Makalah Al-Qur'an dan Hadis

MAKALAH
“Al-Qur’an dan Hadits”
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Sahibul Ardi bin Amir Hasan, SHI, MA
Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH


OLEH :
MARIANI (201911078)
NIA ALPINA (2019110716)
NOR LAILA SAFITRI (2019110720)

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM KANDANGAN
TAHUN 2020 M / 1441 H

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya, dan memberikan kemudahan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang sederhana ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan atau bantuan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah dengan baik. Shalawat serta salam tak lupa pula kami haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad Saw beserta keluarga dan para sahabatnya hingga pada umatnya sampai akhir zaman.
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ushul Fiqh
yang berjudul “Al-Qur’an dan Hadits”.  Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca.
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan di dalamnya.
Untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca, Ibu/Bapak Dosen dan teman-teman semuanya, agar makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.



                                                                                                            Kandangan, 04 Maret 2020

                                                                                                           Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR  
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Rumusan Masalah
Tujuan Penulisan
Manfaat 
BAB II PEMBAHASAN  
Pengertian Al-Qur’an dan Kehujjahannya 
Pandangan Orientalis terhadap Al-Qur’an
Hukum dalam bercadar
Pengertian Sunnah dan Kehujjahannya
Keterkaitan hukum bercadar di dalam Al-Qur’an dan Sunnah
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Quran dan Hadis merupakan sumber hukum Islam  yang dijadikan dasar sumber hukum  atau hujjah  dan referensi dalam istimbat hukum syara’  dan dimana sunnah berada setelah Al-Quran sebagai sumber hukum Yang kedua dan  sehingga dimana seorang mutjahid dalam  mengkaji suatu  kasus akan mengacu pada As-Sunnah apabila ia tidak menemukan hukum  mengenai suatu perkara di dalam Al-Quran, selanjutnya Hadis yang menjelaskan hukum-hukum yang ada di dalam Al-Quran yang masih Global (Umum).
Dalam  Kehidupan sekarang terdapat pro-kontra tentang wanita yang memakai cadar, padahal cadar adalah salah satu penutup wajah bagi perempuan muslim meskipun Hukum tentang bercadar itu terdapat perbedaan Hukum untuk bercadar. Di Indonesia pun sering sekali kita dengar bahwa orang yang bercadar itu di identikkan dengan radikalisme dan anti  pancasila.
Tegasnya, cadar bukanlah serta merta menandakan radikalisme, Justru, ini yang perlu diperhatikan ada banyak orang radikal, yang memusuhi sesama umat Islam yang berbeda mazhab dengan lainnya.





B/ Rumusan Masalah
Apa pengertian Al-Qur’an dan kehujjahannya ?
Bagaimana pandangan orientalis terhadap Al-Qur’an?
Bagaimana hukum dalam bercadar?
Apa pengertian sunnah dan kehujjahannya?
Bagaimana keterkaitan hukum bercadar di dalam Al-Quran dan As-Sunnah?

C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui apa pengertian Al-Qur’an dan kehujjahannya.
Untuk mengetahui bagaimana pandangan orientalis terhadap Al-Qur’an.
Untuk mengetahui bagaimana hukum dalam bercadar.
Untuk mengetahui apa pengertian sunnah dan kehujjahannya.
Untuk mengetahui bagaimana keterkaitan hukum bercadar di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

D/ Manfaat
Untuk mengetahui apa pengertian Al-Qur’an dan kehujjahannya dikalangan Mahasiswa STAI Darul Ulum Kandangan.
Untuk mengetahui bagaimana pandangan orientalis terhadap Al-Qur’an dikalangan Mahasiswa STAI Darul Ulum Kandangan.
Untuk mengetahui bagaimana hukum dalam bercadar dikalangan Mahasiswa STAI Darul Ulum Kandangan
Untuk mengetahui apa pengertian As-Sunnah dan kehujjahannya dikalangan Mahasiswa STAI Darul Ulum Kandangan.
Untuk mengetahui bagaimana keterkaitan hukum bercadar dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dikalangan Mahasiswa STAI Darul Ulum Kandangan.



