, yaitu sesuatu yang ada nash hukumnya, disebut juga al-maqis ‘alaih (yang diqiyaskan kepadanya), mahmul ‘alaih (yang dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang diserupakan dengannya).
2. Al-Far’u, yaitu sesuatu yang tidak ada nash hukumnya, dalam arti, hukumnya disamakan dengan asli disebut juga al-maqis (yang diqiyaskan), al-mahmul (yang dipertanggungkan), dan al-musyabbah (yang diserupakan).
3. Hukum Ashl, yaitu hukum syara’ yang ada nashnya pada al-ashl (pokok)nya, dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-far’u (cabangnya).
4. Al-‘illat, yaitu suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan keberadaan sifat itu pada cabang (far’), maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukum.
Minum khamar adalah ashl (pokok), karena sudah ada nash hukumnya, yaitu firman Allah swt.:
فَاجْتَنِبُوهُ...
“… maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu….” (QS. Al-Maidah/5:90)
Firman Allah inilah yang menunjukkan atas pengharaman minum khamar, karena ada ‘illat, yaitu memabukkan. Selanjutnya arak kurma (nabidz) adalah cabang, Karen tidak ada nash hukumnya. Ia sama dengan khamar karena masing-masing dari keduanya memabukkan, maka disamakan dengan khamar mengenai keharamannya.
H. Macam-macam Qiyas
1. Qiyas Aula, yaitu suatu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq) dan mempunyai hukum yang lebih utama daripada tempat menyamakannya (mulhaq bih). Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan mengatakan “ah” kepadanya, yang tesebut dalam firman Allah:
فَلاَتَقُلْ لَهُمَا ٲُفٍّ.... (الاسراء:٢٣) ….
Artinya:
“Janganlah kamu mengatakan “ah” kepada kedua orang tua….” (QS. Al-Isra’)
Mengatakan “ah” kepada ibu bapak dilarang karena illatnya ialah menyakitkan hati. Oleh karena itu, memukul kedua ibu bapak tentu lebih dilarang, sebab di samping menyakitkan hati juga menyakitkan jasmaninya. Illat larangan yang terdapat pada mulhaq (yang disamakan) lebih berat daripada yang terdapat pada mulhaq bih. Dengan demikian, larangan memukul kedua orang tua lebih keras daripada larangan mengatakan “ah” kepadanya.
2. Qiyas MuSAW.i, yaitu suatu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum dan illat hukum yang terdapat pada mulhaq-nya sama dengan illat hukum yang terdapat pada mulhaq bih. Misalnya, merusak harta benda anak yatim mempunyai illat hukum yang sama dengan memakan harta anak yatim, yakni sama-sama merusakkan harta. Sedang makan harta anak yatim diharamkan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah:
اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْڪُلُوْنَ أَمْوَالَ الْيَتَامٰى ظُلْمًااِنَّمَايَأْكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِهِمْ نَارًاوَسَيَسْلَوْنَ سَعِيْرًا. (النساء:١٠)
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, sabenarnya mereka itu menelan api di dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-nisa’:10)
Maka merusak harta anak yatim adalah haram. Keharamannya karena diqiyaskan pada memakan harta anak yatim.
3. Qiyas dalalah, yakni suatu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil pada harta seorang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat, dengan illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah.
4. Qiyas Syibhi, yakni suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapat diqiyaskan pada dua mulhaq bih, tetapi diqiyaskan dengan dua mulhaq bih yang mengandung banyak persamaannya dengan mulhaq. Misalnya, seorang hamba sahaya yang dirusakkan oleh seseorang.
I. Kehujjahan Qiyas
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan berhujjah dengan qiyas dalam hukum-hukum syari’at atau agama. Dalam hal ini ada beberapa pendapat diantaranya:
1. Jumhur ulama ushul, mereka tetap menganggap qiyas sebagai dalil istinbat hukum-hukum syara atau agama. Alasan mereka adalah:
a. Firman Allah SWT:
فَاعْتَبِرُوْايَاأُولىِ لْأَبْصَارِ( الحشر:٢ )
Artinya:
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Al-Hasyr: 2)
I’tibar dalam ayat ini berasal dari kata ubur yang artinya, melewati atau melampaui. Sebab memang qiyas ialah melewati/melampaui dari hukum ashl (pokok) kepada hukum soal cabang (furu’). Jadi, qiyas termasuk ke dalam ayat tersebut.
b. Firman Allah yang berbunyi:
فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْءٍفَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ. (النساء : ٥٩)
Artinya:
“Apabila kalian bertentangan dalam suatu urusan maka kembalikanlah (urusan itu) kepada Allah dan Rasulnya.” (QS. An-Nisa’: 59)
Adanya pertentangan dalam suatu perkara dan dianjurkannya mengembalikan perkara itu di kala tidak ada nash nya kepada Allah (Quran) dan kepada Rasulnya (sunah) di mana di dalamnya mencakup segala perkara, termasuk juga menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nashnya kepada suatu perkara yang telah ada nashnya.
2. Sebagian ulama syi’ah dan segolongan dari ulama Mu’tazilah seperti An-Nazzam juga ulama-ulama dzaririyah tidak mengakui qiyas sebagai hujjah.
Alasan mereka ialah, semua peristiwa (perkara) sudah ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan sunah baik yang ditunjukkan nash dengan kata-katanya atau tidak seperti isyarat nash (hukum yang tersirat) atau yang menunjukkan nash. Karena itu, kita tidak memerlukan qiyas sebagai hujjah.
3. Al-Quffalusysyasyi, dari golongan syafi’iyah, dan Abul Hasan Al-Bashri dari golongan Mu’tazillah. Keduanya berpendapat, bahwa penetapan hukum melalui qiyas wajib kita lakukan baik secara agama maupun secara syariat.
Alasan mazhab ketiga ini, seperti juga alasan pada mazhab yang pertama di atas jadi, yakni berdasarkan dalil-dalil dan dialog Mu’az dengan Rasul sewaktu akan dikirim oleh Rasul untuk menjadi qadh’i di Yaman.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijma’ secara etimologi ada dua macam pengertian yaitu kesepakatan atau konsensus dan juga tekat atau niat. Sedangkan menurut istilah para ahli ushul fiqih adalah kesepakatan para mujtahid pada satu masa di kalangan umat islam atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian setelah wafatnya Rasulullah Saw. yang mana apabila terjadi suatu peristiwa yang pada saat kejadiannya dihadapkan kepada para mujtahid dari umat islam, sedang mereka sepakat untuk menghukuminya, maka kesepakatan mereka disebut ijma’. Kesepakatan atas satu hukum mengenainya dianggap sebagai dalil, bahwa hukum tersebut merupakan hukum syara’ mengenai kejadian itu. Jadi dapat disimpulkan bahwa ijma merupakan:
1. Kesepakatan seluruh mujtahid dari ijma’ umatMuhammad SAW.
2. Ijma ‘dilakukan dalam suatu masa setelah Rasulullah SAW. wafat.
3. Ijma’ berkaitan dengan hukum syara’.
Qiyas secara bahasa berarti ukuran atau mengukur, mengetahui ukuran sesuatu, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Sedangkan qiyas menurut istilah ahli ilmu ushul fiqih adalah menyamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya, karena terdapat persamaan kedua kasus tersebut dalam ‘illat hukumnya. Yang mana apabila nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kasus dan ‘illat hukumnya telah diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui ‘illat hukum, kemudian ada kasus lain yang ‘illatnya sama dengan kasus yang terdapat nash, maka hukum kasus tersebut disamakan dengan hukum kasus yang sudah ada nashnya berdasarkan persamaan ‘illatnya, karena satu hukum dapat diketahui mana kala ditemukan ‘illat hukumnya
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama Semarang (Toha Putra Group). 2014
Uman, Chaerul. USHUL FIQIH 1. Bandung: CV PUSTAKA SETIA. 2008
Saebani, Beni Ahmad dan Januri. FIQH USHUL FIQH. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2014
Tidak ada komentar: