Konsep Peminangan dan Kafa'ah dalam Pernikahan
KONSEP
PEMINANGAN
DAN KAFA’AH DALAM
PERNIKAHAN
OLEH:
ATAILLAH
AL-MAKI
MUHAMMAD
ARSYAD
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL
ULUM KANDANGAN
2020
M / 1442 H
KONSEP
PEMINANGAN
DAN
KAFA’AH DALAM PERNIKAHAN
Makalah
Diajukan
Kepada Program Studi Hukum Islam
STAI
Darul Ulum Kandangan Untuk Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah fiqih munaqahat A
DOSEN
PENGAMPU
Noor Efendy, SHI, MH
OLEH
:
Atailah
Al-Maki
(2019110702)
Muhammad
Arsad
(2019110711)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL
ULUM KANDANGAN
2020
M / 1442 H
Kata
Pengantar
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah STW.
Yang mana telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita. Serta
Shalawat dan salam kita curahkan kepada junjungan baginda Nabi Besar Muhammad
SAW. Begitu juga kepada para sahabat, tabi’in, tabi’it-tabi’in dan ummat yang
selalu mengikuti jejaknya sampai akhir zaman.
Dalam makalah ini, kami susun untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah fiqih
munaqahat A yang membahas “Konsep
Peminangan dan Kafa’ah dalam Pernikahan”. Kami membahas materi tersebut dengan
segala kemampuan saya yang terbatas dan Alhadulillah saya berhasil
menyelesaikannya.
Dan kami mengucapkan terima kasih
kepada dosen pembimbing yang telah mengajari membuat makalah ini dari awal
sampai akhir. Serta pihak-pihak terkait yang membantu penyelesaian makalah ini.
Mohon maaf atas segala kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu mohon saran
dan kritik demi hasil yang lebih baik dikemudian hari.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Adalah fitrah
manusia di alam fana ini, bahwa dalam menjalani kehidupannya manusia tidak bisa
hidup sendirian. Setiap manusia pasti membutuhkan manusia yang lain sebagai
pasangan hidup, sebagai teman untuk berkomunikasi, sebagai tempat untuk berbagi
perasaan suka dan duka, atau teman untuk bertukar pikiran. Di antara sekian
banyak keperluan asasi manusia di samping makan, minum, dan pendidikan adalah
pemenuhan kebutuhan akan seks. Kebutuhan seks juga merupakan fitrah manusia,
Oleh karena itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan
wanita, dan kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya
"perkawinan".
Untuk itu dalam
upaya pemenuhan kebutuhan seks ini Islam telah menyediakan perkawinan sebagai
sarana untuk menghalalkan manusia menyalurkan kebutuhannya tersebut. Perkawinan
sangat penting, karena akan membangkitkan ketenteraman jiwa baik suami ataupun
isteri, serta tempat untuk saling mencurahkan rasa kasing sayang, Allah SWT
berfirman dalam surah ar-Ruum ayat 21:
وَمِنۡ
ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ
إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ
لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Disebabkan manusia dilahirkan dengan karakter,
sifat dan tingkat emosi yang berbeda-beda, maka laki-laki yang akan memasuki
jenjang perkawinan, dianjurkan Islam untuk meminang perempuan yang akan
dinikahi, guna mempelajari satu sama lainnya sehingga bisa saling mengenal,
sehingga pelaksanaan perkawinan nantinya benar-benar berdasarkan pandangan dan
penilaian yang jelas. Dalam proses perkawinan, harus memenuhi rukun dan
syaratnya sebagai wujud nikah yang sah. Selain itu, terdapat beberapa teknis
pelaksanaan perkawinan yang perlu diperhatikan oleh setiap laki-laki dan
perempuan serta walinya dalam membangun keluarga sakinah, mawaddah warahmah.
Hal itu, berangkat dari peminangan sebagai pintu gerbang pernikahan,
kesepakatan pemberian mahar oleh kedua mempelai dalam akad nikah dan adanya
kafaah calon mempelai yang akan menikah dalam menemukan pasangan hidupnya
menjadi tolak ukur dalam perkawinan.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian peminangan dalam perkawinan?