BAB II
PEMBAHASAN

Al-Quran
Pengertian Al-Qur’an
Kata Al-Qur’an diambil dari akar qara’a yang berarti mengumpulkan menjadi Satu. Qara’a berarti juga membaca atau menuturkan, karena dalam pembacaan atau penuturan, huruf-huruf dan kata-kata dihimpun dan disusun dalam susunan tertentu.
Secara Istilah Al-Quaran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara muttawwatir, membacanya merupakan Ibadah, tertulis dalam Mushaf, dimulai dari surat Al-Fatihah dan ditutup dengan An-Nas.
Kehujjahan Al-Qur’an Menurut Pandangan Ulama Imam Mazhab
Pandangan Imam Abu Hanifah
     Apa yang dikutib dari Imam Abu Hanifah yang memperbolehkan membaca Al-Qur’an di dalam shalat dengan bahasa Persia, tidaklah menunjukkan bahwa terjemahan adalah Al-Qur’an dan hukum-hukum Al-Qur’an tidaklah berlaku terhadapnya. Karena sesungguhnya Abu Hanifah memperbolehkab qira’at dalam bahasa Persia dalam shalat hanyalah bagi orang yang tidak mengetahui bahasa Arab dan tidak dapat membacanya, jadi dalam kondisi demikian kewajiban membaca Al-Qur’an telah gugur darinya. Kemudian apabila ia membaca dengan bahasanya, maka hal itu merupakan zikir kepada Allah, dan hal itu tidak ada yang menghalangi. Di samping itu, diriwayatkan bahwa Abu Hanifah mencabut pendapatnya sebagaimana pendapat para imam lainnya, bahwa orang yang tidak mampu berbahasa Arab melakukan shalat dengan berdiam diri saja, dan tidak dituntut untuk membaca Al-Qur’an, karena tidak ada taklif kecuali terhadap hal yang disukainya, sebagaimana ia melakukan shalat dengan duduk ketika tidak mampu berdiri.
Pandangan Imam Malik
    Menurut Imam Malik, hakikat Al-Qur’an adalah kalam Allah yang lafadzh dan maknanya dari Allah SWT. Ia bukan makhluk karena kalam Allah termasuk sifat Allah. Sesuatu yang termasuk sifat Allah tidak dikatakan makhluk , bahkan dia memberikan predikat kafir zindiq terhadap oranng yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Imam Malik juga sangat keberatan untuk menafsirkan Al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau berkata, “Seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan Al-Qur’an (dengan daya nalar murni), maka akan kupenggal leher orang itu.”
   Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti ulama salaf (sahabat dan tabi’in) yang membatasi pembahasan Al-Qur’an sesempit mungkin karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWT. Maka tidak heran kalai kitabnya, Al-Muwaththa dan Al-Mudawwanah sarat dengan pendapat sahabat dan tabi’in. dan Malik pun mengikuti jejak mereka dalam cara menggunakan ra’yu.
    Berdasarkan ayat 7 surat Ali-Imran, petunjuk lafadz yang terdapat dalam Al-Qur’an terbagi dalam dua macam, yaitu muhkamat dan mutasyabihat, Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang terang dan tegas maksudnya serta dapat dipahami dengan mudah, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat ialah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat ditentukan artinya, kecuali setelah diselidiki secara mendalam.
      Muhkamat terbagi dalam dua bagian, yaitu lafazh dan nash. Imam Malik menyepakati pendapat ulama-ulama lain bahwa lafazh nash itu adalah lafazh yang menunjukkan makna yang jelas dan tegas (qath’i) yang secara pasti tidak memiliki makna lain, lafazh zhahir adalah lafazh yang menunjukkan makna jelas, namun masih mempunyai kemungkinan makna lain. Menurut Imam Malik, keduanya dapat dijadikan hujjah, hanya saja lafazh nash didahulukan daripada lafazh zhahir. Menurut Imam Malik, dilalah nash termasuk qath’i, sedangkan dilalah zhahir termasuk zhanni, sehingga bila terjadi pertentangan antara keduanya maka, yang didahulukan adalah dilalah nash. Yang perlu diingat adalah makna zhahir menurut pengertian Imam Malik.
Pandangan Imam Asy-Syafi’i
Imam As Syafi’i, sebagaimana para ulama lainnya, menetapkan Al Qur’an merupakan sumber hukum islam yang paling pokok, bahkan beliau berpendapat , “Tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjuknya terdapat dalam Al Qur’an. “(Asy-Syafi’I, 1309;20). Oleh karena itu, Imam Asy-Syafi’I senantiasa mencantumkan nash-nash Al Qur’an setiap kali mengeluarkan pendapatnya, sesuai metode yang digunakannnya, yakni deduktif.
   Namun, Asy-Syafi’i menganggap bahwa Al Qur’an tidak bisa dilepaskan dari As Sunnah, karena kaitan antara keduanya sangat erat sekali. Kalau para ulama lain menganggap bahwa sumber hukum islam yang pertamaa itu Al Qur’an kemudian As Sunnah, maka imam As Syafi’i berpendapat bahwa sumber hukum islam pertama itu Al Qur’an dan As Sunnah, sehingga seakan akan beliau menganggap keduanya berada pada satu martabat.
Sebenarnya, Imam Asy-Syafi’i pada beberapa tulisannya yang lain tidak menganggap bahwa Al Qur’an dan Sunah berada dalam satu martabat, namun kedudukan As Sunnah itu adalah setelah Al Qur’an. Tapi Asy-Syafi’i menganggap bahwa keduanya berasal dari Allah SWT. Meskipun mengakui bahwa di antara keduanya terdapat perbedaan cara memperolehnya. Dan menurut As-Sunnah  merupakan penjelas berbagai keterangan yang bersifat umum yang ada dalam Al Qur’an.
Kemudian Asy-Syafi’i menganggap Al-Qur’an itu seluruhnya berbahasa Arab, dan ia menentang mereka yang beranggapan bahwa dalam Al Qur-an terdapat bahasa ‘Ajam luar Arab), di antara pendapatnya adalah firman Allah SWT :

وَكَذاَلِكَ اَنْزَلْناَ قُرْاناً عَرَبِياًّ

Artinya:
“Dan begitulah Kami turunkan Al-Qur’an berbahasa arab”
Dengan demikian, tak heran bila Imam Asy-Syafi’i dalam berbagai pendapatnya sangat mementingkan pengguanaan bahasa Arab. Misalkan dalam shalat, nikah, dan ibadah- ibadah lainnya. Dan beliau pun mengharuskan penguasaan bahasa Arab bagi mereka yang ingin memahami dan meng-istinbath hukum dari Al Qur’an. (Abu Zahrah : 191 – 197)

Pandangan Iman Ahmad Hambal  ibnu hambal
   Al-Quran merupakan sumber dan tiangny syari’at Islam, yang didalamnya terdapat berbagai kaidah yang tidak akan berubah dengan perubahan zaman dan tempat. Al-Quran juga mengandung hukum-hukum global dan penjelasan mengenai akidah yang benar, disamping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya agama Islam. Ahmad Ibnu Hambal sebagaimana para ulama lainnya para Ulama lainnya berpendapat  bahwa Al-Quran itu sumber pokok Islam, kemudian disusul oleh As-Sunnah. Namun seperti Halnya Imam Syafi’i, imam ahmad memandang bahwa As-Sunah mempunyai kedudukan yang kuat di samping Al-Quran, sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hukum itu adalah Nash, tanpa menyebutkan Al-Quran dahulu atau As-Sunah dahulu, tetapi yang dimaksud nash tersebut adalah Al-Quran dan As-Sunah.
Dalam penafsiran terhadap Al-Quran, Imam Ahmad  betul-betul mementingkan penafsiran yang datangnya dari As-Sunah (Nabi Muhammad Saw.) dan sikapnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga:
Sesungguhnya zhahir Al-Quran tidak mendahulukan As Sunah .
Rasullah Saw. Saja yang berhak menafsirkan Al-Quran, maka tidak ada seorang pun yang berhak menafsirkan atau menakwilkan Al-Quran, karena As-Sunah telah cukup menafsirkan dan menjelaskan.
Jika tidak ditemukan penafsiran yang berasal dari Nabi, penafsiran para sahabatlah yang dipakai, karena merekalah yang menyaksikan turunnya Al-Quran dan Mendengarkan takwil. Dan merekalah yang menyaksikan turunnya Al-Quran dan mendengarkan Takwil. Dan mereka pula yang lebih mengetahui As-Sunah yang mereka gunakan sebgai penafsir Al-Quran.

Pandangan orientalis terhadap Al-Quran
Sebagai seorang”dedengkot” orientalis, theodor Noldeke menjadikn kitab perjanjian lama dan perjanjian baru sebagai tolak ukur kebenaran Al-Quran, sehingga ia meragukan kemurnian Al-Quran. Sehingga ia meragukan kemurnian Al-Quran adalah Wahyu dari Allah. Noldoke menyebutkan kalimat syahadah dan basmalah yang menjadi bagian dalam ajaran Islam diyakini berasal dari agama Yahudi selain itu beberapa kata seperti al-furqan dan millah juga diadopsi Muhammad dari Yahudi, menurut Noldeke, telah dipahami secara salah. Sementara dari tradisi Kristen, Al-Quran diyakini Noldeke telah mengadopsi beberapa kisah-kisah di dalamnya,seperti kisah Maryam dan kelahiran Isa(Yesus) yang disebutkan dalam Al-Quran adalah bukti kongret dari pengadopsian Muhammad terhadap agama Kristen.

Hukum dalam Bercadar
Perempuan yang  memakai cadar seringkali dikaitkan dengan orang Arab atau orang timur. Padahal memakai cadar atau penutup wajah bagi perempuan adalah ajaran Islam yang didasari dalil-dalil Al-Quran,dan hadist-hadist Shahih. Sehingga tidak benar Anggapan bahwa hal tersebut merupakan sekedar budaya orang timur tengah.Adapun pandangan atau pendapat dari empat mazhab tentang hukum bercadar Yaitu:
Mazhab Hanafi
Menurut pendapat Mazhab Hanafi, wajah wanita bukanlah Aurat, Namun memakai Cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan Fitnah.


Asy-Syaranbalali berkata:
وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها باطنهما وظاهرهما في الأصح ، وهو المختار

“Seluruh tubuh Wanita adalah Aurat kecuali wajah telapak tangan luar, ini pendapat yang shahih dan merupakan pilihan matan Nuurul lidhah).
Al-Imam Muhammad A’laauddin berkata:

وجميع بدن الحرة عورة الا وجهها وكفيهاز وقدميها في رواية وكذا صوةها وليس بعورة علي الاشلبه وانما يؤدي الي الفتنة ولذا تمنع من كشف وجهها بين الرجال للفتنة
“Seluruh badan wanita adalah Aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam. Dalam suatu riwayat, juga telapak tangan luar. Demikian juga suaranya. Namun bukan aurat jika dihadapan semua wanita.Jikacenderungmenimbulkan Fitnah, dilarang menampakkan wajahnya dihadapan lelaki”(Ad-Durr Al-Muntaqa,81)

Al-A’llamah Al-Hashkafi berkata:

والمراة كا لر جل لكنها تكشف وجهها لا راسها ولو سد لت شياء عليه وجا فته جا ز بل يندب
“Aurat wanita dalam shalat itu seperti Aurat lelaki. Namun wajah wanita itu dibuka sedangkan kepalanya tidak Andai seorang wanita memakai sesuatu diwajahnya atau menutupnya boleh bahkan dianjurkan”(Ad Durr Al-Mukhtar,2/189)

Al-A’llamah ibnu Abidin berkata:

تمنع من الكشف لخو ف ان يرى الر جا ل وجهها فتقع الفتنة لانه مع الشف قد يقع النظر اليها بشهوة
“Terlarang bagi wanita menampakkan wajahnya karena khawatir akan dilihat oleh para lelaki, kemudian timbullah fitnah. Karena jika  wajah dinampakkan, terkadang lelaki melihatnya dengan syahwat”(Hasyiah A’lad Durr Al-Mukhtaar,3/188-189)

Al-A’llamah ibnu Najim berkata:

قا ل مشا يخنا : تمنع المراة الشا بة من كشف وجهها بين الر جا ل في ز ما ننا للفتنة
“Para Ulama mazhab kami berkata bahwa terlarang bagi wanita muda untuk menampakkan wajahnya dihadapan wajahnya di hadapan para lelaki di zaman kita ini,karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah”(Al-Bahr Ar-Raaiq,284)
Mazhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah Aurat, namun memakai cadar Hukumnya sunnah(dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan Fitnah. Bahkan sebagian Ulama Maliki berpendapat tubuh wanita adalah Aurat.




Az-Zarqani berkata:
و عو ر ة ا لحر ة مع ر جل ا جنبي مسلم غير ا لو جه و ا لكفين من جميع جسد ها حتى د لاليها و قصتها وا ما ا لو جه و ا لكف ن ظا هر هما و با طنهما فله رو يتهما مكشو فين و لو شا بة بلا عذ ر  من شها د ة ا و طب ا لالخو ف فتنة ا و قصد لذ ة فيحر م كنذر لا مر د كما للفا كها ني وا لقلشا ني
“Aurat wanita di depan lelaki muslim ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan. Bahkan suara indahnya juga aurat.sedangkan wajah, telapak tangan luar dalam, boleh dinampakkan dan dilihat oleh laki-laki maupun wanita tersebut masih muda baik sekedar melihat ataupun untuk tujuan pengobatan.kecuali jika khawatir timbulnya fitnah  atau lelaki melihat wanita utnukberlezat-lezat, maka hukumnya haram, sebagaimanana haramnya melihat amraad. Hal ini juga juga ini juga diungkapkan oleh Al-Faakihaaani dan Al-Qalsyaaani”(Syarh Mukhtashar Khalil,176)
Al-Allamah Al Banaani mejelaskan pendapat Az-Zarqani di atas:
وهو الذي لا بن مرزوق في اغتنام الفر صح فا الا انه مشهور المد هي ونقل الخطأ ب أيضا ألو جوب عن القضي عبد الوهاب أولا يجب عليها ذلك وإنما على الرجل غض بصره وهو مقاضي نقل موا ق عن عيا ض وفصل الشيخ رؤوق في شرح ألو غائبة بين الجميلة فيجب عليها وغيرها فيستحب

“Pendapat tersebut juga dikatakan oleh Ibnu Marzuuq dalam kitab Iqhtimamul, Furshah, ia berkata: Inilah pendapat yang masyhur dalam mazhab Maaliki’, Al-Hathab juga menukil perkataan Al-Qadhi Abdul Wahhab bahwa hukumnya Wajib. Sebagian ulama maliki menyebutkan hukummnya penadap bahwa hukumnya  tidak wajib namun menundukkan pandangannya.pendapat ini dinukilMawwaq dari Iyadh. Syaikh Zarruq dalam kitab syarhul waghlisiyyah merinci, jika cantik maka wajib,jika tidak cantik maka sunnah”(Hasyisyiyah A’la Syarh Az-Zarqaaani,176)
Mazhab syafi’I
Pendapat mazhab Syafi’i, aurat wanita di depan lelaki ajnabi(bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai cadar dihadapan lelaki ajnabi. Inilah pendapat mu’tamad mazhab syafi’i.
As-Syarwani berkata:
إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة
“Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1)Aurat dalam shalat sebagaimana telah dijelaskan yaitu seluruh badan kecualiwajah dan telapak dan telapak tangan, (2). Aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) Aurat ketika berdua bersama yang mahram,sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha”(Hasyiah Asy Syarwani A’la Tuhfatul Muhtaaj,2/112
Taqiyuddin Al-Hushni, penulis kifayatur Akhyar, berkata:
ويُكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل ، والمرأة متنقّبة إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر ، فإن خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب
“Makhruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makhruh pula wanita yang memakai niqab (cadar) ketika shalat. Kecuali jika di masjid kondisinya sulit terjaga dari pandangan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehinga menimbulkan kerusakan,haram hukumnya melepaskan niqab(cadar)” (Kifaayatul Akhyaar,181)
Mazhab Hambali
Imam hambal berkata:
كل شيء منها ــ أي من المرأة الحرة ــ عورة حتى الظفر



“Setiap bagian tubuh wanita adalah Aurat, termasuk pulan kukunya”(Dinukil dalam Zaadul Maasiir, 6/31)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata:
القول الراجح في هذه المسألة وجوب ستر الوجه عن الرجال الأجانب
“Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah wajib hukumnya bagi wanita untuk menutup wajah dari lelaki ajnabi”(Fatawa Nurun A’lad Darb,
Singkat kata,para ulama sejak dahulu membahas hukum cadar bagi wanita. Sebagian mewajibkan dan sebgian lain lagi berpendapat hukumnya itu sunnah.

