Makalah Syar'u Man Qablana dan Dzari'ah

MAKALAH 
USHUL FIQIH
 SYAR’U MAN QABLANA DAN DZARI’AH SERTA PENERAPANNYA
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Sahibul Ardi bin Amir Hasan, SHI, MA
Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH


Oleh :
Muhammad Iqbal (2019110714)
Norlatipah (2019110733)
PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM 
DARUL ULUM KANDANGAN

DAFTAR ISI
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II Pembahasan
A. Pengertian Syar’u Man Qablana
B. Pengelompokan Syar’u Man Qablana
C. Pendapat Ulama Tentang Syar’u Man Qablana
D. Pengertian Dzari’ah
E. Macam-macam Dzari’ah
F. Pendapat Ulama Tentang Dzari’ah












BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu rukun iman yang enam adalah beiman kepada Rasul-Rasul-Nya. Setiap Rasul tersebutpun mempunyai risalah yang mereka bawa masing-masing dan kewajiban setiap ummat tersebut pula untuk mengimani apa yang dibawa oleh Rasul-Rasul tersebut. kita sebagai umat Nabi Muhammad, penutup para Nabi diwajibkan untuk mengimani risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad, akan tetapi bagaimana dengan syari’at-syari’at yang dibawa oleh Rasul-Rasul terdahulu? Wajibkah kita mengimaninya juga atau bahkan haram untuk di imani?
Dalam makalah ini akan dibahas tentang itu dan juga tentang Dzari’ah
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Syar’u man Qablana?
2. Bagaimana pengelompokan Syar’u Man Qablana?
3. Apa pendapat ulama tentang Syar’u Man Qablana?
4. Apa pengertian dan macam-macam Dzari’ah?
5. Apa pendapat ulama tentang Dzari’ah?
C. Tujuan 
1. Untuk mengetahui pengertian Syar’u Man Qablana.
2. Untuk mengetahui pengelompokan Syar’u Man Qablana.
3. Untuk mengetahui pendapat ulama tenttang Syar’u Man Qablana.
4. Untuk mengetahui pengertian dan macam-macam Dzari’ah.
5. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang Dzari’ah.





BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Syar’u Man Qablana
Yang dimaksud dengan Syar’u Man Qablana  ialah syariat atau ajaran-ajaran nabi-cfnabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa AS.  Sedangkan syariat itu sendiri adalah ketetapan Allah dan Rasul-Nya yang berisi ketentuan-ketentuan hukum dasar yang bersifat global, kekal, dan universal yang diberlakukan bagi semua hamba-Nya berkaitan dengan masalah akidah, ibadah, dan muamalah.  
B. Pengelompokan Syar’u Man Qablana 
Syariat sebelum kita dibagi dalam tiga kelompok :
1. Syariat terdahulu yanng terdapat dalam Al-Qur’an atau penjelasan Nabi yang disyariatkan untuk umat sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam Al-Qur’an atau hadis Nabi bahwa yang demikian telah dinasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad SAW.
2. Hukum-hukum dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun Hadis Nabi disyariatkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan dinyatakan berlaku untuk selanjutnya.
3. Hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau hadis Nabi dijelaskan berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakh. 
C. Pendapat ulama tentang Syar’u man Qablana
Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa syariat para Nabi terdahulu tidak tercantum dalam Al-Quran dan Sunah Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam, karena kedatangan syariat Islam telah mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu. Demikian pula para ulama ushul fiqih sepakat bahwa syariat sebelum Islam yang dicantumkan dalam Al-Quran adalah berlaku bagi umat Islam bilamana ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW, namun keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya sebagai syariat sebelum Islam tetapi karena di tetapkan oleh Al-Quran. Misalnya puasa Ramadhan yang diwajibkan kepada umat Islam adalah syariat sebelum Islam, seperti dalam surah al-Baqarah ayat 183 :
ﻴﺍَٲَﻴُّﻬَﺍﺍﻟَّذِﻴْﻦَءَﺍﻤَﻧُﻮْﺍﻜُﺘِﺐَﻋَﻟَﻴْﻜُﻢُﺍﻟﺼِّﻴَﺍﻢُﻜَﻤَﺍﻜُﺘِﺐَﻋَﻟَﻲﺍﻟَّﺫِﻴْﻦَﻤِﻦْﻘَﺒْﻟِﻜُمْﻟَﻌَﻟَّﻜُمْﺘَﺘَّﻘُﻮْﻦَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (Qs. Al-Baqarah/2:183)
Para ulama Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat Nabi terdahulu yang tercantum dalam Al-Qur’an, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Islam dan tidak pula ada penjelasan yang membatalkannya.
Menurut kalangan Hanafiyyah, Malikiyah, mayoritas kalangan Syafi’iyah, dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal, hukum-hukum seperti itu berlaku bagi umat Islam. Di antara alasan mereka :
1) Pada dasarnya syariat itu adalah satu karena datang dari Allah juga. Oleh karena itu, apa yang disyariatkan kepada para Nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku kepada umat Nabi Muhammad SAW.
2) Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi terdahulu.
  Menurut para ulama Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian kalangan Syafi’iyah, dan salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, syariat sebelum Islam yang disebut dalam Al-Qur’an, tidak menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad SAW. Di antara alasan mereka:
1. Bahwa setiap umat itu mempunyai syariat tersendiri. Itu berarti syariat Nabi terdahulu tidak berlaku bagi umat nabi Muhammad SAW.
2. Tidak terdapat petunjuk Rasulullah untuk merujuk kepada syariat Nabi-Nabi terdahulu.
Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya ‘Ilmu Ushul al-Fiqh’ menjelaskan, bahwa syariat Islam hanya membatalkan hukum yang kebetulan berbeda dengan syariat Islam. Oleh karena itu, segala hukum-hukum syariat para nabi terdahulu yang disebut dalam Al-Qur’an tanpa ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu telah dinasakh (dihapuskan), maka hukum-hukum itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Disamping itu, disebutnya hukum-hukum itu dalam Al-Qur’an yang merupakan petunjuk bagi umat Islam, menunjukkan berlakunya bagi umat Nabi Muhammad SAW.  