2.
Bagaimana pengertian dan ukuran kafaah dalam perkawinan?
C. Tujuan
1. untuk mengetahui apa itu peminangan dalam
pernikahan.
2. Agar lebih mengerti tentang apa itu
kafa’ah dalam pernikahan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peminangan (Khitbah)
1. Pengertian Peminangan
Peminangan
sama dengan Khitbah, Sedangkan
menurut istilah Peminangan didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain[1]:
a. Sayyid Sabiq, mengartikan bahwa
peminangan adalah memintanya untuk dapat dikawini dengan perantaraan yang
dikenal baik di antara manusia.
b. Abu Zahrah, mendefinisikan peminangan
dengan permintaan seorang lakilaki kepada wali atau seorang perempuan dengan
maksud untuk mengawini perempuan itu
c. Zakaria al-Anshari, mengatakan bahwa
peminangan adalah permintaan pelamar
untuk menikah kepada pihak tunangan.
Para ulama fiqh, medefinisikan peminangan
sebagai keinginan pihak laki-laki
kepada pihak perempuan tertentu untuk mengawininya dan pihak perempuan
menyebarluaskan pertunangan tersebut. KHI juga menjelaskan pada Bab I, Pasal 1,
bahwa khitbah (peminangan) adalah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan seorang perempuan. Dari beberapa pengertian
peminangan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa peminangan adalah
permintaan yang mengandung akad (perjanjian) dari seorang laki-laki terhadap
seorang perempuan untuk melangsungkan akad nikah, baik secara langsung maupun
melalui walinya, dengan cara-cara yang sudah umum berlaku dalam masyarakat
setempat.[2]
2.
Syarat-Syarat peminangan dan Dasar Hukumnya
Meskipun sebagian
besar Ulama tidak menghukumi wajib terhadap peminangan, akan tetapi
di dalam peminangan mengandung suatu akad (perjanjian) antara pihak
laki-laki dan pihak perempuan, sehingga dalam melakukan peminangan
harus melalui syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syariat. Fiqh Islam
telah menjelaskan mengenai syarat-syarat sahnya peminangan, yaitu:
a. Syarat-Syarat Peminangan
1) Syarat Lazimiah.
a) Perempuan yang akan dipinang tidak
termasuk mahram dari laki-laki yang meminangnya, baik mahram nasab, mahram
mushaharah, maupun mahram radla’ah (sepersusuan).
b)
Perempuan yang akan dipinang belum dipinang oleh laki-laki lain, kecuali
laki-laki yang telah meminangnya telah melepaskan hak pinangannya atau
memberikan izin untuk dipinang oleh orang lain.
c) Perempuan yang akan dipinang tidak dalam
keadaan ‘iddah.
2) Syarat Mustahsinah
Maksud
dari syarat mustahsinah disini adalah syarat tambahan yang apabila dipenuhi
akan mendapat kebaikan dari perbuatan yang disyaratkan. Syarat mustahsinah
tidak harus dipenuhi dalam peminangan, tetapi lebih bersifat anjuran kepada
seorang laki-laki yang akan meminang seorang perempuan, agar rumah tangga yang
akan dibangunnya berjalan dengan sebaik-baiknya. Termasuk dalam syarat-syarat
mustahsinah antara lain:
a)
Sejodoh (kafa’ah)
b)
Subur dan mempunyai kasih sayang
c)
Masing-masing pihak hendaknya mengetahui keadaan jasmani dan budi
pekerti dari keduanya, sehingga tidak timbul penyesalan di kemudian hari.