Pengertian Sunnah
Pengertian Sunnah
As-Sunnah menurut syara’ adalah sesuatu yang dating dari Rasullah saw. Baik berupa perkataan, perbuatan, pengakuan(Taqrir).
Kehujjahan Sunnah
Bahwasanya dalam Al-Quran,  Allah telah mewajibkkan kepada manusia, kewajiban-kewajiban secara Global, tanpa penjelesan, hukum-hukumnya dan cara pelaksanaannya tidak diterangkan Al-Quran.

Keterkaitan hukum bercadar di dalam Al-Quran dan As-Sunnah
Allah ta’ala berfirman:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
Artinya: “Dan hendaklah mereka (para wanita) menjulurkan kain jilbab  kedada mereka”(Q.s An Nuur:31)


Dalam shahih Bukhari, disebutkan Hadis dari Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu’anhu, beliau mengatakan:
لمَّا نزلت ْهذه الآيةُ : { وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ } . أخذْنَ أزُرَهنَّ فشَقَقْنَها من قِبَلِ الحَوَاشِي ، فاخْتَمَرْنَ بها











Ketika turun ayat:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنّ
Para Wanita shahabiyah mengambil kain-kain mereka, kemudian mereka merobeknya dari ujung-ujungnya dan ber-khimar dengannya”.(3)




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Al-Quran dan hadis merupakan sumber hukum Islam dan menjadi  asspek sumber kehidupan yang mendasar.Di dalam Al-Quran dan Hadis sudah dijelaskan bahwa menutup aurat itu adalah hukumnya wajib Dengan kata lain aurat diartikan sebagai anggota badan yang tidak boleh ditampakkan dan diperlihatkan oleh perempuan itu Adapun dalam hukum bercadar dalam islam masih terdapat masalah khilafiyah (perbedaan) dalam pandangan hukum memakai cadar itu seperti pendapat para mazhab ada yang mensunnahkan dan ada juga yang mewajibkan .
Di Indonesia, bercadar justru menjadi bahan olokan bagi sebagian orang, dengan beranggapan bahwa bercadar itu seperti ninja atau hantu. Menghina atau mengolok-olok wanita bercadar merupakan hal yang tercela dalam Islam karena Islam melarang untuk menghina seseorang apalagi yang berkaitan dengan syar’i.
Memakai cadar sering sekali dikaitkan dengan teroris atau dengan hal yang menakutkan. Sebenarrnya tidak semua orang bercadar adalah teroris. Teroris yang sebenarnya yang melakukan pengeboman hanya mengotori orang Islam dan berpura-pura sebagai orang muslim

Saran
Bagi Mahasiswi
Bagi Mahasiswi yang memakai cadar, sering-seringlah berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama teman, keluarga, masyarakat, dan lingkungan sekitar kampus, untuk memberitahukan bahwa bercadar bukanlah suatu hal yang di anggap aneh. Dan menjelaskan bahwa tidak semua orang bercadar itu dikaitkan dengan teroris.
Bagi Masyarakat
Masyarakat tidak boleh melihat seseorang dari luar atau penampilannya saja, masyarakat harus bisa melihat atau meneliti dalam menilai seseorang.  Jangan langsung beranggapan jelek apabila seseorang memakai cadar.




DAFTAR PUSTAKA

Hawi, Akmal. Dasar-dasar Studi Islam. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada. 2014
Syafe’I,  Rachmat . Ilmu Ushul Fiqih. Bandung. CV Pustaka Setia. 2015
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang. Dina Utama Semarang Toha Putra Group.  2014
https://www.academia.edu/31102541/PANDANGAN_ORIENTALIS_TERHADAP_AL-QURAN_Teori_Pengaruh_Al-Quran_Theodor_Noldeke_diakses pada rabu tanggal 4 maret 2020, pukul 14:25

https://muslim.or.id/6207-hukum-memakai-cadar-dalam-pandangan-4-madzhab.html. Di akses pada kamis   tanggal 5 maret 2020, pukul 16:15

https://muslim.or.id/37208-ayat-al-quran-tentang-cadar.html.Diaksespada jum’at tanggal 6 maret 2020, pukul 10:55

Tidak ada komentar:

Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia

 MAKALAH “Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia ” Mata Kuliah: Hukum Perdata Islam di Indonesia B  Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH ...

Diberdayakan oleh Blogger.