D. Pengertian Dzariah
secara etimologi, kata dzari’ah berarti “jalan menuju kepada sesuatu”. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh, dzari’ah adalah “segala hal yang bisa mengantarkan dan menjadi jalan kepada sesuatu yang dilarang oleh syara’”. 
Dalam perkembangannya, istilah dzari’ah ini terkadang diartikan dalam arti yang lebih umum. Sehingga dzari’ah dapat didefinisikan sebagai “segala hal yang bisa mengantarkan dan menjadi jalan kepada sesuatu baik berakibat baik ataupun buruk”. Oleh karena itu, apabila mengakibatkan kerusakan maka ada ketentuan sadd dzari’ah (jalan tersebut ditutup), dan apabila berakibat kebaikan maka ada ketentuan fath dzari’ah (jalan tersebut dibuka). Tetapi dalam perkembangan berikutnya, istilah yang kedua ini kurang populer. Sehingga yang yang dibahas dalam makalah ini adalah sadd dzari’ah. 
E. Macam-Macam Sadd Dzari’ah
Sadd Dzari’ah dikelompokkan dengan melihat kepada beberapa isi, yaitu :
1. Dengan melihat kepada akibat (dampak) yang ditimbulkannya, Ibnu Qayyim membagi Dzari’ah menjadi empat macam, yaitu :
a. Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti membawa dan menimbulkan kerusakan (mafsadah). Misalnya minum minuman keras yang dapat menyebabkan mabuk dan mabuk itu adalah kemafsadatan.
b. Suatu perbuatan yang dasarnya diperbolehkan (mubah), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu perbuatan buruk yang merusak (mafsadah). Misalnya seorang yang menikahi wanita yang telah dithalaq tiga oleh suaminya dengan tujuan agar suami pertama dapat menikahinya lagi.
c. Suatu perbuatan yang dasarnya dibolehkan namun tidak sengaja menimbulkan suatu keburukan(mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi meski tidak disengaja, yang mana keburukan itu lebih besar akibatnya daripada kebaikan.
d. Suatu perbuatan yang dasarnya dibolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya.
2. Dari sisi tingkat kerusakan yang ditimbulkan, Syatjibi membagi menjadi empat macam, yaitu :
a. Perbuatan itu membawa kepada kerusakan yang nyata. Misalnya menggali lubang di tempat yang gelap di depan pintu gerbang tempat lalu lintas orang-orang yang dapat dipastikan akan menjebak siapapun yang melaluinya.
b. Perbuatan itu mengandung kemungkinan, meskipun kecil, akan membawa kepada sesuatu yang dilarang. Misalnya menggali sumur di tempat yang tidak biasa dilalui orang, atau menjual buah anggur kepada orang yang tidak terkenal sebagai produsen khamr atau minuman keras.
c. Perbuatan yang dasarnya adalah mubah namun kemungkinan akan membawa kepada kebinasaan lebih besar dibandingkan dengan kemaslahatan yang akan diraih. Misalnya menjual senjata kepada musuh pada waktu perang, menyewakan rumah kepada pihak yang dikenal bandar judi dan lain-lain. 
d. Perbuatan yang dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan, tetapi disamping itu dilihat kepada pelaksanaanya ada kemungkinan membawa kepada sesuatu yang dilarang. Misalnya jual beli kredit, memang tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun pada prakteknya sering dijadikan sarana untuk riba.  

F. Pendapat Ulama Tentang Dzari’ah
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu :
1. Kelompok yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama dikalangan mazhab maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fiqih dan ushul fiqih. 
2. Kelompok yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’I. dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd ada z-dzariah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lainnya.
3. Kelompok yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir al-lafzh). Sementara sadd dzari’ah adalah hasil penalaran terhadap suatu perbuatan yang masih dalam tingkat dugaan, meskipun sudah sampai tingkat dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd dzari’ah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung. 


















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Yang dimaksud dengan Syar’u Man Qablana  ialah syariat atau ajaran-ajaran nabi-cfnabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa AS. Syariat sebelum kita dibagi dalam tiga kelompok :
1. Syariat terdahulu yanng terdapat dalam Al-Qur’an atau penjelasan Nabi yang disyariatkan untuk umat sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam Al-Qur’an atau hadis Nabi bahwa yang demikian telah dinasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad SAW.
2. Hukum-hukum dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun Hadis Nabi disyariatkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan dinyatakan berlaku untuk selanjutnya.
3. Hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau hadis Nabi dijelaskan berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakh.
Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa syariat para Nabi terdahulu tidak tercantum dalam Al-Quran dan Sunah Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam, karena kedatangan syariat Islam telah mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu. Demikian pula para ulama ushul fiqih sepakat bahwa syariat sebelum Islam yang dicantumkan dalam Al-Quran adalah berlaku bagi umat Islam bilamana ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW, namun keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya sebagai syariat sebelum Islam tetapi karena di tetapkan oleh Al-Quran.
Adapun dzari’ah adalah “segala hal yang bisa mengantarkan dan menjadi jalan kepada sesuatu yang dilarang oleh syara’”. Sadd Dzari’ah dikelompokkan dengan melihat kepada beberapa isi, yaitu : Dengan melihat kepada akibat (dampak) yang ditimbulkannya, ada empat macam :
1. Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti membawa dan menimbulkan kerusakan (mafsadah).
2. Suatu perbuatan yang dasarnya diperbolehkan (mubah), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu perbuatan buruk yang merusak (mafsadah).
3. Suatu perbuatan yang dasarnya dibolehkan namun tidak sengaja menimbulkan suatu keburukan(mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi meski tidak disengaja, yang mana keburukan itu lebih besar akibatnya daripada kebaikan.
4. Suatu perbuatan yang dasarnya dibolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya.
Dari sisi tingkat kerusakan yang ditimbulkan terbagi menjadi empat bagian :
1. Perbuatan itu membawa kepada kerusakan yang nyata.
2. Perbuatan itu mengandung kemungkinan, meskipun kecil, akan membawa kepada sesuatu yang dilarang.
3. Perbuatan yang dasarnya adalah mubah namun kemungkinan akan membawa kepada kebinasaan lebih besar dibandingkan dengan kemaslahatan. 
4. Perbuatan yang dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan, tetapi disamping itu dilihat kepada pelaksanaanya ada kemungkinan membawa kepada sesuatu yang dilarang.
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Pandangan ulama tentang Dzari’ah ini terbagi menjadi tiga bagian :
1. Kelompok yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum
2. Kelompok yang tidak menerima sepenuhnya.
3. Kelompok yang menolak sepenuhnya



B. Kritik dan Saran 
Dengan menyadari sifat kekurangan manusia, maka kami memohon kritik dan saran dari pembaca guna kesempurnaan makalah yang akan datang. Apabila pembaca menemukan kekeliruan dalam penulisan dan lain sebagainya, kami mohon maaf karena kami hanya manusia biasa yang kadang salah dan lupa. Semoga makalah ini mendapat berkah dan keridhaan Allah, sehingga membawa manfaat bagi kami dan pembaca. Dan semoga kita semua bisa mengamalkan ilmu tentang Syar’u Man Qablana dan Dzari’ah ini dalam kehidupan sehari-hari kita dan untuk pembaca ataupun pembuat makalah selanjutnya agar lebih ditingkatkan lagi dari segi penulisan, tata bahasa, dan lain-lain.



















DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta : Prenada Media,  2005
http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/alusrah/article/download/1343/1090, diakses pada 5 Maret 2020. Jam 16.35
http://racheedus.wordpress.com/makalahku/makalah-nyoba/. Diakses pada 4 maret 2020. Jam 20.18
Syafei, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : CV Pustaka Setia, 2015
Umam, Chaerul, Ushul Fiqh 1 Bandung : CV Pustaka Setia, 1998
Abdullah, boedi, Ilmu Ushul Fiqh,  Bandung : CV pustaka Setia, 2009







Tidak ada komentar:

Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia

 MAKALAH “Prospek Hukum Perdata Islam di Indonesia ” Mata Kuliah: Hukum Perdata Islam di Indonesia B  Dosen Pengajar : Noor Efendy, SHI, MH ...

Diberdayakan oleh Blogger.