Demikianlah
syarat-syarat yang terdapat dalam peminangan, baik syarat yang bersifat umum
maupun yang berupa anjuran.
b. Dasar Hukum Peminangan
Adapun
yang menjadi landasan dilaksanakannya peminangan adalah Surat al-Baqarah ayat
235 :
وَلَا
جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا عَرَّضۡتُم بِهِۦ مِنۡ خِطۡبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوۡ
أَكۡنَنتُمۡ فِيٓ أَنفُسِكُمۡۚ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمۡ سَتَذۡكُرُونَهُنَّ
وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّآ أَن تَقُولُواْ قَوۡلٗا
مَّعۡرُوفٗاۚ وَلَا تَعۡزِمُواْ عُقۡدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ ٱلۡكِتَٰبُ
أَجَلَهُۥۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ
فَٱحۡذَرُوهُۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٞ
Artinya: “Dan tak ada dosa bagi
kamu meminang perempuan- perempuan itu dengan sindiran yang baik atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut- nyebut mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu ber'azam
(bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”[3]
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 1992, 30
Artinya
: “Apabila seseorang di antara kalian ingin
meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya
untuk menikahinya
maka lakukanlah!”
Dari
keterangan diatas bahwa peminangan diperbolehkan dengan cara yang disyariatkan
dalam agama islam. Oleh karena itu peminangan diperbolehkan sebagai langkah
awal untuk menuju pada perkawinan.
B. Kafa’ah
1.
Pengertian Kafa’ah
Kafaah
dalam Perkawinan Kafa’ah (كفاءة)berasal dari bahasa Arab yang berarti
sebanding, setaraf, dan sesuai. Kesetaraan yang perlu dimiliki oleh calon suami
dan calon istri agar dihasilkan keserasian hubungan suami istri secara mantap
dalam rangka menghindarkan cela dalam permasalahan-permasalahan tertentu.
Istilah kafaah dibahas ulama fiqih dalam masalah perkawinan ketika membicarakan
jodoh seorang wanita. Persoalan
kafaah dalam perkawinan menjadi penting dalam rangka membina keserasian
kehidupan sosial. Jumhur ulama berpendapat bahwa kafaah amat penting untuk
kelangsungan dan kelanggengan suatu perkawinan, meskipun ia bukan syarat sahnya
suatu perkawinan.[4]
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa
seorang wanita mendatangi Rasulullah SAW mengadukan perihal sikap ayahnya yang
memaksanya kawin dengan seorang pemuda yang sombong dan senantiasa mendambakan
hal-hal yang bersifat keduniaan, sehingga ia tidak merasa setara dengan pemuda
tersebut. Ia mengadu kepada Rasulullah SAW seraya berkata: “adakah ada hak bagi
wanita menolak pilihan ayahnya jika wanita itu tidak setuju?” Rasulullah SAW
menjawab: Jika kamu tidak mau, tinggalkan pemuda itu” (HR. Ibnu Majah,
an-Nasa’i, dan Ahmad bin Hambal).
Menurut Imam Syafi’i, hadits kedua ini
merupakan hadits terkuat yang menunjukkan betapa pentingnya kafaah dalam
menentukan jodoh seorang wanita. Jumhur ulama mengatakan bahwa keharmonisan dan
kebahagiaan suatu rumah tangga berawal dari keharmonisan pasangan tersebut.
Islam sendiri tidak menginginkan seorang wanita didampingi oleh seseorang yang
tidak seagama dan secara sosial kehidupannya kurang baik. Oleh sebab itu,
menurut jumhur ulama, dalam rangka keserasian kehidupan suatu rumah tangga
amatlah logis fakta kafaah diperhatikan oleh para wali, karena perkawinan bukan
hanya berdampak kepada pasangan tersebut, tetapi juga menyangkut hubungan
persemendaan antara kedua keluarga. Ulama sepakat menyatakan bahwa kafaah
merupakan hak seseorang wanita dan walinya. Apabila seorang wali menikahkan
seorang wanita dengan seorang pria yang tidak sekufu dengannya maka wanita itu
berhak membatalkan perkawinan tersebut. Sebaliknya, apabila seorang wanita
memilih jodohnya seorang pria yang tidak sekufu dengannya maka wali berhak
menolak dan menuntut pembatalan perkawinan tersebut. Alasannya adalah hadits
seorang wanita yang mengadu kepada Rasulullah SAW bahwa ia merasa tidak sekufu
dengan pria pilihan ayahnya, sekalipun anak pamannya sendiri. Jumhur ulama menyatakan
bahwa kafaah atau tidaknya pasangan tersebut dilihat dari sisi wanita, bukan
dari sisi pria.
Wanitalah yang dijadikan patokan apakah
pria jodohnya itu sekufu dengannya atau tidak, karena persoalan kafaah adalah
persoalan wanita dan walinya.Terdapat perbedaan pendapat ulama dalam menentukan
unsur-unsur yang dinilai dalam kafaah. Menurut ulama Mazhab Maliki, unsur kafaah
yang dinilai itu adalah agama dan keadaan pria itu sendiri dari sisi jasmani
dan rohani, yaitu apakah terdapat cacat pada jasmaninya atau rohaninya, seperti
gila, berpenyakit kusta, dan lemah syahwat. Menurut ulama mazhab
Hanafi, unsur kafaah yang dilihat adalah agama, keislaman, yaitu jika pria itu
dari keturunan non Arab hendaklah orang tua pria itu orang muslim, kemerdekaan,
keturunan, kekayaan, dan status sosial.
Menurut ulama Mazhab Syafi’i, kafaah yang
dilihat adalah agama, kemerdekaan, yaitu pria itu bukan budak, karena status
budak tidak sama dengan status merdeka, keturunan , yaitu bahwa orang tua pria
itu ada, dikenal, dan berasal dari orang baik-baik, status sosial dan keadaan jasmani.
Menurut ulama Mazhab Hanbali, unsur-unsur kafaah itu adalah agama, kemerdekaan,
keturunan, kekayaan, yaitu kesanggupan membayar mahar dan nafkah perkawianan
nantinya, bukan kaya dalam arti orang yang memiliki harta yang melimpah, dan
status sosial, adanya mata pencaharian pria tersebut yang dapat menjamin nafkah
rumah tangganya.[5]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peminangan atau
khithbah merupakan langkah awal dalam proses perkawinan sebelum ijab qobul
adalah upaya seorang laki-laki atau wakilnya meminta kepada pihak perempuan
yang bukan mahramnya untuk dijadikan isterinya, dengan cara tertentu yang telah
berlaku di tengah-tengah masyarakat. Khithbah hukumnya sunah dilaksanakan
sebagai proses ta’aruf antara kedua mempelai terhadap walinya.
Adapun seorang
perempuan boleh dipinang apabila memenuhi dua syarat;
1.pada waktu dipinang tidak ada
halangan-halangan hukum yang melarang dilangsungkannya perkawinan;
2.belum dipinang orang lain secara
sah. Selain itu, peminang dibolehkan melihat wanita yang akan dipinang yang
dibatasi wajah dan telapak tangan; atau melalui utusan perempuan yang dipercaya
untuk mengetahui akhlak dan kepribadian dari wanita yang akan dipinang.
Kafa’ah
adalah kesetaraan yang perlu dimiliki oleh calon suami dan calon istri agar
dihasilkan keserasian hubungan suami istri secara mantap dalam rangka
menghindarkan cela dalam permasalahan-permasalahan tertentu, baik agama,
keislaman, kemerdekaan, keturunan, kekayaan, maupun status sosial. Namun, keputusan
ada ditangan wanita dan walinya dalam kafaah.
B.
Saran
kami para
pemakalah menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih banyak yang harus di
benahi, oleh karena itu kritikan dan saran yang bersifat membangun sangat kami
harapkan guna memperbaiki makalah yang kami buat ini.
Harapan kami, makalah ini bisa
menambah wawasan bagi pembaca dan semoga bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hady Mufa’at, Fiqh Munakahat Hukum Perkawinan Islam, (Semarang: Duta Grafika, 1992),
Az-Zuhaili, Wahbah Fiqh Islam Wa Adillatuhu, ahli
bahasa oleh Abdul Hayyie alKattani,dkk, (Jakarta : Gema Insani, 2011),
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Kumudasmoro Grafindo,1994),
Erniati Effendi Saekan, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, {Surabaya: Arkola Offset,1997),
Ghozali Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2010),
Tidak ada komentar: